"Miss Northstar, hujan sangat deras malam ini. Untuk ayahmu lagi? Kau benar-benar putri yang berbakti. Untung saja kedatanganmu malam ini tak sia-sia. Ini baru saja datang tadi sore, jadi belum sempat diantarkan ke Palais Lyle," ucap seorang pria di dalam. Belinda mengintip ke dalam dari celah gorden yang tersibak di jendela. Seorang pegawai kantor pos memberikan sepucuk surat untuk Elise.
Elise mengucapkan terimakasih dan menyimpan surat itu ke balik gaunnya. Elise menyerahkan kotak yang ia bawa pada pegawai itu. Setelah menyelesaikan administrasi pengiriman, gadis itu berpamitan. Ia menolak tawaran untuk menikmati segelas susu panas. "Tak apa-apa. Hujannya sudah mulai reda, kok."
Sepertinya, Elise tak punya tujuan lain lagi. Jadi, Belinda segera berjalan menjauhi kantor pos. Ia melewati jalan di depan museum hingga menyeberangi kanal. Tak lama kemudian, sampailah ia ke Hat by Hazel.
Untung saja, sepertinya para pelanggan toko topi ini masih sibuk menikmati hidangan di dalam. Tak ada satupun yang sadar kalau dua gadis yang ikut berteduh di dalam toko sudah menghilang. Belinda segera menuju bilik yang tadi mereka tempati. Ia meletakkan kepalanya di meja dan menarik selimutnya hingga punggung, lalu memejamkan mata.
Kejadian malam ini sungguh tak disangka-sangka. Benar kata Elise, mungkin ia terlalu cepat menghakimi seseorang. Elise tidak hanya putri Duke yang manja dan congkak, tapi dia juga seorang gadis yang bertekad kuat, bahkan sampai menembus hujan badai. Setiap orang memiliki sisi lain yang tersembunyi di balik topeng yang mereka kenakan sehari-hari. Siapa yang sangka Elise mengenali jalan persimpangan Askew Coral yang serumit jaring laba-laba, padahal ia mengernyit jijik saat melewati pasar desa Lylefox.
Tapi paket apa yang perlu ia kirimkan sehingga menuntut gadis itu pergi saat hujan sedang deras-derasnya? Apakah ia tak takut kalau kilat akan menyambarnya?
Belinda memejamkan matanya lebih santai saat ia mendengar suara dari arah luar. Elise masuk ke dalam bilik dan duduk di kursinya. Telinga Belinda menegang saat ia mendengar helaan napas Elise. Tak ada suara apapun setelahnya, kecuali suara lembut gesekan antara botol air panas dan selimut. Setelah Elise selesai menghangatkan selimutnya, suasana mulai hening.
Jujur saja, Belinda tak pandai berakting. Untung saja helaian rambut yang jatuh di dahinya menyembunyikan getaran kelopak matanya. Perlahan, Belinda membuka mata, dan melihat Elise yang sudah tertidur nyenyak.
Kulit wajah Elise yang sebelumnya putih kini berubah jadi kemerahan. Buku-buku jarinya berkerut-kerut, pertanda kalau ia kedinginan. Bibirnya yang biasanya merona merah juga berubah putih. Belinda menghela napas, lalu berdiri untuk menggeser partisi kayu supaya hangatnya api perapian bisa menjangkau mereka.
Belinda tenggelam dalam pikirannya untuk beberapa lama, hingga ia tak sadar kalau ada suara kereta kuda yang berhenti di depan toko. Suara itu juga didengar oleh pemilik toko, yang segera keluar untuk menyambut pendatang itu.
"Selamat datang, Miss Frost. Cuacanya sangat buruk, ya. Pelangganku sampai terjebak dalam hujan. Tenang saja Anda datang ke tempat yang tepat, kedua murid Anda ada di sini," ucapnya.
"Syukurlah, terimakasih Miss Calvary sudah menyediakan tempat untuk mereka berteduh," ucap Miss Frost dengan suaranya yang bijaksana.
"Bukan apa-apa. Yang kulakukan tidak sepadan dengan apa yang telah kamu lakukan untuk desa ini, dan juga putri-putri kami. Mereka sudah hangat dan puas dengan kudapan di sudut sana. Pasti sekarang sudah tidur."
Jantung Belinda berdegup kencang. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya lagi, dan melupakan petualangan malam yang baru saja ia lakukan. Ia mendengar ketukan sepatu Miss Frost yang semakin dekat ke arahnya. Kemudian ia merasakan sebuah tangan menepuk-nepuk bahunya.
Belinda membuka matanya perlahan. Miss Frost mengelus rambutnya dengan penuh kelembutan. Ia juga membangunkan Elise. Setelah kedua gadis itu bangun, Miss Frost menyuruh mereka untuk melipat selimut dan mengikutinya. "Ucapkan terimakasih pada Miss Calvary. Kalau bukan karena kebaikan hatinya, mungkin kalian tak bisa senyaman sekarang. Hujannya begitu deras, jadi kalau mengendarai kereta kuda akan sangat licin. Sudah hampir jam sepuluh malam, sebaiknya setelah kembali di asrama nanti kalian langsung tidur."
Belinda mengucapkan terimakasih pada Miss Calvary, si pemilik toko yang menyeret mereka ke dalam tadi. Ia bersyukur Miss Calvary tak menyebutkan sedikitpun soal pertengkaran itu. Kemudian, mereka pun naik ke dalam kereta kuda.
Belinda menyandarkan punggungnya pada dinding kereta, dan mulai menyadari kalau saja tadi ia dan Elise terlambat kembali, maka keadaannya tak akan semulus ini.
"Setelah gaun yang kalian pakai itu sudah dicuci, kembalikanlah pada Miss Calvary. Mintalah juga beberapa buah jeruk dari dapur untuk diberikan padanya sebagai tanda terimakasih," nasihat Miss Frost pada mereka. "Apakah sudah sejak sore kalian berada di Hat by Hazel?"
"Iya kami berada di sana terus, hujan terlalu deras sampai kanal hampir meluap, tak mungkin untuk dilalui," ucap Elise.
Mata Belinda berkilat. Ia mengalihkan pandangannya pada Miss Frost, yang memandang Elise dengan curiga. "Darimana kau tahu kalau kanal hampir meluap?"
Cahaya lampu jalan yang mereka lewati membuat Belinda mampu melihat Elise. Gadis itu tak seperti biasanya. Sorot matanya seperti orang yang mengigau. Dia demam. Sebelum Elise sempat menjawab, Belinda buru-buru menjawab, "Kami mendengarnya di Hat by Hazel, jadi memutuskan untuk tetap berada di sana. Kalau sampai banjir, bisa-bisa terseret ke pantai."
Miss Frost mengangguk-angguk. Wanita itu tetap terlihat rapi pada malam hari, meskipun sorot gelisah tak bisa disembunyikan dari matanya. Harus menjemput murid-muridnya yang masih berada di luar saat hari hujan badai bukan tanggung jawab yang ringan.
Akhirnya sampailah mereka di Palais Lyle. Mereka pun berpisah. Belinda menaiki tangga sambil memeluk gaun dan carafenya. Ibu asrama Evertide menyambutnya dengan mata lelah. Ia mengantarkan air panas supaya Belinda bisa membilas tubuhnya yang basah oleh air hujan. Setelah itu, ia menyelimuti Belinda di tempat tidurnya, baru keluar dari kamar.
Teman-temannya sudah tidur. Belinda menghela napas. Pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul di benaknya terkait kegiatan yang dilakukan Elise malam tadi. Ia adalah putri Duke. Sebuah status yang begitu terhormat, hingga kalau ia kehujanan sedikit saja, maka dokter terbaik di Irelia akan segera dikirim untuknya. Belinda mengigit pipi dalamnya lagi. Perilaku Elise yang seperti itu, menyiratkan bahwa akan ada kejadian lebih buruk selain tersambar petir kalau sampai ia tak mengirimkan paket itu tepat waktu.
Ujung benang rahasia mulai terlihat. Dan bukan Belinda namanya kalau ia tak ingin menariknya hingga seluruh benang itu terurai. Namun, hangatnya selimut, matanya yang mengantuk, dan pikirannya yang lelah, membuat gadis itu terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of 12 Friary Lane
Teen FictionBelinda Holywell curiga kalau ayah mengirimnya ke Palais Lyle karena tak mau melihatnya lagi. Selama berada di sekolah berasrama itu, ia tak mau berteman dan terus menyendiri. Suatu hari, ia melihat liontin flute mendiang ibunya dipakai oleh seekor...