Halaman 5

0 0 0
                                    

Manusia bisa gila diwaktu yang tidak bisa ditentukan, bisa juga normal diwaktu yang tidak bisa ditentukan pula. Seperti aku saat ini, tanpa merasa malu, aku dengan santai ikut duduk di salah satu kursi, kebetulan ini juga kursi kosong, dengan adanya keberadaan ku, seluruh kursi terisi.

Sayup-sayup terdengar suara. "Aku belum pernah liat orang itu di sini."

Aku dingin saja, sambil pandangan terus tertuju pada perempuan bernama Embun itu.

Dia sedang menyeka keringat yang ada di dahinya, muka capek nya, muka kesal karena diusili teman-temannya, juga muka yang tiba-tiba tertawa. Perubahan mood yang sangat cepat, membuatnya terlihat lucu.

Awalnya aku mengira dia sebaya denganku, sampai pada ketika seseorang memanggil dia, "kak." Barulah aku tahu kalau dia ternyata kakak kelas.

Dilihat dari wajahnya sih, dia tidak mencerminkan satu taun lebih tua dari ku. Dia terlihat lebih muda dariku.

Bu Fatimah memberi pengumuman bahwasanya kelas sembilan sudah tidak aktif lagi mulai minggu depan, oleh karena itu akan ada penggantian ketua baru. Itu tandanya, aku masuk eskul di saat kepemimpinan baru, waktu yang sangat tepat.

Tidak lama, mungkin setelah sekitar lima belas menit, semua kegiatan dihentikan. Anggota berhamburan keluar untuk segera pulang.

Aku menoleh ke belakang ketika merasa seseorang menyentuh pundakku.

"Rafasya, sejak kapan kamu masuk adiwiyata?" ternyata dia adalah Cahaya, teman sekelasku, tidak terlalu dekat emang.

"Sejak barusan," jawabku sejujur-jujurnya.

"Oh, ya udah aku duluan."

Aku mengangguk, membiarkan Cahaya pulang duluan. Pandangan ku mengikutinya, saat Cahaya berpapasan dengan Embun, dia memberi salam sambil berbicara singkat.

Mereka terlihat sangat akrab. Seketika itu juga senyumku kembali merekah.

Setelah gelap terbitlah terang. Dunia mendukungku untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Embun.

Di perjalanan pulang aku berpikir, aku bertemu dengan Embun bisa dihitung beberapa jam yang lalu, aneh rasanya bisa langsung tertarik dan ingin mencari tahu semua tentang dia.

Rasa penasaran, hanya itu yang bisa aku asumsikan saat ini. Mana mungkin aku langsung menyukai seseorang dengan semudah itu. Bahkan aku memerlukan waktu setidaknya delapan tahun untuk menyukai Jihan.

Berbicara Jihan, barusan aku melihatnya berboncengan dengan Akmal. Jihan bahkan pura-pura tidak melihatku, dasar bocah satu itu.

Aku mempercepat langkah agar segera sampai rumah dan mengurung diri. Dari semua makhluk di dunia ini yang membuatku enek setiap harinya.

Waktunya main game, dan tidur.

Sesampainya di rumah, aku melepas sepatu dan kaos kaki lalu menyimpannya di rak. Kemudian dengan perasaan yang sangat antusias, aku segera membuka pintu kamar agar segera bertemu kasur, tetapi. "Astaghfirullah!"

Aku seratus persen terkejut, rasa bahagiaku karena sebentar lagi akan rebahan hilang terbawa angin dalam sekali hembusan napas.

Naura dengan senyum lebar bagai joker, berdiri tegap sambil berkacak pinggang. Menatapku penuh amarah.

"Kenapa gak pulang bareng aku? Kenapa lama banget pulangnya? Kenapa hah kenapa?" tanya Naura meninggikan suaranya.

"Berisik!" protesku.

"Dari mana? Tumben baru pulang?" Naura melunak, langsung duduk di kasur empukku.

"Keluar, aku mau ganti baju."

EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang