Tamat sudah, pikir Belinda. Desiran darahnya seakan berhenti. Ia mungkin akan mati dengan cengkeraman tangan sebesar itu di lehernya. Pembunuhan bukanlah hal asing di Askew Coral, yang sangat berbeda dengan desa pendidikan Lylefox yang letaknya dapat dicapai dengan berjalan kaki selama satu jam.
"Jangan berhenti menjahit! Kalau berhenti, aku akan memotong tangan kalian!" serunya.
Rupanya, ia tak ketahuan. Atau, belum. Mungkin ia terbantu dengan posisinya yang berada di antara kardus besar di bawah tangga kayu. Suara pria yang menggelegar itu kemudian disusul oleh suara mesin jahit. Belinda menutup mulutnya, berusaha untuk tak menimbulkan suara apapun.
Pria itu menaiki tangga dengan kesal. Ia terdengar membuka sebuah pintu di lantai atas. "Kalian ingin melawan, ya? Sudah berapa kali aku naik ke atas hari ini? Kita harus menyelesaikan sepuluh sarung tangan hari ini. Kalau sekali saja aku dengar ada satu mesin jahit yang tak bersuara, aku akan memenggal kepala kalian dan kulemparkan ke Friary Lane. Apa? Tak ada makanan sampai target kita tercapai. Yang Mulia ingin stok di beberapa toko ditambah. Kalau kalian masih ingin hidup, maka jangan menyulitkanku."
Setelah marah-marah di atas, pria itu turun lagi. Selama ia menuruni tangga, ia mendumel. "Dasar para wanita tak berguna. Sudah menghabiskan roti tapi tak mau bekerja. Ah, melihat mereka membuatku ingin buang air."
Jantung Belinda berdegup kencang. Inilah kesempatannya.
Setelah pria itu menghilang dari ruangan, Belinda pun segera naik ke atas. Rumah ini adalah tempat terberantakan yang pernah Belinda lihat, bahkan sampai mengalahkan kandang sapi. Di atas tangga, hanya ada satu ruangan yang bisa dimasuki, karena jalan menuju ruangan lain dipenuhi oleh meja-meja yang jungkir balik dan bertumpuk menjadi satu.
Belinda membuka pintu setelah memantapkan hatinya. Ia harus melakukan segalanya dengan cepat, kemudian setelah tahu apa yang disembunyikan oleh Elise, ia akan segera menyelinap keluar dari pintu yang masih dibiarkan terbuka.
"Mr. Hudson, kami akan menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin," ucap seorang gadis dengan rambut berantakan.
Hingga kemudian mereka menyadari kalau seseorang di ambang pintu itu adalah orang asing, bukan Mr. Hudson yang biasanya datang memeriksa.
Ruangan itu sangat sempit. Lampu yang digantungkan di empat sisi dinding membuat Belinda dapat melihat mereka tanpa kesulitan. Tujuh mesin jahit diletakkan melingkar sepanjang dinding, dan enam orang gadis duduk di kursi. Tangan mereka sedang sibuk menjahit. Rambut mereka berantakan dan kusut. Pakaian mereka pun sama.
Saat itu pun Belinda menyadari kalau gadis-gadis itu tak lebih tua darinya.
Rupanya ini yang ditakutkan oleh Elise selama ini.
"Kau siapa?" tanya seorang gadis.
Belinda mendekatinya, namun gadis itu berjengit, seakan-akan takut kalau Belinda akan memukulnya. "Apa yang kalian lakukan di sini? Kenapa kalian tidak kabur? Cepatlah, pria yang tadi sedang ke kamar mandi dan pintu depan terbuka. Kalian bisa keluar dari sini. Ia pasti akan kembali sebentar lagi."
"Kau siapa?" tanya gadis itu. "Aku tak mempercayaimu. Kamu mungkin hanya mempermainkan kami. Aku tak mau jadi seperti dia," katanya sembari menoleh ke arah belakang.
Belinda melihat ke arah belakangnya, tepatnya, di arah lantai. Seorang gadis tergeletak dengan wajah pucat. Matanya terbuka, yang melihat Belinda dengan tatapan nanar. Belinda terpaku, yang membuat seorang gadis lain menjawab. "Rantai di tangannya terlepas, ia mencoba kabur. Tapi ia langsung dihukum dengan cambuk dan tak diberi makan sampai akhirnya ia pingsan," ucapnya dengan air mata yang mengalir. "Aku takut akan berakhir sepertinya. Aku ... aku tak mau membuat teman-temanku tersiksa karena tak bisa menolongku, seperti yang kami rasakan pada Tiana."
