Perkenalkan, Rafasya Lazuardi Parviz, anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun dua ribu dua puluh dua ini, aku genap delapan belas tahun.
Saat aku menulis catatan ini, aku kelas tujuh di SMP Rusada. Rumahku sekomplek dengan sekolahku.
Aku hidup bahagia, orang tua harmonis, rukun dengan kedua adikku. Juga memiliki banyak teman. Apabila boleh dijabarkan, aku memiliki kenalan di hampir semua kelas, baik seangkatan, atau dua tingkat di atasku.
Aku merasa, aku cukup pintar segala hal, aku bisa matematika, aku suka meneliti sains, aku juga mendalami sejarah. Aku tidak terima disebut bodoh tentang pelajaran.
Aku hobi main game, nonton anime, dan mencuri pulpen Jihan.
Oh, iya, perkenalkan juga, dia Jihan, sahabatku dari umur tiga tahun, sebenernya dia dua bulan lebih tua dariku, tapi aku memperlakukan dia seperti adikku. Saat kami sedang mendorong mobil mainan di pekarangan rumah, kami melihat mobil box besar datang dan berhenti di samping rumah Jihan. Bersamaan dengan diturunkannya barang-barang, keluar kaki kecil menginjak tanah setengah dibopong Ibunya. Setelah kami hampiri, ternyata anak pindahan itu namanya Naura.
Kami bersahabat dan merasakan kenyamanan mungkin karena kami juga seumuran, kami tetanggaan, dan orang tua kami juga demikian.
Aku habiskan masa demi masa bersama kedua sahabatku itu, apabila ada yang bertanya, "kemana teman lelakimu?" jawabannya, ada, sih, cuman gak akrab-akrab banget, biasa aja gitu.
Aku, Jihan, dan Naura makan bersama, tertawa bersama, nangis bersama, memasuki TK kami belajar bersama, ketika SD kami saling bersaing, siapa yang akan mendapatkan peringkat satu, dua, atau tiga di antara kami.
Ketika memasuki SMP, saat hambatan menuju kedewasaan yang membebalkan bernama pubertas dimulai. Kami mulai berpencar, jaringan pertemanan yang jauh lebih luas, Jihan dan Naura mendapatkan dunianya yang baru, kurasa, hanya aku yang masih terjebak dalam lingkaran setan persahabatan, terlebih saat aku malah menyukai salah satu dari mereka.
Aku bertemu pula dengan kakak kelas tampak rapuh dan kesepian, sangat disayangkan melihat wajah imutnya yang selalu kusut.
Masa remaja yang membingungkan, masa remaja yang benar-benar bingung.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, aku tidak tahu harus bagaimana.
Aku mulai kesal membicarakan hal ini, apa itu artinya aku memang benar-benar menyesal?
Dalam umurku yang masih sangat belia, aku sudah merasakan bagaimana jahatnya diriku saat mencampakkan orang lain.
Satu sisi, aku merasa bersalah, tapi disisi lain aku berpikir, "selalu aku yang mengejar dia, kenapa dia ngga suka mengejar aku."
Siapapun, tolong beritahu aku, sebenarnya siapa yang salah? Apakah aku selaknat itu?
Diumur ku yang delapan belas, aku mulai mengerti semuanya. Aku memang salah, aku lelaki goblok yang menyia-nyiakan rasa tulus orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, saat itu aku masih kecil, mana sadar kalau aku itu egois.
Untuk itu, mari baca bersama cerita masa laluku, apapun pendapatmu tentang aku, aku sudah siap membaca itu semua.
Teruntuk Embun, dalam senyumku yang cerah, aku merasa bersalah atas trauma masa muda yang sulit reda. Entah aku atau siapapun, dimasa depan pasti akan lebih cerah. Percayalah.
»»——⍟——««
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun
Teen FictionStory *6 by Aris Yulia Spin Off Rafasya. Bisa Dibaca Terpisah! Tidak ada yang namanya kebahagiaan perihal mengakhiri secara tiba-tiba. Tidak ada yang namanya kesedihan apabila telah melakukan suatu hal yang benar. Untuk para perasa hal yang sama...