Sejak pesta berakhir sampai pulang, Hayabusa tidak bersuara. Meski tidak pasti, tapi Hanzo bisa melihat raut wajah Hayabusa penuh penyesalan. Kiranya laki-laki yang lebih tua darinya itu sedang memikirkan sesuatu yang jelas tidak diketahui oleh Hanzo.
Ia lantas mengembuskan napas panjang sembari menatap pemandangan kota di malam hari yang indah, penuh dengan kelip lampu. Meski malam sudah larut, tapi kota ini seakan tidak pernah tidur. Banyak transportasi umum-termasuk taksi yang saat ini tengah ditumpanginya-masih beroperasi. Jika kota kecil ini sudah seramai itu, bagaimana dengan ibukota yang disebut-sebut sebagai megapolitan? Hanzo belum pernah berkunjung ke sana.
"Apa kau sudah tidur, Hanzo?"
Suara Hayabusa yang berat memecah lamunan Hanzo. Netra merahnya beradu pandang dengan netra biru Hanzo yang berkilau cerah di gelapnya malam.
"Belum, ani." Hanya jawaban singkat itu yang mampu dilantunkannya. Hanzo tidak tahu harus mengatakan apa sementara Hayabusa kembali terdiam. Sebenarnya ada yang ingin Hanzo tanyakan kepada Hayabusa mengenai Zilong dan Ling yang kelihatannya punya hubungan khusus dengan Hayabusa alih-alih hanya sebatas teman. Tapi Hanzo urung, dia khawatir jika pertanyaannya hanya akan mengganggu Hayabusa.
Tiba-tiba saja Hayabusa merebahkan dirinya di pangkuan Hanzo yang terkejut dengan tingkah Hayabusa yang tidak biasa. Dirasakannya panas menjalar di kedua pipinya. Seandainya di dalam taksi tidak remang-remang, pasti kelihatan sekali rona merah yang menghiasi pipinya.
"Ani, kita masih di luar." Bisik Hanzo.
Hayabusa justru memejamkan matanya sambil tersenyum tipis. "Tidak ada yang melihat kita."
Hanzo merasakan jantungnya berdegup kencang saat cahaya lampu menyorot wajah Hayabusa. Rahangnya yang tegas dan hidungnya yang mancung, bagai pahatan patung seniman kelas dunia. Dibelainya rambut Hayabusa yang lembut. Tatapannya tidak dapat beralih dari wajah Hayabusa yang terpejam dan sungguh tenang.
Sementara itu tangan Hayabusa mendorong tengkuk Hanzo dan berusaha mengikis jarak antara keduanya. Kemudian ia mengecup bibir Hanzo. Ada rasa manis tertinggal di sana.
"Ani!" Hanzo terkejut dengan ciuman yang tiba-tiba itu. Satu senyuman tersungging di wajah Hayabusa yang perlahan membuka matanya, memperlihatkan netra merah yang penuh kemenangan.
"Manis." Ujarnya kemudian.
Hanzo buru-buru menjauhkan wajahnya dari Hayabusa dan membuang pandangannya keluar jendela. Degup jantungnya semakin tidak menentu. Telinganya terasa panas. Ia memegang bibirnya dengan pikiran yang salah tingkah.
Senyum Hayabusa semakin lebar melihat wajah malu-malu yang ditunjukkan Hanzo. Ia semakin gencar menggoda Hanzo dengan mencubit pipinya. Hanzo ingin sekali berseru kesal seraya memukul Hayabusa, namun ia urung setelah menyadari bahwa mereka berdua masih berada di luar.
Beruntung beberapa menit kemudian, taksi merapat ke tepi jalan. Sopir membukakan pintu dan mempersilahkan mereka berdua untuk keluar. Hayabusa yang sejak tadi sudah memperbaiki posisi duduknya, beranjak keluar setelah Hanzo yang sudah terlebih dulu mengambil langkah seribu untuk pergi dari sana. Ia mengeluarkan uang dan menyerahkannya kepada sopir taksi yang segera melaju membelah kegelapan malam setelah mengucapkan terima kasih.
Hayabusa menyapu pandangan dan menemukan Hanzo yang tengah berdiri di depan pintu lobi sambil menatapnya tajam, lantas mengacungkan jari tengahnya. Hayabusa tersenyum mendapatkan tantangan Hanzo, lalu berlari mengejar Hanzo yang refleks mengambil langkah seribu untuk menghindari kejaran Hayabusa.
Anak tangga berderap saat langkah mereka berdua menapak. Meski napas mereka mulai terengah-engah, tidak ada yang menyerah di antara mereka berdua. Tenaga Hayabusa lebih cepat terkuras daripada Hanzo. Keduanya berhasil sampai di depan pintu unit dengan napas terengah dan keringat yang mengucur deras.
"A ... Aku menang ... Hah ..." Ujar Hanzo yang masih terengah-engah.
"Dasar ... Hah ... Anak muda sepertimu ... Hah ... Tenaga gila." Hayabusa bersandar di dinding, berusaha menetralkan napasnya.
Pintu unit sebelah terbuka, seorang wanita paruh baya keluar dengan berkacak pinggang. "Apa kalian tidak punya otak? Kalian pikir pukul berapa ini? Kenapa tidak sekalian saja kalian rubuhkan bangunan ini? Seenaknya saja berkejaran seperti tikus. Lebih baik jika kalian adalah tikus, aku tidak akan berkomentar apapun."
Hayabusa dan Hanzo sontak membungkuk sambil berujar maaf berkali-kali. Wanita itu mengomel tidak jelas sambil menutup pintu unitnya. Hayabusa dan Hanzo saling berpandangan dan tertawa kecil.
Kemudian Hayabusa membuka pintu dan masuk ke dalam unit, disusul oleh Hanzo. Keduanya melepas sepatu, lalu masuk ke kamar untuk berganti pakaian dan mencari air minum ke dapur. Hayabusa beranjak ke kamar mandi untuk memasukkan pakaian kotor ke dalam keranjang cucian, sementara Hanzo merebahkan dirinya di kasur setelah menyalakan pendingin ruangan. Kemudian Hayabusa menyusul ke kamar dan ikut merebahkan diri di samping Hanzo.
"Aku tidak tahu kalau unit sebelah sudah ditempati. Seingatku kemarin unit itu masih kosong." Ujar Hayabusa membuka obrolan.
"Bibi itu benar-benar mengerikan. Aku tidak percaya ada penghuni baru yang berani memarahi tetangganya yang bahkan belum dikenal." Komentar Hanzo.
Hayabusa tertawa, "Mau bagaimanapun itu salah kita. Seharusnya kita tidak berlarian di tengah malam seperti itu."
Hanzo ikut tertawa. Udara dingin dari pendingin ruangan cukup untuk mengusir hawa panas yang menyergap mereka. Lepas dari obrolan singkat tadi, kini keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hayabusa menutup matanya dengan sebelah lengan, sementara Hanzo menatap langit-langit kamar dengan berbagai pikiran di kepalanya. Kemudian pandangannya beralih kepada Hayabusa. Tubuh kekar yang terbaring di sampingnya itu, Hanzo ingin sekali memeluknya. Teringat kejadian di taksi tadi membuatnya kembali salah tingkah.
'Tadi itu benar-benar nyaman.'
Lengannya lantas melingkar di perut Hayabusa, sementara itu wajahnya mendusal pada lengan kekar Hayabusa. Sama dinginnya dengan tangannya berkat embusan udara dari pendingin ruangan yang masih menyala, namun ada kehangatan yang menyentuh hati Hanzo.
"Apa yang kau lakukan?" Hayabusa menatap Hanzo yang mendusal imut seperti anak kucing.
"Hangat."
Hayabusa tersenyum, lalu memiringkan tubuhnya menghadap Hanzo dan membiarkan lengannya untuk dijadikan Hanzo sebagai bantal. Kini Hanzo mendusal pada dada bidang Hayabusa, menghirup dalam-dalam wangi maskulin yang masih melekat pada laki-laki itu meskipun habis bersimbah keringat.
"Kenapa jantungmu berdegup kencang sekali, ani?"
"Saat ada seorang laki-laki kecil imut yang mendusal padaku, apakah jantungku akan diam saja?"
Hanzo tersenyum, lalu memukul dada Hayabusa pelan. "Dasar penggoda!"
Melihat tingkah imut Hanzo, Hayabusa tidak tahan untuk memeluknya erat dan mengecup puncak kepalanya. Tak cukup sampai disitu, Hayabusa beralih untuk melumat bibir Hanzo dengan lembut. Tidak ada perlawanan dari Hanzo, agaknya kekasihnya itu tidak keberatan dengan perlakuan nakalnya. Saat Hayabusa menyusupkan lidahnya, Hanzo justru membalasnya. Sedikit terkejut, tapi Hayabusa merasa senang karena Hanzo mau mengikuti permainannya.
Dua lidah yang saling membelit, menimbulkan suara kecupan yang memenuhi langit-langit kamar, membelah sunyinya malam di antara mereka berdua. Mengabaikan saliva yang mengalir di sudut bibir mereka. Hanzo mendesah tertahan saat Hayabusa semakin mendominasi permainan mereka. Bertahan beberapa menit sebelum mereka melepaskan tautan bibir. Pandang mereka bertemu. Netra biru Hanzo seakan menyihir Hayabusa, merenggut kewarasannya.
•××ו
KAMU SEDANG MEMBACA
ANIKI
Romance[Hayabusa x Hanzo] [Modern AU] "Apa aku hanya sekadar adik buatmu?" "Aku tidak ingin menjadi kakakmu, aku ingin lebih dari itu." * MY FIRST BOOK * - Jadwal up tidak tentu, kadang ide mandek di tengah jalan. - Banyak kesalahan tipografi, jadi kalau m...