Belinda terhuyung ke belakang, tak memercayai apa yang ia dengar. Ia baru sadar kalau ada rantai yang terpasang di mesin jahit itu dan mengikat tangan dan kaki mereka, sehingga mereka hanya bisa terus menjahit. Bahkan yang mereka jahit pun sama, sebuah sarung tangan dengan gir-gir dekoratif yang menghiasinya. "Apakah ada makanan untuknya?"
Hening.
Belinda membuka topinya, dan rambut cokelatnya yang ia gelung pun terurai. "Aku adalah seorang gadis juga. Aku tahu betapa tersiksanya kalian di sini. Tenang saja, aku dapat dipercaya," namun mereka tetap menolak untuk bicara. Belinda tak tahu siksaan macam apa yang mereka jalani hingga tak mudah memercayai orang lain. "Aku Belinda Holywell. Aku adalah murid Palais Lyle. Aku ke sini karena menyelidiki kenapa Elise begitu ketakutan kalau kegiatannya di sini terungkap. Aku tak percaya kalau kenyataannya lebih buruk dari yang aku bayangkan."
"Oh, Elise ..."
"Aku menyisakan makanan untuk Tiana."
"Aku juga."
"Aku ingat Tiana suka roti keju, aku menyisihkan untuknya."
"Tak apa kalau kita di sini selamanya, yang penting Tiana bisa selamat. Dia teman kami. Dia yang selama ini membuat kami bertahan dengan sikap positifnya. Bisakah kamu membantu kami, Belinda?"
Hati Belinda sungguh sakit mendengar permohonan mereka. Ia membangunkan Tiana yang tergeletak di lantai. Tak butuh waktu lama, gadis itu pun bangun begitu mencium harum keju. Belinda meminumkan air putih pada mulutnya yang kering. Gadis itu lalu mengunyah roti kejunya dengan semangat, namun ia sangat lemas.
"Hati-hati saja makannya," ucap Belinda.
Setelah perut Tiana terisi, baru Belinda merasa tenang. Ia meletakkan beberapa roti di dekat Tiana. Ia berdiri kembali. Gadis-gadis itu mulai menjahit lagi, suaranya begitu berisik. Belinda tak dapat merasakan berada di loteng ini dengan suara tujuh jahitan yang berbunyi terus-menerus.
"Kita harus tetap menjahit, supaya Mr. Hudson tak curiga. Belinda, kau pergilah. Tak aman di sini. Terimakasih kamu sudah memperpanjang waktu kita untuk menyusun rencana. Pergilah, Belinda."
"Tak boleh. Aku bisa membebaskan kalian. Kita harus keluar bersama-sama," ucap Belinda. Rencana apapun yang mereka akan buat, tak banyak kemungkinan berhasilnya. Tangan dan kaki mereka dirantai, membuat pergerakan mereka terbatas. Ia mengambil pisau yang terselip di pinggangnya. Ia membuka pintu sebentar, lalu berjalan ke arah tumpukan meja di lorong samping kiri kamar. Tadi, ia melihat sesuatu yang mungkin membantunya di sana.
Belinda menemukannya. Sebuah palu. Ia pun kembali ke kamar, lalu menempatkan pisau itu di atas rantai yang mengikat tangan seorang gadis, lalu memukul bagian atas pisau dengan palu. Suara pukulannya nyaring di ruangan itu, namun tenggelam oleh suara enam mesin jahit yang sangat berisik. Akhirnya, satu rantai pun terputus. Mata gadis itu bersinar, air mata merebak di sudut matanya, seakan tak menyangka bisa merasakan kembali kebebasan yang sudah lama direnggut darinya.
Tinggal satu tangannya lagi. Belinda memukulkan kembali palu itu di atas pisaunya. Namun, suara mesin jahit itu juga menyamarkan sesuatu, yaitu langkah kaki yang menaiki tangga. Saat Belinda sadar, kerah bajunya sudah ditarik, dan sedetik kemudian, punggungnya menabrak dinding.
Belinda meringis kesakitan. Sepasang mata bengis menatap tajam ke arahnya.
"Kau akan mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of 12 Friary Lane
Novela JuvenilBelinda Holywell curiga kalau ayah mengirimnya ke Palais Lyle karena tak mau melihatnya lagi. Selama berada di sekolah berasrama itu, ia tak mau berteman dan terus menyendiri. Suatu hari, ia melihat liontin flute mendiang ibunya dipakai oleh seekor...