part 14

35K 2.5K 18
                                    

Bel apartemen Nela berbunyi. Dengan segera Nela turun dari ranjang dan membukakan pintu untuk orang di sana, yang dapat dipastikan adalah Gibran.

"Masuk Mas." Nela mempersilahkan dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajahnya.

"Kamu udah makan belum?" Tanya Nela setelah Gibran duduk di sofa ruang tamu.

"Belum, kan mau keluar sama kamu." Nela menepuk jidat pelan.

"Iya ya aku lupa. Tunggu ya aku mau siap-siap dulu."

"Dandan nya tidak usah berlebihan, kita ke warung dekat sini saja." Ucap Gibran sebelum Nela meninggalkannya. Jika tidak diberitahu takutnya Nela malah berdandan heboh, bisa jadi pusat perhatian mereka nanti.

Tak lama Nela kembali dan sudah siap untuk pergi. Sesuai permintaan Gibran, Nela kini mengenakan dress rumahan dibalut dengan cardigan dan tas selempang.

"Ayo Mas." Nela dan Gibran berjalan keluar. Masuk kedalam lift yang ternyata sedang sepi saat ini. Tidak membutuhkan waktu yang lama, kini mereka berdua telah sampai di basement tempat Gibran memarkirkan mobilnya.

"Mas makan bakso aja mau ga?" Ucap Nela saat mobil sudah melaju keluar dari area apartemen tempat Nela tinggal. Gibran menatap Nela lalu mengangguk.

"Beneran mau? Aku kira orang kaya kayak mas gini gak suka bakso." Ucap Nela polos. Entah pemikiran Nela ini berasal dari mana hanya Nela dan Tuhan yang tau.

"Ya udah kita ke bakso langganan aku aja ya, gak jauh kok tempatnya dari sini." Gibran mengangguk saja menyetujui Nela. Sudah seperti supir saja dia yang akan siapa mengantar sang nyonya kemanapun.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua telah sampai di warung bakso yang terdapat beberapa orang pengunjung. Jika dilihat dari penampilan warung tersebut begitu sederhana, tidak terlihat seperti warung bakso besar tapi yang membuat Gibran yakin adakah warung tersebut terlihat bersih.

Nela menghampiri Kakek yang terlihat sedang sibuk menyiapkan bakso milik pelanggan lainnya.

"Kakek bakso nya dua ya, makan disini."

"Walah neng Nela toh. Siap tunggu sebentar ya, minumnya apa neng?"

"Minum apa mas?" Nela menoleh kearah Gibran yang hanya diam saja mengikuti di belakang.

"Air mineral." Jawab Gibran singkat.

"Minumannya air mineral aja 2 ya kek. Nela duduk disana ya." Nela menunjuk kearah kursi kosong yang berada di pojok. Gibran yang dari tadi hanya diam mengamati interaksi Nela dan kakek penjual bakso dapat menyimpulkan bahwa Nela sering sekali membeli disini sampai-sampai bisa akrab dengan penjualnya.

"Duduk sini Mas." Nela menghentikan Gibran yang akan duduk didepannya, meraih tangan Gibran agar berpindah duduk menjadi disampingnya. Entah atas dasar apa Nela melakukan hal tersebut, Nela pun tidak tau, dia hanya mengikuti kata hati saja.

"Oh iya katanya Mas mau ngomong sesuatu?" Tanya Nela penuh penasaran, bahkan saking penasarannya dia tidak sadar bahwa tangannya kini hinggap di paha Gibran. Sedangkan ditempatnya, Gibran merasa sedikit tegang karena tangan Nela yang tidak segera menyingkir dari pahanya. Gibran mengatur nafasnya agar masih terdengar normal hingga tidak menimbulkan kecurigaan.

"Nanti aja di apartemen."

"Berarti Mas mau mampir dong." Senyum Nela mengembang mendengarnya. Nela merasa senang karena Gibran sangat jarang mengunjunginya dan Nela akan membuat kunjungan Gibran kali ini terkesan berbeda dengan sebelumnya yang malah berakhir dengan pengusiran.

Kakek penjualan bakso datang membuat obrolan keduanya terhenti. Meletakkan bakso pesanan mereka di atas meja.

"Wah sama pacar ya neng?" Kakek tersebut tersenyum lembut pada Nela.

"Bukan kek, kita udah tunangan ya kan Mas." Tampak Kakek tersebut terkejut dengan pengakuan Nela, tapi tak lama kakek kembali memberi senyum teduhnya.

"Kaget loh Kakek. Selama ini neng Nela selalu datang sendiri atau sama teman ceweknya. Sekarang pas datang langsung bawa tunangan. Selamat ya neng, semoga lancar sampai hari H."

"Amin. Terimakasih kek doanya." Bukan Nela yang menjawab melainkan Gibran. Kakek tersebut pamit undur diri karena ada seorang pelanggan yang baru saja datang.

Nela terdiam ditempat untuk sesaat, memikirkan ucapan kakek tersebut. Di lain sisi Nela mengamini doa yang diberikan padanya, tapi disisi lain dia merasa bingung karena hari H yang dimaksud kakek tersebut belum tau kapan dan apakah akan terjadi.

"Makan." Gibran menyadarkan Nela dari lamunannya. Tersadar, Nela menatap Gibran sejenak dan menarik mangkuk bakso miliknya. Gibran menghela nafas lega karena tangan Nela kini telah berpindah dari pahanya.

"Setelah makan, kita langsung pulang ke apartemen kamu." Nela mengangguk tanpa protes. Malam ini sepertinya akan menjadi salah satu malam terindah karena dihabiskan dengan seorang special dalam hidupnya.

* * *

Gibran kini tengah menunggu Nela. Mereka sudah selesai makan malam dan kini sudah berada di apartemen, Nela sedang berada di kamarnya untuk menaruh tas yang dibawanya tadi.

Gibran mengamati apartemen Nela yang terlihat rapi dan bersih. Gibran kira seseorang seperti Nela tidak terlalu memperhatikan kerapihan karena Nela wanita sibuk dengan pekerjaannya. Tapi ternyata dugaan Gibran salah, memang benar kata orang jangan menilai sesuatu dengan hanya melihat cover saja.

"Liat apa Mas?" Nela menginterupsi. Gibran tersadar dari aktivitasnya yang tengah mengamati apartemen Nela.

"Kamu ada pembantu?" Nela menatap Gibran bingung.

"Nggak kenapa emangnya?"

"Apartemen kamu bersih soalnya."

"Oh heran ya kamu? Udah biasa sih teman aku nanya kayak gitu kalau lagi datang ke sini. Disini gak ada pembantu Mas aku yang bersihin sendiri, tapi kalau emang lagi sibuk banget baru deh aku panggil orang buat bersihinnya." Gibran mengangguk mendengar penjelasan Nela. Keheningan terjadi setelahnya, Gibran sibuk memikirkan akan memulai pembicaraan mereka dari mana.

"Kamu kapan mulai kuliah?" Setelah keheningan yang terjadi, Gibran memilih berbasa-basi terlebih dahulu. Takutnya Nela shock jika langsung ditembak dengan inti pembicaraan mereka.

"Kurang dari 3 bulan lagi. Kenapa emangnya Mas?"

"Tidak apa? Kapan lulus?"

"Kalau tepat waktu sih masih 1 tahun lagi. Kenapa sih mas tiba-tiba bahas kuliah kayak gini?" Tanya Nela menyelidik. Selama ini tidak pernah Gibran menanyakan tentang kuliah, lalu sekarang kenapa tiba-tiba.

"1 tahun lagi ya. Apa kamu sanggup lulus tepat waktu?

" Semoga aja nanti gak ada halangan. Doain aja lah mas, aku sebenarnya males kalau mikirin soal kuliah." Nela terlihat lesu. Memikirkan tentang kuliah, mumet rasanya otak Nela, belum lagi tentang skripsi yang harus dikerjakan sebelum lulus. Nela menjadi ragu jika dia bisa lulus tepat waktu.

"Saya mau kamu lulus tepat waktu."

"Ya aku juga mau Mas. Tapi kan tergantung situasi nanti."

"Kalau saya yang meminta apa kamu bisa usahakan?" Gibran menatap Nela penuh harap. Nela semakin merasa bingung dengan topik yang entah akan kemana ujungnya.

"Asal Mas bantuin aku skripsi an, aku usahain." Jawab Nela bercanda, pikirnya mana mungkin orang sesibuk Gibran bisa meluangkan waktu untuk membantunya mengerjakan skripsi. Jawabannya pasti tidak mungkin.

"Saya pasti bantu." Nela shock mendengarnya, apa pendengarannya tidak salah?

"Beneran bantu ya. Jangan bohong." Todong Nela karena masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Gibran memilih tidak menjawab, dia hanya mengangguk saja.

Keheningan kembali terjadi antara mereka. Gibran menatap Nela dalam, yang ditatap justru merasa salah tingkah. Nela memilih untuk mengedarkan pandangannya menatap hal apapun selain Gibran. Menghela nafas berat lalu Gibran menanyakan sesuatu yang membuat Nela shock.

"Kamu siap nikah?"

To be continued

Selebgram in loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang