"Baru aja pulang, di rumah udah gaduh. Terus waktu aku tanya, katanya Uwa ku ingin antara ketiga anak mama ku pindah sama Uwa. Dan mama ku lebih pilih aku buat ke sana, aku gak mau, aku gak siap."
"Uwa aku gak punya anak perempuan, dia bener-bener pengen besarin anak perempuan, Uwa aku pengen aku sekolah di sana, tinggal di sana."
"Ooh, jadi Uwa kamu itu pengen kamu sekolah di sana?" tanyaku.
"Iya, Fa, aku tuh gak mau. Aku pengen di sini, sama keluarga ku."
"Alesan Uwa kamu pengen kamu tinggal di sana bener bener gak logis sih, masa, karena Uwa kamu pengen anak perempuan doang. Kalau menurut aku ya, yang kaya gitu, namanya mengambil hak asuh anak, udah jelas kalau kamu itu wajib diasuh sama orang tua kamu aja yang asli. Selagi orang tua asli kamu mampu dan juga masih ada." Ungkapku menyerukan pendapat, memang begitu keadaanya.
"Aku pengen di sini selamanya, gak mau pergi. Aku gak mau ninggalin temen ku di sini, aku juga gak mau ninggalin kamu Rafasya."
Aku membeku, lagi dan lagi aku dibuat bungkam oleh kata-kata Embun.
"Rafasya!" panggil Embun suaranya naik satu oktaf.
"Eh, iya, Embun?"
"Rafasya, aku harus gimana?"
Aku tahu Embun lagi sedih, jadi aku mau menghiburnya saja.
"Aku tau! Gimana kalau kamu pura-pura mati aja?"
"Ish, Rafa, serius dong!"
"Ini aku juga lagi serius, Embun."
"Yaa tapi, masa aku harus pura-pura mati, sih?"
"Iya gak pa-pa, kamu pura-pura mati aja, nanti aku gali buat nyelamatin kamu."
"Terus, cara aku ngasih tau kamu, supaya kamu dateng buat selamatin aku gimana?"
"Gampang, tinggal WA aja!"
"Kan kalau mati gak bisa bawa HP, Rafasya!"
"Bisa kok! Selipin aja dipantat."
"Ahahahaha."
Kontan, akupun ikut tertawa karena lelucon ku sendiri. Bukan hanya itu, aku lebih bahagia ketika aku berhasil menghibur Embun. Mendengar ia tertawa begitu lepas, membuat aku lega.
"Yes, akhirnya aku denger lagi ketawa kamu!" ucapku.
"Lagi?"
"Aku pernah denger kamu ketawa sih, sekali. Dan aku suka suara ketawa kamu, ya ampun, apa ya yang gak aku suka dari kamu?"
"Apaan sih!"
Kalimat yang bisa membuktikan, bahwa melihat seseorang lewat telepon tidak harus video call. Inilah contohnya. Aku pastikan Embun pasti salah tingkah.
Terbayang pipi cabi nya yang memerah, matanya yang menyipit, bibirnya yang merekah indah.
"Fa, kamu pernah gak ngerasa bosan, atau stres karena suatu hal? Sampe pada akhirnya, kamu ingin mengakhiri hidup?" tanyanya tiba-tiba.
Bakat terpendam Embun yang sangat brilian. Mengalihkan pembicaraan.
"Bunuh diri itu dosa, pasti masuk neraka. Aku gak pernah bosan hidup, aku nunggu aja waktu nya aku mati kapan."
"Kalau aku bener-bener bakalan bunuh diri, ada gak ya? Malaikat dateng buat nyelamatin aku, mengingatkan aku. Seperti film."
"Aku, aku bakalan dateng nyelamatin kamu, aku bakalan jadi sosok pahlawan buat kamu."
"Bener?" tanya ia seakan memastikan.
"Iya, aku pasti menyelamatkan kamu, sebagai seorang teman yang baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun
Teen FictionStory *6 by Aris Yulia Spin Off Rafasya. Bisa Dibaca Terpisah! Tidak ada yang namanya kebahagiaan perihal mengakhiri secara tiba-tiba. Tidak ada yang namanya kesedihan apabila telah melakukan suatu hal yang benar. Untuk para perasa hal yang sama...