(1)

1.2K 149 13
                                    

Setelah malam pertemuan mereka, Hayabusa menyimpulkan bahwa Hanzo tidak suka disentuh orang lain. Baiklah, siapapun tidak mau disentuh oleh orang yang baru dikenalnya. Mungkin ada sesuatu yang menyebabkan Hanzo nampak trauma dengan sentuhan, ditambah lagi laki-laki itu berada di luar ketika badai, tapi Hayabusa tidak memikirkannya lebih lanjut.

Pagi harinya badai salju reda. Hayabusa berpikir untuk mengantarkan Hanzo pulang-meski dia tidak yakin Hanzo bisa pulang. Ketika memasuki kamarnya, Hayabusa mendapati Hanzo yang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan duduk menatap ke luar jendela.

"Semalam aku berdoa pada Tuhan, semoga pagi tidak akan pernah datang, nampaknya Tuhan mengabaikan doaku. Seandainya aku mati saja malam itu, seandainya Anda tidak membawaku ke sini, Tuan."

Hati Hayabusa seperti ditikam mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Hanzo. "Aku tidak tahu apa yang terjadi dan kurasa kau pun tidak bersedia untuk memberitahuku, tapi kau tidak boleh bicara seperti itu. Apapun masalahmu aku akan membantumu sebisaku."

Hanzo diam beberapa saat, menatap salju yang masih turun.

"Aku tidak ingin pulang." Kalimat singkat yang dilontarkan Hanzo mengakhiri percakapan mereka pagi itu karena setelahnya si surai merah tidak mau buka suara lagi. Setelahnya Hayabusa pergi untuk bekerja. Dia sedikit risau karena meninggalkan Hanzo sendirian. Hari itu dia tidak fokus bekerja.

Sepulang dari bekerja, Hayabusa mendapati Hanzo yang sudah meringkuk di sofa dengan mata sembap dan bekas air mata yang mengalir di pipinya, dia habis menangis. Pakaiannya sudah berganti, berarti Hanzo sudah mandi sesuai pesannya sebelum berangkat kerja tadi. Di meja juga terdapat tiga bungkus bekas roti yang sengaja disiapkan untuk Hanzo karena laki-laki itu menolak makanan berat. Pasti Hanzo lelah, Hayabusa membawanya ke kamar dan menyelimutinya. Dia akan tidur lagi di sofa.

Malam kedua Hanzo tinggal di apartemennya.

Pagi datang kembali. Hari Minggu yang dingin.

Hayabusa menyapa Hanzo yang melamun di balkon. Hanzo sudah mulai terbiasa dengan laki-laki bersurai hitam itu, tidak lagi terlalu waspada. Setiap kata-kata Hayabusa yang terlontar padanya entah kenapa terasa hangat dan penuh perhatian, Hanzo sangat menyukainya.

Pagi itu pula pertama kalinya Hayabusa melihat senyuman Hanzo, meskipun hanya senyuman kecil. Hanzo pun mulai mau bercerita tentang hidupnya pada Hayabusa, dan fakta menyedihkan pun datang.

•××ו

Sejak kecil Hanzo dititipkan di panti oleh orang tuanya yang pergi entah kemana. Para pengasuh dan anak-anak panti yang lain adalah keluarga Hanzo yang selalu menyayanginya.

Saat SMP, Hanzo tumbuh lebih kecil dibanding anak-anak seusianya, meski begitu Hanzo memiliki tenaga yang lebih dari mereka, dan karena itulah Hanzo selalu ditunjuk untuk ikut acara berkemah antar sekolah.

Saat itu perkemahan ketiga dan terakhir kalinya untuk Hanzo. Salah satu kakaknya di panti yang menjadi seniornya juga turut serta dalam perkemahan itu. Awalnya perkemahan berjalan dengan lancar dan menyenangkan, sampai saat malam api unggun. Ketika peserta kemah tengah berkumpul, kakak Hanzo menyuruhnya untuk mengambilkan air minum di tenda. Hanzo menurut, dia segera pergi mengambil air di tenda kakaknya. Tanpa ia sadari, itu adalah jebakan. Dua teman kakaknya berada di tenda, salah satu dari mereka menarik tangan Hanzo yang sedang menyibak tirai tenda dan langsung membekap mulutnya. Seorang lainnya mengikat tangan Hanzo dengan tali sementara Hanzo masih berontak berusaha melepaskan diri, sayangnya tenaga Hanzo tidak bisa menandingi keduanya.

"Diam dan menurutlah, dengan begitu kami tidak akan menyakitimu!" Salah satu dari mereka mengintimidasi Hanzo. Namun Hanzo tidak menggubrisnya.

"Dasar keras kepala!" Tangannya berhenti membekap mulut Hanzo, sebagai gantinya dia mencium Hanzo dengan kasar agar tidak berteriak.

ANIKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang