"Aku hanya ingin menunggu bukti Elise segera tiba. Sarah sudah meyakinkanku kalau akan ada pihak akan menyelidiki apakah bukti yang ia bawa palsu atau asli. Aku jadi merasa lebih tenang. Lagipula, aku juga punya bukti lain. Semoga saja bisa membantuku. Itu adalah - tunggu, tak mungkin aku ucapkan di sini."
"Kau sudah berjanji tak merahasiakan sesuatu dariku," kata Amorette, yang sibuk mencatat dalam bukunya. Mereka berada taman belakang pagi hari itu untuk melakukan wawancara seperti yang sudah disepakati sebelumnya.
"Tidakkah kau berpikir kalau kau seperti membocorkan taktik berperang suatu negara, kau kan harusnya netral," ucap Belinda.
"Benar, sih. Tak apa deh, minggu depan aku juga pasti tahu. Selanjutnya, bagaimana arti liontin itu bagimu?" tanya Amorette.
Belinda tercekat. Liontin itu sangat berarti baginya. Ia merasa ada suatu rahasia yang berpijar dari liontin itu, yang tak akan ia ketahui kalau ia tak mendapatkannya. Namun ia segera diselamatkan oleh lonceng tanda pergantian pelajaran.
"Sudah bel saja padahal aku baru mulai. Terimakasih Belinda! Bye, aku akan mencetaknya hari ini. Aku akan senang kalau kamu mau membelinya."
Belinda meringis. Tak tahu harus merasa ikut senang atau tidak. Ia merasa dieksploitasi. Lagipula, baru saja mulai apanya, kepalanya sudah pening mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Amorette. Menurutmu, apakah Elise berbohong? Bagaimana pendapatmu melihat banyak anak yang lebih mendukung Elise? Menurutmu, apakah Elise menyembunyikan sesuatu?
Belinda berjalan menuju Kelas Memasak yang terletak di dekat dapur. Kelas ini adalah kelas yang wajib diambil oleh setiap murid Palais Lyle di semua tingkat. Palais Lyle adalah sekolah khusus anak perempuan, dan Miss Frost, sebagai kepala dan pendiri sekolah, berpendapat bahwa setidaknya seorang gadis harus punya kemampuan memasak.
Belinda berdiri di belakang meja yang tersedia. Tak lama kemudian, banyak murid-murid tingkat pertama yang masuk. Belinda mendengkus saat melihat Elise yang datang ke kelas dengan rambut pirangnya yang dijalin rapi di atas kepalanya.
"Selamat pagi, hari ini kita akan mempelajari cara membuat silabub. Kalian tentu pernah memakannya. Meskipun kelihatan simpel, tetapi sebenarnya butuh kepiawaian untuk menyeimbangkan jus apel dan krim kocoknya. Sebelumnya, aku ingin kalian berkelompok dua orang dua orang. Silakan, bisa ambil kocokannya pada saya," ucap Mrs. Ellens setelah masuk ruangan.
Seluruh murid di kelas itu histeris. Ada beberapa yang enggan berpisah dari teman mereka. Belinda pun mengambil kertas kocokannya juga.
Nomor empat.
"Elise, kau dapat nomor berapa? Mungkin kita sama!" Belinda mendengar sebuah suara.
"Aku dapat nomor empat, sayang sekali beda denganmu. Aku rela berkelompok dengan siapa pun, asal tak dengan dia yang berawalan huruf B," ucap Elise, yang disambut dengan kikikan teman-temannya.
Wajah Belinda memerah, telinganya seakan-akan mengepulkan asap saat ia mengangkat tangannya. "Mrs. Ellens, bisakah aku sendiri saja?"
Ucapan Belinda mengagetkan teman-temannya yang lain, dan juga Mrs. Ellens yang sedang membantu pelayan dapur meletakkan bahan-bahan makanan ke meja para murid. "Ini adalah tugas berkelompok, Sayang. Memangnya ada masalah apa dengan ... teman sekelompokmu?"
Rambut pirang stroberi yang semencolok itu, tak mungkin ia tak melihatnya sebelumnya. "Pertemuan kelas memasak sudah diadakan tiga kali. Dan dia tak pernah berangkat sebelumnya. Aku tak mau sekelompok dengan anak yang tidak serius dalam studi," ucap Belinda sambil melihat Elise dengan tajam.
"Siapa juga yang mau sekelompok denganmu? Kau hanya mau mendongkrak nilaimu saja."
"Nah kan, Mrs. Ellens. Dia juga tak mau sekelompok denganku. Kami bekerja sendiri-sendiri saja."
Wajah Mrs. Ellens yang sebelumnya ramah berubah tegas. "Kalian berdua sangat bandel. Kurasa, hukuman yang tepat untuk kalian adalah membiarkan kalian sekelompok di kelas ini sampai akhir semester. Tak semua hal di kehidupan ini harus berjalan sesuai keinginan kalian. Tenang saja, lagipula kalau Elise tak bekerja dengan baik, tak akan lolos dari mataku begitu saja. Begitupun denganmu, Belinda."
Sekelompok selama satu semester! Belinda hampir gila mendengarnya.
"Nah, silakan berdiri bersama teman sekelompoknya di meja masing-masing. Pertama, kita siapkan wadah, lalu ambil satu buah lemon dan parut kulitnya. Jangan parut terlalu dalam kalau tak mau hasilnya pahit," ucap Mrs. Ellens dari depan kelas. Ia terus menjelaskan sambil berkeliling kelas, memeriksa pekerjaan murid-muridnya.
Tak ada yang mulai bicara selama Belinda dan Elise bekerja. Mereka berdua terlalu kesal dengan satu sama lain. Belinda tak berkomentar saat Elise memarut kulit lemon terlalu dalam. Kecuali saat Elise mengambil satu buah lemon utuh yang segar dari dalam keranjang. Setelah mengamatinya sebentar, ia membawanya ke atas wadah dan mulai meremasnya. "Mau kamu peras sampai bel pelajaran terakhir pun tak akan keluar airnya kalau seperti itu."
Telinga Elise memerah. Ia menarik tangannya dan mulai melempar-lemparkan lemon itu di tangannya dengan sikap seakan acuh tak acuh. "Aku tahu, aku hanya bermain-main. Tak perlu kau beritahu aku juga sudah tahu."
"Jangan bermain-main dengan makanan. Mana, biar aku yang memerasnya saja," kata Belinda. "Harusnya kau bersyukur karena sekelompok denganku dengan diam saja dan tak menyentuh apapun."
"Tak bisa seperti itu. Kau hanya akan mengkambinghitamkan aku pada Mrs. Ellens," kilah Elise sambil menarik tangannya.
Belinda tak mau kalah. Ia mulai kesal dengan gadis itu. Ia meraih lemon di tangan Elise lagi, tapi gadis itu berhasil menghindar. Sayangnya, sikunya menyenggol carafe yang berisi jus apel di atas meja.
PRAANG!!
Seisi kelas seakan terhenti. Semua mata memandang ke arah mereka. Belinda menarik Elise yang dengan bodohnya ingin keluar dari kungkungan meja, tanpa memerhatikan cairan jus apel dan pecahan-pecahan kaca.
"Ini gara-gara Belinda!" kata Elise seketika, berusaha menjelaskan pada puluhan pasang mata yang melihat. Baru pertama kali ia melakukan kesalahan seperti ini sejak kedatangannya di Palais Lyle. "Aku ingin memeras lemon tapi dia tak malah merebutnya. Sikuku jadi menyenggol carafe itu."
"Gara-gara aku?" ucap Belinda tak percaya. "Aku berusaha menyelamatkan hasil silabub kita dari kemampuan memasakmu yang mengerikan!"
"Sudah sudah, astaga," keluh Mrs. Ellens. Kepalanya jadi pusing. Tak ia sangka murid-murid tingkat satu yang notabene masih baru malah yang membuat masalah di kelasnya. Gagal sudah harapan Miss Frost yang dititipkan di pundaknya. Kelas memasak tak hanya mengajarkan murid-murid tentang resep biskuit saja, atau cara menyalakan api yang benar, tapi juga harus disertai pelajaran etika dan tata krama. Kita mengantarkan para gadis-gadis muda menuju kehidupan setelah Palais Lyle yang tak kita ketahui. Takdir seperti kartu acak, tak ada yang tahu kartu apa yang akan kita ambil. Setidaknya, ajarkan mereka cara menata hidangan yang baik, dan menyajikan makanan dengan sopan. Sehingga meskipun mereka jauh dari rumah, kita bisa mengajarkan mereka hal-hal yang seharusnya mereka dapatkan di rumah. "Belinda, Elise, kalian bukan anak kecil lagi, jangan saling menyalahkan. Sebaiknya kalian ganti carafe itu sebelum hari Kamis, karena akan dipakai oleh anak kelas lain. Kalau tidak, entah apa yang akan dikatakan Miss Frost begitu mendengar laporanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of 12 Friary Lane
Teen FictionBelinda Holywell curiga kalau ayah mengirimnya ke Palais Lyle karena tak mau melihatnya lagi. Selama berada di sekolah berasrama itu, ia tak mau berteman dan terus menyendiri. Suatu hari, ia melihat liontin flute mendiang ibunya dipakai oleh seekor...