part 12

39.4K 2.4K 58
                                    

Hari kedua di Bali, rencana awal mereka akan pergi ke Nusa penida. Tapi rencana yang telah tersusun rapi itu harus batal karena kedatangan tamu yang tidak diduga-duga. Tadi pagi menjelang siang, salah seorang saudara dari keluarga Gibran yang tinggal di Bali datang berkunjung.

Bersyukurnya karena Tante Gibran yang satu ini bukanlah tipe tante-tante menyebalkan seperti Tante Ani, jadilah sekarang Nela mudah akrab dan merasa nyaman saat berbincang bersama.

"Rasanya udah lama banget gak ketemu. Nela makin cantik aja." Puji Tante Ira pada Nela. Tersipu malu Nela mendengarnya.

"Tante mah bisa aja mujinya." Tante Ira tertawa melihat Nela malu-malu kucing seperti ini. Gibran merasa takjub karena Nela bisa cepat beradaptasi dengan keluarganya. Lihat saja Nela yang terlihat seperti kucing imut dan penurut, padahal aslinya kalau sudah marah mah bisa menjadi singa yang siap menyerang lawannya.

"Gibran sama Nela kapan nikah?"

"Gak tau Mas Gibran." Jawab Nela asal. Ya bagaimana mau nikah kalau tunangan aja Gibran maunya dirahasiakan dari publik. Masa ujug-ujug mau langsung nikah, bisa disangka hamil duluan nanti makanya nikah dadakan.

"Jangan lama-lama loh Bran, nanti keburu diduluin yang lain." Ucap Tante Ira penuh arti. Gibran hanya mendengarkan tanpa ada niatan untuk membalas ucapan Tante Ira.

"Nanti kalau kalian nikah honeymoon nya di sini aja, Tante kasih nginap gratis deh di hotel Tante." Usul Tante Ira.

"Kamu nih Ra, masa udah ngomong honeymoon aja. Nikah nya aja masih belum tau kapan." Sahut Tante Risma. Nela merasa tertolong mendengarnya. Tante Ira ini mengapa ngebet sekali ingin Nela dan Gibran segera menikah. Nela kan masih belum lulus, masa udah mau nikah saja. Apalagi nanti setelah menikah punya anak, aduh pusing deh Nela memikirkannya.

"Persiapan Mbak. Eh Gibran dari tadi diam aja, kenapa sih? sariawan?" Tante Ira menggoda keponakannya itu. Sedang yang digoda masih dengan wajah lempeng menyahuti.

"Nggak." Hanya satu kata yang keluar dari mulut Gibran. Kadang Nela berpikir apa ada orang yang mau berteman dengan Gibran jika diajak ngobrol saja hanya jawab seperlunya.

"Kerjaan kamu gimana Bran?"

"Biasa aja Te. Belakangan ini cuma ngurusin kasus-kasus ringan aja." Jawab Gibran seadanya. Gibran itu seorang pengacara di salah satu kantor firma hukum yang cukup terkenal. Dari awal Gibran memang tidak tertarik dalam dunia bisnis seperti ayahnya, tapi Gibran juga tau akhirnya dia yang harus meneruskan usaha-usaha yang dimiliki Papanya seperti beberapa hotel di daerah ibu kota dan beberapa villa seperti yang ditempatinya. Tapi untuk sekarang ini Gibran masih menyerahkan pekerjaan ini kepada tangan kanan Papanya, Gibran hanya membantu memantau saja.

"Nela yang sabar ya ngadepin Gibran." Tante Ira menatap Nela prihatin karena harus mendapat pasangan seperti itu. Tapi Nela tau itu hanya bentuk candaan agar suasana tidak terlalu tegang.

"Udah jangan godain Gibran terus, takut gambek nanti dia." Bukannya menolong Gibran, Tante Risma malah ikut-ikutan menggoda anaknya. Gibran berdecak mendengarnya. Kenapa dia merasa sedang dinistakan oleh ketiga perempuan didepannya. Beruntung karena masih ada Papa yang hanya diam mendengarkan.

"Udah lah Gibran gak asik banget. Nela bantuin Tante yuk masak buat makan siang."

"Aku ikut, Mbak. Bosen kalau cuma duduk doang." Akhirnya Gibran merasa lega karena ketiga perempuan itu punya kesibukan juga selain menggodanya.

Ketiga perempuan itu berjalan menuju dapur, sedangkan kedua laki-laki masih duduk diam di tempatnya semula.

"Yang Tante Ira katakan benar Bran." Ucap Papa Gibran setelah mereka terdiam lumayan lama.

"Yang mana Pa?"

"Kapan kamu akan menikahi Nela?" Gibran terdiam sejenak, menghela nafas berat lalu menjawab pertanyaan Papanya.

"Gibran belum siap Pa."

"Kamu seorang laki-laki dan harus bertanggung jawab. Papa tidak ingin mendengar hal seperti itu. Dari semenjak kamu menyetujui perjodohan ini, harusnya kamu sudah harus siap dengan hal seperti ini."

"Gibran masih belum bicara dengan Nela Pa. Lagi pula Nela juga masih belum lulus."

"Papa tau itu hanya alasan kamu. Selesaikan segera hubungan kamu dengan Dina dan bicara dengan Nela tentang hubungan kalian." Gibran terperangah mendengarnya. Tidak dipungkiri salah satu alasan ketidaksiapan Gibran memang karena Dina. Gibran mengakui bahwa saat ini dia masih mencintai Dina tapi dia juga tidak bisa jika harus melepaskan Nela.

* * *

"Nela Tante minta tolong panggilkan Gibran boleh?" Tante Risma meminta bantuan Nela, makan siang kini sudah terhidang di atas meja. Nela mengangguk dan mencari keberadaan Gibran.

Nela mencari di ruang tengah, tempat mereka berkumpul tadi tapi Gibran tidak ada di sana, bahkan ruangan itu kini kosong. Nela menaiki tangga menuju kamar yang ditempati Gibran, barangkali Gibran berada di sana.

"Mas Gibran." Nela mengetuk pintu. Menunggu sesaat tapi tidak kunjung mendapat jawaban dari dalam.

"Mas Gibran." Ulang Nela dengan suara lebih keras dari sebelumnya, takut Gibran tidak mendengar panggilannya tadi. Tapi tetap saja tidak ada sahutan dari dalam, Nela menarik turun kenop pintu dan ternyata terbuka, Gibran tidak mengunci pintunya.

Sebelum masuk Nela mengamati keadaan kamar, tapi tidak juga menemukan keberadaan orang yang dicarinya. Nela memutuskan untuk memasuki kamar tersebut. Tatapannya tertuju pada pintu yang diyakininya adalah kamar mandi, Nela mendekati pintu tersebut. Terdiam sebentar untuk mendengarkan barangkali ada suara yang dapat jadi petunjuk bahwa Gibran memang ada didalamnya.

Nela mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu, tapi tiba-tiba pintu terbuka dari dalam.

Pintu terbuka dan menampilkan Gibran yang baru saja selesai mandi, tubuh Nela mematung mengamati Gibran di depannya. Tetesan air masih terlihat berjatuhan dari rambutnya, turun menuju tubuh Gibran, mata Nela melotot.

"AAAAAAA." Dengan segera Gibran membekap mulut Nela agar berhenti berteriak. Sungguh teriakan Nela tidak main-main kencangnya, saking kencangnya bahkan dapat memekakkan telinga Gibran.

"Lepasin." Ucap Nela tidak jelas karena mulutnya yang masih di bekap. Nela menarik tangan Gibran agar membuka bekapannya tapi tenaganya masih kurang untuk melawan Gibran.

"Saya lepas asal kamu tidak teriak lagi." Nela mengangguk dengan cepat. Setelah mendapat anggukan dari Nela, perlahan Gibran membuka bekapannya pada Nela.

Nela berbalik memunggungi Gibran, menutupi kedua matanya agar tidak melihat pemandangan yang sangat indah didepannya. Indah tapi masih belum halal, sayang sekali.

"Cepetan pakai baju, udah ditunguin di bawah." Setelah mengatakannya Nela terbirit keluar dari kamar Gibran. Menutup pintu dengan sedikit kencang. Nela bersandar pada pintu dan berusaha menormalkan nafasnya.

Pikirannya masih terbayang-bayang akan kejadian didalam tadi. Tidak semudah itu ternyata melupakan ingatan, jantung Nela berdegup kencang. Meskipun sudah sering melakukan pemotretan dengan lawan jenis, tapi tetap saja Nela gadis biasa yang berdebar jika melihat laki-laki hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian bawah saja. Ini pengalaman pertama untuk Nela.

Pintu yang dibuka dari dalam membuat Nela hampir terjatuh. Karena Gibran yang berada dibelakangnya dengan sigap menangkap Nela. Kini wajah Nela tepat berada di dada bidang Gibran. Terdengar degup jantung yang sangat kencang, seperti yang dirasakannya.

"Ayo kita sudah ditunggu." Sadar, Gibran segera menjauhkan wajah Nela dari tubuhnya. Nela tersadar dan merasa salah tingkah.

"I-iya udah ditunggu." Nela berjalan mendului Gibran, sungguh suasana terasa canggung saat ini. Nela harap nanti orang-orang tidak akan menyadarinya agar tidak bertanya-tanya dengan apa yang terjadi.

TBC

Yeyyy seneng banget karena makin hari makin banyak aja yang suka sama cerita ini.
Makasih semua🙏
Tetap semangat vote ya.

See you 👋

Selebgram in loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang