Halaman 6

0 0 0
                                    

Aku memijit batang hidung, konon katanya itu bisa menghilangkan rasa pening. Ini baru hari senin tetapi kenapa aku sudah merasa sepusing ini!

Emosi aku, mana masih pagi. Ingin menyumpal mulut orang yang satu ini.

"Kamu tahu, gak?"

"Nggak."

Alhasil aku didorong kuat oleh si penanya. Padahal aku memang tidak mengetahui apa-apa.

"Harusnya kalau cewek nanya 'kamu tahu gak?' kamu jawab 'apa?' biar aku lanjutin ceritanya!"

"Terus kalau aku jawab 'nggak' ceritanya gak bakalan lanjut?" tanyaku memelas, karena sangat-sangat kesal.

"Ya, pasti dilanjut sih. Terus, ya, udah jalan-jalan keliling mall, kita nonton film, udah gitu kita makan, enak banget pokoknya."

Naura mengeluarkan ponsel, lalu menunjukan foto.

"Ini di hari minggu nya, kita lanjut main dan photobox. Bagus banget gak? Kita cocok gak? Cocok banget kan kita berdua? Ya iya lah, pasangan terfenomenal di Rusada ini gitu loh, iya kan, Fa? Fa? Rafa jawab ih!"

Kini aku menatapnya dengan serius, ini bukan waktu yang tepat untuk bercerita tentang itu semua. Lama-lama aku bisa muak dengan segala kebucinan dia.

Naura balik menatapku dengan sorot mata yang mulai sayu, terbesit rasa takut tetapi menunggu respon ku untuk menjawab.

"Udah ada guru, duduk ke kursi kamu." Hanya itu yang bisa aku ucapkan.

Itulah perasaanku pada Naura, semenyebalkan apapun dia, setelah aku kesal padanya, tak pernah sekalipun aku bisa marah, saat aku marah karena insiden Jihan, itu adalah pertama kalinya aku menunjukan marahku pada Naura, itupun pada akhirnya aku menyesal.

Guru IPA menyuruh kami untuk membuat kelompok, ingin sekali protes, kenapa selalu berkelompok, kalaupun memang wajib, kenapa harus selalu ganti anggota setiap sub materi. Aku jadi pusing.

Tapi, di samping rasa kesal itu, aku mendapat secercah Cahaya, bukan, ini memang Cahaya. Kini ia sedang melihatku dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada.

Aku tetap tersenyum, walaupun ia melihatku dengan pandangan sinis.

"Aku curiga sama kamu, jangan-jangan kamu suka sama Kak Embun," ucap Cahaya.

Aku menempelkan jari telunjuk di bibir, "jangan keras-keras ngomongnya."

"Jujur! Kamu suka sama Kak Embun?" tanya Cahaya kekeh.

"Baru aja ketemu hari sabtu, masa iya aku suka sama dia, udah aku bilang, aku cuman mau daftar keanggotaan sama dia!"

"Jangan macem-macem ya kamu! Dia udah aku anggap seperti kakak aku sendiri, dia juga udah ada pacar, anak PMR ganteng lagi. Jadi, kamu diam aja ya, tuh pacaran aja sama Jihan atau Naura!"

Aku tidak dapat berkata-kata lagi, tidak ada bahan sekatapun aku bisa menjawab Cahaya, walaupun itu memang bukan pertanyaan.

Karena aku ketua kelompok, segera aku membagikan tugas kepada anggota, agar cepat selesai, dan tidak buang-buang waktu.

Sial, satu perempuan incaranku juga udah punya pacar, apa cuman aku satu-satunya di sini yang gak punya pacar?

***

Terbesit rasa ketidak percayaan diriku untuk melanjutkan ekstrakurikuler adiwiyata, memang sudah punya niat tidak baik ketika aku ingin mengikutinya. Seperti inilah nasibku ketika sudah kehilangan harapan.

Namun, Bu Fatimah yang seluruh sekolah ini juga tahu beliau pembina adiwiyata, mengajar di kelasku saat pembelajaran terakhir. Ketika bel pulang berbunyi, aku tertahan di kelas karena Bu Fatimah ingin membicarakan sesuatu.

EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang