(19)

363 40 9
                                    

Telinga Hanzo berdenging, kepalanya pening. Tubuhnya serasa remuk oleh berton-ton batu bata. Di mana dia? Kenapa sunyi sekali? Pengap, dia kesulitan bernapas. Dia tidak bisa bergerak. Tidak ada suara lain selain telinganya yang berdenging, tidak ada bau lain selain pengap dan sedikit bau rokok. Rokok? Hayabusa tidak merokok. Apakah Hayabusa merokok diam-diam di belakangnya? Dia tidak akan membiarkan hal itu. Tapi tadi Hayabusa ada di sana, dia berdiri, dia dipeluk Gusion. Tidak!

Gusion! Bajingan itu! Kembalikan Haya-ku! Kembalikan ani-ku! Aniki, tolong jangan bersama bajingan brengsek itu!

"Ani!" Suaranya menggema di ruangan tertutup yang pengap itu. Gelap. Di mana ini?

Hanzo berusaha bangkit, namun gerakannya terhenti oleh tali yang mengikatnya di kursi. Hanzo panik, dia berusaha melepaskan diri dari ikatan simpul yang terlalu kuat itu. Ini di mana? Kenapa dia terikat?

Suara langkah kaki menggema bersama dengan suara gaduh yang ditimbulkan oleh usahanya lepas dari ikatan itu. Langkah kaki itu semakin mendekat saat siluet seorang pria terlihat berkat selarik cahaya yang masuk melalui lubang kecil di dinding. Setitik cahaya merah menegaskan keberadaan pria yang langkahnya berat itu. Bau rokok. Kemudian saat pria itu berada di jarak beberapa senti di hadapannya, pria itu membuang puntung rokok dan menggilasnya dengan sepatu.

"Orang bodoh itu mengabaikan peringatanku..." Pria itu menggumam sembari berjalan menuju meja terdekat, dia menyalakan lilin dan kembali menghampiri Hanzo. Pria itu memegang lilin dekat sekali dengan wajah Hanzo, seolah hendak membakarnya. "Wajahmu tidak berubah sama sekali. Setidaknya kau terlihat lebih terawat sekarang. Kau dapat majikan yang baik, ya?"

Hanzo terkesiap, dia tidak dapat mengenali wajah yang tengah menatapnya karena nyala api lilin yang begitu dekat dengan matanya.

"Siapa kau? Lepaskan aku! Ini perbuatanmu, kan?" Hanzo berontak.

Pria itu mendecak dan meletakkan lilin di meja, "Tidak sopan sekali. Aku memang di sini tapi bukan berarti aku yang mengikatmu. Aku hanya menjagamu agar tidak kabur. Kau bahkan sudah lupa dengan suaraku." Pria itu melepaskan maskernya dan mendekatkan wajahnya kepada Hanzo. "Perlu perkenalan kembali?"

Hanzo membelalakkan matanya, "K-Kak... Granger?"

"Oh, kau masih mengenaliku, baguslah." Granger terkekeh kecil dan kembali mengenakan maskernya.

Hanzo tidak mungkin lupa. Granger adalah kakaknya di panti asuhan. Dia pendiam dan tidak pernah menyakitinya, tapi bukan berarti dia menyelamatkannya saat kakak bejat sedang melecehkannya. Dia tidak terlalu mengenal Granger karena terlalu pendiam. Granger masih sosok yang misterius baginya, tapi Hanzo tahu Granger tidak akan menyakitinya. Tapi jika Granger di sini, dia tidak bisa mengandalkan pria aneh itu untuk keselamatannya.

"Kau lari dari 'nya', anjing kecil. Itu tidak sopan. Anjing seharusnya melayani majikannya, bukan kabur dan mencari majikan baru. Itu namanya tidak setia." Granger mencengkeram dagu Hanzo dan menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Jangan salah paham, aku di sini hanya menyampaikan pesan dari 'dia'. Aku tidak berminat menyakitimu. Tapi aku juga akan memberitahumu beberapa hal. Tidak perlu repot-repot berteriak minta tolong ataupun berusaha untuk menarik perhatian orang-orang di luar, lebih baik kau simpan tenagamu yang berharga itu. Tidak ada orang lain di luar sana. Hanya ada kita, tikus-tikus penghuni tempat busuk ini, dan 'dia' yang akan datang beberapa menit lagi."

Napas Hanzo tercekat. Dia butuh seseorang untuk membantunya. Jika 'dia' yang dimaksud Granger adalah orang itu, maka kehidupannya akan kembali jadi neraka. Dia tidak mau kembali ke neraka yang meluluhlantakkan kewarasannya dan juga keberanian dalam dirinya.

