Halaman 3

0 0 0
                                    

Sudah seminggu berlalu, Jihan dengan Akmal semakin memperlihatkan hubungan mereka di kelas. Semua orang sudah tahu kabar mereka pacaran. Semenjak seminggu yang lalu itu juga aku dan Naura menjadi canggung. Aku ragu untuk mengeluarkan sepatah katapun untuk bertanya pada Naura.

Setelah istirahat kedua, pelajaran bahasa Sunda dimulai. Karena sedang pembelajaran kesenian Sunda dan mulai praktek, untuk memaksimalkan pembelajaran, maka harus dibuat kelompok.

Dari tiga puluh enam murid dibuat menjadi enam kelompok, satu kelompok enam orang.

"Bu, sekarang setiap pelajaran ada kelompok, ngebuat kita pusing bahkan sering salah kelompok. Gimana kalau kelompok bahasa Sunda ini samain aja sama kelompok seni budaya, berkesinambungan juga kan materinya," usul si ketua kelas.

Tanpa ba bi bu lagi, semua orang setuju dengan keputusan itu, terkecuali aku.

Aku melihat ke arah belakang, Jihan yang ingin aku tatap saat ini ternyata lebih dulu melihatku. Sontak, aku membalikan lagi badan untuk menghadap ke depan.

Dua jam berlalu, bel pulang pun berbunyi nyaring.

Semua orang yang berada di dalam kelas berhamburan keluar. Selangkah lagi aku meninggalkan pintu kelas, seseorang menarik tanganku.

Sedikit terkejut saat aku lihat itu adalah Jihan.

Seketika aku mengerti ke mana arah pembicaraan ini akan tertuju.

"Kalau kamu gak mau aku ada di kelompok kamu, aku mau tukeran sama Akmal, biar Akmal ada di kelompok kamu," aku melepaskan tangan Jihan dari tanganku lalu beranjak pergi.

Baru saja beberapa langkah, Jihan berteriak yang sontak membuat aku terdiam.

"Kamu ngga usah pindah kelompok."

Alhasil, aku dan Jihan melanjutkan pembicaraan kami di salah satu anak tangga untuk naik ke lantai dua gedung sekolah.

"Maaf karena selama ini aku ngga peka sama perasaan kamu, kita udah terlalu lama berteman, jadi selama ini aku anggap perlakuan kamu ke aku hanya sebatas teman, nggak lebih." Jihan mengawali percakapan.

"Ngga papa, aku ngerti kok."

"Kita ngga usah kaya marahan gini, kita bisa kaya dulu lagi kan? Aku ngga nyaman dengan hubungan kita saat ini, sama Naura juga."

Aku menatap Jihan. "Naura ngga suka nanya ke kamu?"

Jihan menggelengkan kepalanya.

"Kamu gak usah marah sama Naura, apa yang udah Naura lakuin itu bener, aku yang salah karena gak peka, Naura belain kamu, Naura ada di pihak kamu waktu itu, jangan benci Naura lagi ya."

Aku menunduk, saat itu aku sedang marah besar. Aku merasa takut kehilangan Jihan sehingga tidak apa-apa bila mencintai dia dalam diam dengan memendam rasa sakit. Tapi sekarang aku sadar, Naura saat itu sedang menguatkan ku. Dia sepenuhnya mendukung aku.

"Makasih, Jihan."

"Buat?"

"Karena udah nyadarin aku, aku bakalan baikan sama Naura. Tapi, aku mungkin aja belum bisa terima kamu kaya dulu, karena aku butuh waktu buat ngilangin perasaan aku ke kamu."

Tanpa melihat Jihan kembali, aku langsung pergi meninggalkan Jihan begitu saja.

***
E

soknya di hari sabtu, pukul setengah tujuh pagi, aku diam di depan rumah sembari menunggu seseorang lewat.

Lima belas menit kemudian, yang diharapkan pun tiba. Dari ekor matanya, Naura melihat ke arahku, hanya sesaat, kemudian dia pura-pura tidak melihatku.

EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang