Belinda merasa ada petir yang menyambarnya. Tubuhnya membeku. Kalau saja ia tak mendengar teriakan gusar Lord Northstar yang enggan ditahan, mungkin ia tak akan sadar.
"Dengan ini diputuskan bahwa Belinda tak bersalah. Ia telah berjasa dalam mengungkap kasus yang sudah menjadi misteri selama ini. Ia hanya ingin menyelamatkan temannya dari kekerasan rumah tangga. Memang benar, semua orangtua berhak mendidik anak mereka dengan cara masing-masing. Namun, lihat kedua tangan Miss Northstar."
Seorang prajurit menyingkap lengan Elise. Dahi gadis itu berkerut tak nyaman. Kerumunan itu terkesiap, melihat bilur-bilur merah mengerikan yang menghiasi lengan gadis itu.
"George, aku tak menyangka kau melakukan perbuatan ini," ucap sang Duke.
Wajah Lord Northstar memerah. Ia menghentakkan tubuhnya, namun karena tangannya diborgol kuat ia tak bisa melakukan yang lebih dari itu.
"Bagaimana bisa ada ayah yang setega itu?" ucap salah satu tamu.
Officer Jake berdehem, kemudian melanjutkan kembali. "Menurut sumber yang kudapat, Belinda dan Elise disiksa di pabrik di 12 Friary Lane. Lalu sekembalinya ke Fairchester House, Elise dikurung dalam kamarnya dengan diberi makan hanya roti dan segelas susu pada malam hari selama hampir seminggu. Ia mengamati darah yang menetes dari cambuknya selama ia berada di ruang kerja. Jadi mohon pengertiannya tamu-tamu semua, kami harus segera menahan Lord Northstar. Untuk malam ini kalian tidak bisa menginap di Fairchester House karena akan ada penyelidikan lebih lanjut. Kalian bisa kembali ke rumah masing-masing. Kalau dirasa perjalanan terlalu berbahaya, maka minta anggota kepolisian untuk mengawal anda sekalian."
Maka berakhirlah penjelasan dari Officer Jake. Lord Northstar dibawa ke atas kereta. "Lepaskan aku! Lepaskan aku! Kalian tak berhak menangkapku, aku seorang earl!"
Belinda melihat Lord Northstar untuk terakhir kalinya. Pria itu kelihatan terpukul. Namun kereta akhirnya berjalan hingga Belinda tak melihat lagi. Semakin banyak polisi berdatangan yang membuat suasana makin mencekam.
Belinda berdiri di depan pagar untuk beberapa saat. Ayahnya akan ditangkap. Elise terluka. Dan kakinya juga tergores peluru. Ia harus segera ke Hazeltryst Manor untuk menemui sang ayah. Namun sebelum itu, ia harus berpamitan dulu pada Elise dan memastikan gadis itu baik-baik saja.
Seorang dokter yang telah selesai merawat luka Elise meninggalkan ruangan. Gadis itu kelihatan lemah, tapi masih sadar. Lengannya diperban. Belinda berjalan mendekatinya.
"Kamu memasukkan sesuatu ke dalam minumanku, ya?" tanyanya lemah.
Belinda mengangguk. "Benar, tak ada pilihan lain. Bagaimana kau tahu?"
"Dokter memberitahuku. Untung saja katanya tak terlalu parah. Tapi rasanya sangat pusing dan seakan-akan aku akan menjauhi dunia tadi," katanya. "Aku sudah diberi obat penawarnya."
"Maafkan aku, aku janji tak akan aku lakukan lagi. Bagaimana lukamu?"
"Sangat sakit, tapi sudah tak apa-apa. Tidak kena bagian yang fatal. Rasanya tak lebih sakit daripada tahu bahwa pemilik pelurunya adalah ayahku sendiri."
Belinda mengelus rambut pirang Elise dengan lembut. "Tak apa-apa, semuanya sudah berakhir. Kau bisa hidup dengan tenang sekarang. Tapi Elise, kau harus tahu juga kalau ayahku juga akan ditahan. Ingat kan, dia adalah kaki tangan ayahmu. Aku ingin menanyakan sesuatu dulu sebelum melepasnya."
"Kau akan pergi, Belinda?"
"Ya, malam ini juga. Aku bisa mencari kereta ke Fernwick lalu menyewa kereta kuda. Ada pertanyaan yang terus menghantui pikiranku. Aku tak mau menunggu lagi."
"Bisakah aku ikut denganmu? Aku benar-benar sendirian. Dan rasanya ada hantu ayahku di sini sedang mengawasiku dari balik pintu. Dia bisa melakukan apapun. Aku yakin kalau dia mau, dia bisa membuat dirinya berada di dua tempat berbeda dalam waktu bersamaan. Kumohon."
Tak tahu apakah itu efek anestesi atau memang perasaan Elise, tapi tak tega juga membiarkan gadis itu sendirian di sini. Tunggu, sendirian? "Apakah ibumu meninggal juga, Elise?"
Sinar mata Elise meredup, bibirnya bergetar. Sampai-sampai Belinda mengira kalau gadis itu berusaha menjawab lagi, maka ia akan pecah berkeping-keping. "Ibu masih ada ... dia ada di asylum. Aku tak berani menemuinya. Aku adalah penyebab dia ada di sana. Dulu, dulu —"
Belinda menggenggam lembut tangan Elise. "Kalau kau belum siap cerita, tak apa-apa."
Elise menggeleng, air matanya berlinang. "Aku bisa ... dulu ayah sering menyiksa ibuku karena ia hanya bisa melahirkan anak perempuan. Ibuku jadi membenciku. Ia sering melempar barang-barang ke arahku, ia berteriak, dan menjambak rambutku. Setelah ibu makin parah, ayah membawanya ke asylum, dan ia tak pernah kembali sampai saat ini. Aku tak tahu apakah aku merindukannya atau tidak. Tentu saja aku rindu dengan senyumnya, namun aku takut juga dengan cakarannya."
Belinda tak tahu kalau kisah keluarga Elise amatlah tragis. Ia mengeratkan genggamannya pada tangan Elise. "Aku yakin dia pasti menyayangimu."
Elise mengangkat bahu, tapi bibirnya tersenyum. "Kau mau pergi sekarang?"
Belinda jadi lupa dengan rencananya karena mendengar cerita Elise. Ia menghapus air matanya. "Tentu saja! Aku harus cepat sampai rumah sebelum para polisi mendahuluiku. Aku ingin mempunyai kenangan bersama dengan ayah di rumahku yang tenteram, bukannya di bilik penjengukan di penjara."
"Kalau begitu, kita pergi sekarang. Ah! Tolong papah aku sebentar. Lenganku rasanya seperti disengat ribuan lebah, pasti karena anestesinya sudah memudar," keluh Elise sembari ia turun dari ranjangnya. "Belinda! Kakimu berdarah."
Belinda melihat kakinya. Sampai lupa dia kalau kakinya berdarah. Ia segera mengambil alkohol dan perban. Setelah beberapa lama bekerja, akhirnya luka itu pun tertutup. "Untung saja hanya tergores."
"Dilihat dari letaknya, sepertinya ayahku ingin membuatmu pincang," kata Elise.
Mereka berdua pun keluar dari kamar Elise. Di lorong, Belinda melihat Albie Granger, dan menyembunyikan jempol untuknya di balik gaunnya. Pemuda itu tahu bahwa mereka baik-baik saja, jadi tak bertanya lebih banyak. Elise mengajak Belinda menuju tempat penyimpanan kereta kuda. Ia berbicara pada seorang kusir.
"Kami ingin pergi ke stasiun, bisa bawa kami?"
"Maafkan aku, Miss. Tapi besok pagi Lord Jeremy Northstar akan kemari. Ia pasti memerlukan kehadiranmu."
"Kabar cepat sekali menyebar, ya. Jangan khawatir, aku akan kembali besok. Lagipula, sekarang aku adalah tuanmu, kau hanya perlu menurutiku saja."
Seakan tersadar kalau Lord Northstar telah tertangkap, pria itu segera menyiapkan kuda. Tak lama kemudian, Belinda dan Elise naik ke atas kereta kuda yang nyaman.
Perjalanan menuju stasiun tak memakan waktu lama. Kedua gadis itu tak ada yang bicara. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Elise tentang ayahnya yang baru saja ditangkap, dan sensasi baru soal bepergian bersama teman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tak tahu apakah ia harus senang atau sedih soal itu.
Sementara itu, tak disangka-sangka, Belinda merasa gugup akan bertemu ayahnya lagi. Ia merangkai pertanyaan-pertanyaan yang ingin ia sampaikan pada sang ayah. Angin malam yang dingin pun tak membantu, malah membuat jemari Belinda semakin bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of 12 Friary Lane
Teen FictionBelinda Holywell curiga kalau ayah mengirimnya ke Palais Lyle karena tak mau melihatnya lagi. Selama berada di sekolah berasrama itu, ia tak mau berteman dan terus menyendiri. Suatu hari, ia melihat liontin flute mendiang ibunya dipakai oleh seekor...