"Lepaskan aku! Kak, kau tidak pernah ikut campur dalam hal ini sebelumnya dan sebaiknya tidak pernah! Lepaskan aku!" Hanzo meronta, membuat kursi itu berderak karena gerakannya yang kasar.

"Diamlah, bodoh! Sudah kubilang untuk menyimpan tenagamu, bukan?" Granger menampar Hanzo, itu efektif untuk membuat pria muda itu syok dan berhenti bergerak. Granger kembali mencengkeram dagu Hanzo. "Kau berhenti melawan saat dikasari, itu kelemahanmu. Semakin kau dikasari, kau seharusnya lebih berani untuk melawan. Kau tidak punya insting untuk mempertahankan dirimu sendiri. Jika terus begini, kau akan terbelenggu dan menjadi anjing 'nya' sampai kau mati."

Granger melepaskan cengkeramannya dan berjalan mondar-mandir di hadapan Hanzo yang terdiam. Pemuda bersurai merah itu menahan tangis akibat hatinya yang remuk. Dia sakit hati. Upayanya untuk lari dari masa lalunya tidak berarti apa-apa sekarang. Dia kembali terseret ke dalam badai, terpontang-panting tanpa pegangan. Cahaya yang menemaninya kini redup, tak berbekas sama sekali. Tapi sesakit apapun hatinya, dia tidak akan menangis di hadapan masa lalunya.

"Aku bukan penyelamatmu di sini, jadi jangan salah paham dan mengira aku akan membantumu. Aku hanya menjalankan perintah, karena aku sama-sama anjing di sini." Granger kembali menatap Hanzo. "Tapi aku anjing penurut, bukan pemberontak sepertimu. Aku setia pada tuanku. Aku selalu bersamanya, membantunya, menghiburnya saat dia kesusahan. Tapi sayangnya tuanku tidak pernah melirikku, dia justru peduli pada anjing pemberontak yang tidak setia sepertimu."

Itu dia, anjing. Kata-kata merendahkan yang membuat Hanzo muak sejadi-jadinya.

"Aku bukan anjing." Geram Hanzo, tinjunya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.

"Oh ya? Kau anjing, tapi kau tidak tahu diri." Granger terkekeh mengejek.

"Jika aku anjing," Hanzo menatap Granger, "Aku akan menggigit tuanku sampai dia mati dalam penderitaan."

Granger bertepuk tangan, mengejek perkataan Hanzo yang menurutnya tidak berdasar. "Lakukan saja jika tuanmu ada di sini, kutebak yang bisa kau lakukan hanya bergetar dan keberanian kecil yang muncul dalam dirimu itu akan berguguran seperti daun di musim gugur. Itulah mengapa aku menyuruhmu untuk membuang kelemahanmu."

Di luar, terdengar suara kerikil yang berderak terlindas mobil, kemudian mesin mobil itu mati saat menepi. Bantingan pintu mobil, kemudian langkah kaki yang menginjak kerikil mendekat. Suasana menjadi berat. Hanzo semakin kesulitan bernapas, jantungnya berdegup kencang seakan hendak meledak, suhu tubuhnya mendadak turun dengan cepat, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

"Ah, kurasa aku bicara terlalu banyak hari ini." Granger berdeham, "Sekarang tidak akan ada yang menyelamatkanmu. "

Hanzo mendesis saat melihat Granger berjalan menuju pintu reyot gudang itu. Hati kecilnya berteriak untuk tidak membuka pintu itu, bahkan dia tidak bisa lagi bersuara. Tubuhnya refleks meronta, berharap bisa lepas dari ikatan yang membelenggunya. Demi apapun, dia tidak mau berjumpa lagi dengan sosok yang lebih jahat dari iblis itu. Pikirannya berpacu, dia hanya bisa menangis dalam hati.

Aniki, dimana kau?

Pintu terbuka, cahaya dari luar menyilaukan pandangannya. Siluet hitam dari seorang pria yang berjalan ke arahnya dengan langkah kaki berat yang menggema seolah seperti pengumuman eksekusi mati. Yah, baginya, mati lebih baik untuk sekarang. Begitu saja, nyawanya seolah terlepas saat pria itu berdiri di hadapannya dengan seringai yang tidak bisa dilihat namun bisa dirasakannya.

"Kita bertemu lagi, adikku."

•××ו

Hai, maaf kalau sudah lama nggak update. Sejak ujian, aku nggak pernah buka wattpad sampai sekarang. Kelamaan nggak nulis cerita jadi kena idea block :)

Jadi aku mulai sedikit-sedikit nyicil nulis. Untuk sekarang aku baru bisa update segini. Ditunggu update berikutnya, ya!

See you in the next chapter!

ANIKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang