(6)

975 125 18
                                    

Pemandangan kota di malam hari punya kesan tersendiri yang sulit dijelaskan. Seingat Hanzo, pemandangan yang dia lihat dulu berbeda dengan yang sekarang, mungkin dia baru menyadari bahwa kota ini memang tidak sesederhana yang dia pikirkan dulu. Angin yang berembus meniup rambut merahnya yang menutupi dahi, tubuhnya sedikit menggigil akibat udara dingin yang merasuk. Meski sudah masuk pertengahan musim semi, suhu udara masih terasa dingin, tapi Hanzo menikmati itu. Seharian berada di rumah membuatnya jenuh, tidak ada teman mengobrol dan hanya menghabiskan waktu dengan bermain game dan melamun. Sebenarnya Hayabusa tidak melarang Hanzo untuk keluar, tapi Hanzo sendiri tidak punya ide untuk jalan-jalan.

"Kapan aniki pulang? Ini sudah larut malam." Gerutu Hanzo sembari menatap bintang-bintang.

Panjang umur. Baru saja Hanzo diam, sosok Hayabusa terlihat di bawah sana tengah mengobrol bersama gadis yang biasa pulang bersamanya.

Hanzo menatap dua orang itu lekat. Melihat Hayabusa yang akrab dengan gadis itu, entah mengapa hati Hanzo tidak rela. Ingin rasanya Hanzo menghampiri mereka dan menarik Hayabusa masuk, cepat-cepat memisahkan dua insan lawan jenis itu. Siapapun gadis itu dan apapun hubungannya dengan Hayabusa, Hanzo merasa jengkel dengannya.

"Lalu kenapa aku kesal? Kalau dia kekasihnya aniki, bukankah itu lebih baik? Tidak mungkin aniki jadi bujang lapuk." Hanzo mengacak rambutnya, "Tapi aku tidak mau melihat aniki dekat dengan orang lain, aku tidak suka. Bagaimanapun perempuan adalah makhluk paling menyeramkan di muka bumi." Pungkas Hanzo. Ingatan masa lalu terbersit di benaknya, membuatnya menggigil dan mual, rasanya ingin muntah.

"Hanzo? Apa yang kau lakukan di sini?" Suara itu datang dari belakang, membuat Hanzo terkejut, spontan membalikkan badannya.

"A-Aniki?" Buru-buru Hanzo melihat ke bawah, tidak ada siapapun di sana. Cepat sekali Hayabusa naik.

Hayabusa ikut bingung melihat Hanzo yang keheranan. Apa anak itu menunggunya sejak tadi?

"Anginnya begitu dingin, kenapa tidak masuk?" Hayabusa menghampiri Hanzo, ikut menikmati pemandangan malam. "Menikmati pemandangan dari sini ternyata cukup rileks, bodohnya aku tidak berinisiatif dari dulu."

Hanzo terdiam melihat Hayabusa yang duduk bersandar di kursi sambil menghela napas panjang. Laki-laki bersurai hitam itu pasti lelah, terlihat dari mata dan air mukanya yang redup. Ah, Hanzo ingin sekali memeluknya.

"Kenapa menatapku seperti itu, hm?" Hayabusa menginterupsi Hanzo sambil tersenyum.

Hanzo langsung memalingkan wajahnya, "Tidak, tidak ada. Kau pasti lelah kan?"

Hayabusa menghela napas, "Sedikit. Setelah melihatmu aku tidak merasa lelah lagi."

"Mana ada hal semacam itu." Hanzo melambaikan tangannya, namun diam-diam wajahnya bersemu.

Satu jam kemudian, Hayabusa baru saja selesai membersihkan dapur setelah makan malam yang terlambat. Saat dia ingin merebahkan tubuhnya di sofa, Hanzo sudah terlelap di sana, mendengkur halus.

"Anak ini ..." Hayabusa menggelengkan kepalanya dan menyelimuti Hanzo. Dia menatap lekat wajah Hanzo terlihat tenang dalam tidurnya. Rambut merahnya yang menutupi dahi, hidungnya yang mancung, pipinya yang lumayan tembam, dan bibir merahnya yang ranum. Ah, Hayabusa ingin mengecupnya...

PLAK!

"Ya Tuhan, aku sudah gila!" Hayabusa menampar pipinya sendiri. Buru-buru dia pergi dari sana sebelum pikiran liarnya bergelora.

Waktu bagai mengalir begitu saja. Hanzo bersandar di balkon tiap malam bertemankan angin dingin, menunggu Hayabusa pulang, menatap jengah saat Hayabusa pulang bersama gadis bersurai putih itu, sampai dia tidak menyadari ada yang tumbuh di dalam hatinya. Cemburu.

ANIKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang