Train of Courage

22 7 4
                                    

Hari ini adalah hari penjengukan bagi murid-murid Palais Lyle. Seluruh penghuni sekolah kelihatan sibuk, bahkan melebihi hari-hari biasanya. Juru masak di kafetaria menyiapkan menu masakan yang lebih beragam daripada biasanya. Ibu asrama sibuk mengurus surat perizinan bagi murid-murid Palais Lyle yang ingin pulang. Sementara muridnya sendiri terlalu senang bertemu dengan keluarga mereka, hingga tak memerhatikan kalau hewan peliharaan mereka terlepas. Para prefek selalu tak bisa tenang selama hari penjengukan, karena terlalu banyak pelanggaran yang bisa mereka catat dalam buku catatan mereka.

Belinda berjalan menyusuri koridor, menghindari seekor kelinci dengan renda putih yang mendekam di tengah jalan. Hidung kelinci itu kembang kempis. Belinda ingin menangkapnya supaya bisa ia bawa ke meja pengumuman, namun kelinci itu keburu lari. Jadi supaya kelinci itu tak semakin terselip dalam ruangan gelap, Belinda tak punya pilihan lain selain meninggalkannya.

Tak seperti Sapphire yang mudah percaya pada orang lain. Mau tak mau, Belinda teringat dengan pertemuan pertamanya dengan Elise. Kucing itulah yang membawa pertemuan di sore hari itu di Florally's Tea Hill. Ia ingat pendapat pertamanya tentang Elise, agung dan bangga, dengan rambut pirang yang kemilau dan halus, seakan-akan merupakan mahkota wajah cantiknya. Gadis seperti Elise seharusnya terus melangkahkan kaki dengan percaya diri, bukannya menunduk di bawah siksaan seperti semalam. Dan itu menyakiti hatinya.

Elise belum masuk sekolah sejak hari itu. Rasa bersalah semakin menumpuk di hatinya, memberatkannya untuk sekedar mencuci muka setelah sekolah ataupun membaca buku seperti biasa. Semakin Belinda memikirkan kejadian malam itu, semakin ia mengerti kenapa Elise menentang keras kalau liontin itu miliknya. Melihat wajah pucat Elise saat ayahnya menceritakan kejadian dari mana asal liontin itu, gadis itu pasti tak tahu menahu soal itu. Tentu saja ia akan berkata kalau liontin itu hadiah dari ayahnya. Ia tidak salah.

Tapi Duke of Lynchester yang salah.

Sekarang yang ia pandang pada Duke of Lynchester hanyalah perbuatan kriminal yang ia lakukan. Perbudakannya pada wanita-wanita malang, ancaman yang ia lakukan pada bawahannya, dan paksaan yang ia lakukan pada Elise. Ia sama sekali tak peduli dengan kenyataan bahwa Elise harus hujan-hujanan untuk mengirimkan paket itu. Ia hanya peduli soal bisnisnya.

Kalau ia bisa melakukan hal itu, maka entah apa yang akan ia lakukan pada Elise.

Belinda menuruni tangga, dan dihadapkan dengan pemandangan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari keluarga yang menjenguk putri mereka yang dirindukan. Tak terlihat ayah di mana pun. Hati Belinda terasa kosong, dan matanya memanas.

Ia sungguh merindukan sang ayah.

Klub drama Palais Lyle menciptakan pertunjukan drama musikal kecil-kecilan bagi para wali murid. Meskipun sederhana, namun sudah cukup bagi mereka. Keluarga yang berbahagia itu berkomentar dengan wajah yang menyiratkan kebahagiaan.

Tanpa sadar, air mata mengalir di pipi Belinda. Ia mengusap matanya kasar, dan meremas liontin flute di dalam sakunya. Ia pun keluar dari kastil. Ia begitu jenuh di kamar, tak menyangka kalau turun akan menyakiti hatinya. Beberapa keluarga tengah berjalan-jalan di halaman kastil sambil menikmati keindahan taman di musim gugur.

Hari sudah siang, tapi ayahnya tak datang juga. Mungkin ayahnya tak akan datang. Dan hari ini adalah kesempatan sempurna untuk melakukan hal yang sudah lama ada di benaknya akhir-akhir ini. Mengunjungi Fairchester House.

Hari penjengukan adalah hari teristimewa di Palais Lyle, sehingga keberangkatan kereta di stasiun Lylefox pun ditambah. Belinda tak perlu khawatir kalau tak menemukan kereta untuk membawanya kembali. Jarak antara Lylefox dengan Carleon juga tak begitu jauh, ia pasti bisa kembali sebelum jam sepuluh malam.

Maka dengan keyakinan itu, Belinda berjalan menyeberangi pematang ladang labu. Setelah itu, ia hanya perlu menaiki undakan batu untuk mencapai tanah yang lebih tinggi. Di situlah terletak stasiun Lylefox yang sederhana. Belinda membeli selembar tiket, dan berkata pada penjual tiket yang terlalu ingin tahu bahwa ia sudah meminta izin pada ibu asrama.

Belinda menaiki kereta dengan hati-hati. Sebenarnya ia belum pernah naik kereta sendirian. Ia duduk di salah satu kompartemen, dan berkali-kali memastikan uangnya masih ada di saku. Jantung Belinda berdegup kencang. Saat kereta mulai berjalan, Belinda mulai menyesali keputusannya.

Kenapa aku tak pernah membuat keputusan yang terasa tepat?

Namun tak ada jalan kembali, kecuali kalau ia melemparkan dirinya dari jendela. Belinda menenangkan dirinya dan mulai menyusun rencana. Keputusannya untuk pergi ke Fairchester House terasa impulsif. Di satu sisi ia meyakini kalau keputusannya itu karena kecewa ayahnya tak datang, dan di satu sisi ia menyanggah kalau ia sudah memikirkan perjalanan ini sejak lama. Kemungkinan-kemungkinan kalau Duke of Lynchester tak akan menerimanya mulai menakutinya.

Tak bisa. Ia harus bertemu dengan Elise. Ia tak mau perjalanan yang membutuhkan keberanian ini sia-sia begitu saja. Dan karena Duke of Lynchester mustahil menerimanya dengan baik, maka ia memutuskan untuk mengamati Fairchester House dari jauh dulu baru kemudian memutuskan apa yang harus ia lakukan di sana.

Kereta melaju menembus hutan dan pemukiman. Kini rodanya bergulir di atas rel yang menanjak menuju perbukitan. Pemandangannya sungguh indah, membuat Belinda lebih tenang dari sebelumnya. Dari atas bukit, sebuah danau terlihat dari kejauhan. Sinar matahari menciptakan kilau di airnya yang tenang. Hingga tak lama kemudian, tibalah mereka di stasiun Lynchester.

Carleon merupakan ibukota Lynchester, salah satu wilayah tersibuk di negeri Irelia. Belinda kesulitan menjejalkan dirinya keluar dari kumpulan manusia yang berdiri di peron stasiun. Gadis itu mengecek kembali dompetnya setelah berhasil keluar, dan mengelus dada saat tahu uangnya aman. Itu adalah satu-satunya cara untuknya kembali ke Palais Lyle.

Perjalanan ini rupanya lebih menyenangkan daripada yang ia kira. Udara menyapa wajahnya selama ia berjalan, yang aromanya seperti kebebasan. Tak ada orang yang mengenalinya di kota besar ini. Tak ada aturan asrama yang mengekangnya bagai tikus yang terjepit di sela-sela besi kandang. Belinda mencoba satu persatu makanan yang dijajakan di tepi jalan hingga ia kenyang.

Belinda membeli satu peta, ia membentangkannya selama berjalan. Matanya menelusuri peta itu, hingga ia menemukan rumah Duke of Lynchester.

Fairchester House terletak di Achilles Way nomor 1. Rumah itu terpisah dari rumah-rumah lain dengan padang rumput dan area perkebunannya yang luas. Sejenak, keagungannya membuat nyali Belinda menciut. Ia adalah anak dua belas tahun biasa, yang akan memata-matai rumah seorang Duke. Kalau ia ketahuan, mungkin hukuman mati bisa menghadangnya.

Namun, demi Elise, ia pun memantapkan hatinya. Tak seharusnya gadis itu hidup setersiksa itu. Belinda terus berjalan, hingga ia tiba di Achilles Way.

The Tale of 12 Friary LaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang