"Gibran, duduk dulu. Papa mau ngomong." Kalimat tersebut terdengar seperti perintah yang tidak bisa ditolak oleh yang mendengar. Gibran menghela nafas lelah, dia baru saja pulang kerja dan saat melewati ruang keluarga malah disambut oleh Papanya yang pasti Gibran yakini akan membahas perihal hubungan asmaranya. Sungguh Gibran merasa ini bukan waktu yang tepat, dia butuh istirahat sekarang.
"Ada apa Pa?" Gibran mendudukkan dirinya di sebrang Papa nya, mereka berhadap-hadapan.
"Kamu tau apa yang mau Papa bicarakan. Sudah membicarakannya dengan Nela?"
"Sudah Pa. Nela masih butuh waktu untuk berpikir." Papa Gibran mengangguk.
"Nela masih kuliah Pa. Mungkin setelah lulus Nela mau menikah."
"Papa sebenarnya tidak buru-buru nak, hanya saja Papa khawatir jika kamu akan mencampakkan Nela mengingat kamu masih berhubungan dengan mantan kamu itu." Jelas Papa Gibran, mengutarakan apa yang menjadi kegundahannya selama ini. Gibran menatap tidak percaya pada Papanya, jadi ini yang mendasari sang Papa untuk mendesaknya.
"Gibran tidak se brengsek itu Pa. Jikapun nanti Gibran tidak bisa bertahan dengan Nela, pasti Gibran akan bicara baik-baik." Ucap Gibran tegas, membalas tuduhan Papanya. Sungguh Gibran masih sangat tau aturan, tidak mungkin dia akan mencampakkan Nela begitu saja.
"Bagus jika kamu memang tidak se brengsek itu. Papa harap kamu bisa lebih menjaga perasaan Nela." Setelah mengatakannya, Papa Gibran berdiri, meninggalkan Gibran yang masih duduk memperhatikan punggung Papa yang menjauh hingga tidak terlihat lagi oleh netranya.
Gibran menghela nafas, lalu berjalan menuju kamarnya berada. Bisa stress dia jika memikirkan tentang pernikahan yang jujur saja dia masih merasa ragu untuk terjadi dalam waktu dekat.
Sesampainya dikamar, Gibran langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya sekaligus menjernihkan pikirannya yang tengah kalut dengan tuntunan sang Papa. Dilain sisi Gibran juga merasa lega karena Papanya tidak menuntut untuk menikah dalam waktu dekat-dekat ini.
Gibran mengguyur tubuhnya dengan air yang mengalir dari shower. Menguyar rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya. Air dingin mungkin dapat membantu menjernihkan pikiran. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Gibran menyelesaikan acara mandinya, beberapa menit kemudian dia telah keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang melilit di bagian bawah tubuhnya.
Terdengar bunyi nyaring dering handphone yang tergeletak di atas kasur. Gibran meraih handphonenya dan melihat siapa yang menelepon, senyumnya tersungging melihat nama si penelepon.
"Halo Gibran." Sapa orang disebrang sana, yang terdengar lemah lembut.
"Ada apa?" Meskipun Gibran merasa senang dengan telepon itu, tapi sikap to the point nya tidak bisa dihindari.
"Kebiasaan nih, basa-basi dulu kenapa sih. Nyebelin tau gak." Suara disebrang sana terdengar sedang merajuk manja, dan Gibran menyukainya. Jika saja orang disebrang sana ada didepannya saat ini pasti Gibran akan mencubit pipinya karena saking gemasnya.
"Maaf, udah kebiasaan."
"Nanti malam kamu sibuk gak? Aku butuh kamu nemenin aku nih."
"Kemana?"
"Jawab dulu mau apa gak?" Gibran mengangguk meskipun orang disebrang sana tidak dapat melihatnya.
"Nanti malam aku mau kondangan. Temenin ya." Terdengar harapan dalam suara tersebut.
"Jam berapa?"
"Jam 8. Kamu mau kita langsung ketemu di tempatnya aja atau mau dijemput?"
"Kamu tunggu aja dirumah, nanti aku yang jemput."
"Beneran? Aku gak enak nih, kan aku yang ngajak kamu masa kamu masih jemput aku sih."
"Tidak apa. Nanti biar aku saja yang jemput."
"Makasih Gibran." Suaranya sangat kentara sekali bahwa orang disebrang sana sangat senang dengan keputusan Gibran. Gibran yang mendengarnya juga tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
* * *
"Mau kemana Bran?" Tanya Mama Gibran saat melihat anaknya berpakaian rapi.
"Kondangan Ma." Jawab Gibran singkat. Memilih tidak menjelaskan lebih lanjut karena tidak mungkin dia mengatakan akan menemani Dina kondangan. Setelah berpamitan pada kedua orang tuanya, Gibran menuju mobilnya yang telah siap pakai.
15 menit berlalu, kini mobil Gibran telah terparkir di sebuah rumah yang berada di kompleks yang terkenal cukup elit. Gibran keluar dari mobilnya dan mengetuk pintu didepannya. Pintu terbuka menampilkan wanita yang seumuran dengan Mamanya. Gibran memberikan senyum dan menyalami wanita tersebut.
"Loh Nak Gibran. Ayo masuk." Wanita yang merupakan ibu dari Dina itu menuntun Gibran agar duduk di sofa ruang tamu.
"Pasti mau jemput Dina ya. Tunggu sebentar ya Dina masih siap-siap." Sembari menunggu Dina, Gibran tampak berbincang ringan dengan ibu Dina. Jika kalian, menanyakan kemana ayah Dina? Jawabannya adalah tidak ada. Karena ayah dan ibu Dina sudah berpisah dan Dina memilih untuk ikut dengan ibunya saja. Penyebab dari perpisahan itu sendiri Gibran tidak tau karena dia menganggap itu adalah privasi mereka, dan pastinya akan tidak nyaman jika di bicarakan dengan orang yang bukan bagian dari keluarga.
"Ayo Bran. Aku udah siap." Sontak saja pembicara terhenti, perhatian dua orang beda jenis itu kini beralih pada Dina yang terlihat sangat memukau malam ini. Gibran saja sampai terpesona olehnya.
"Cantik banget anak ibu. Coba sini berdiri samping Gibran." Ibu Dina meraih tangan anaknya dan menuntunnya agar berdiri disamping Gibran. Ibu Dina menyunggingkan senyumnya saat mengamati mereka berdua.
"Cocok." Kata itu terlontar dari ibunya, membuat Dina merasa salah tingkah. Bahkan pipinya sudah merona mendengarnya. Gibran sendiri berdeham karena situasi tiba-tiba menjadi canggung. Dia merasa bahwa ini salah, tapi sebagian dirinya juga merasa senang, Gibran tidak memungkiri itu.
"Kita berangkat sekarang Ma. Takut kemalaman nanti." Dina dan Gibran pamit, mereka berjalan keluar dari rumah diikuti oleh ibu Dina dibelakang. Ibu Dina tidak dapat menyembunyikan senyum bahagianya. Tangannya melambai pada mobil yang mulai melaju meninggalkan kawasan kompleks.
"Aku seneng banget tau kamu nemenin aku." Ucap Dina dengan senyum yang tidak hilang.
"Tadinya aku udah berpikir untuk gak dateng aja, dari pada jadi bahan godaan disana. Tapi akhirnya aku keingat kamu jadilah aku ajak untungnya aja kamu mau." Celoteh Dina yang hanya Gibran dengarkan saja. Dina tidak tersinggung sama sekali, karena sudah hafal dengan sifat Gibran yang satu ini.
"Eh ngomong-ngomong tunangan kamu gimana? Kamu udah izinkan sama dia?" Tanya Dina tiba-tiba. Dina menatap Gibran dengan rasa penasaran. Gibran sempat melirik Dina sekilas sebelum menjawab pertanyaannya.
"Dia tidak tau." Dina mengangguk mengerti. Dalam hatinya dia bahagia, karena sampai disini saja dia sudah tau bagaimana kedudukan Nela di hidup Gibran. Dina tidak munafik, kalau sampai saat ini dia masih sangat mencintai Gibran dan masih memiliki harapan untuk kembali bersama dengan Gibran. Dan Dina juga sadar Gibran juga merasakan hal yang sama.
TBC
Nih yang dari kemarin minta Selebgram in love update. Btw, udah ada yang baca ceritanya baru aku kan?
Minta tolong buat ramaikan cerita itu juga ya. Lumayan kan ngisi waktu gabut sambil nunggu Selebgram in love, judulnya Meet a Mate ya. Ditunggu kehadiran kalian disana.
See you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selebgram in love
RomanceNela seorang selebgram yang sedang naik daun karena sering kali digosipkan tengah berkencan dengan partner nya. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, dia sudah mempunyai tunangan seorang pengacara, yang berasal dari keluarga kaya raya. Sikapnya yang...