Halaman 1

4 0 0
                                    

Musim panas bulan Agustus sangat menguji kesabaran manusia. Gerah hati, gerah bodi. Tetapi ini bukan iklan minuman soda yang menyegarkan itu.

Pakaian yang dijemur siang ini bisa langsung dipakai nanti sore, pabrik kerupuk rumahan yang menjemur mengandalkan cahaya surya pasti bahagia.

Para turis juga sepertinya bahagia berlibur di pantai.

Tapi musim panas yang terik ini harus dihadapi dengan hati yang baik-baik saja, rasa panas dari cuaca bisa merembet dengan cepat ke dalam dada dan otak, menyebabkan amarah kerap muncul dirasa sesuatu yang mengganggu datang.

Seperti perempuan yang satu ini, dengan ekspresi marahnya yang terlihat gemoy dipandanganku, ia mengepalkan tangannya seakan siap menghajar diriku yang memang berdosa ini.

"Pantes aja, hampir setiap minggu pulpen ku ilang terus, jadi kamu yang ambil?"

"Jihan, kamu kan baik, aku minta satu aja ngga papa, kan? Kamu kan anak baik."

"Ngga bisa! Kamu udah ambil enam pulpen aku, balikin! Kalau ngga punya uang beli pulpen bilang sama mama mu!''

Mendengar gerutuannya yang berisik, aku memilih kembali ke meja ku tanpa mengembalikan pulpennya yang kini sedang aku genggam.

" Rafasya!''

Teriak Jihan semakin keras, aku tertawa puas melihat ekspresi nya.

Tentu semua orang tidak ada yang memperhatikan kami, pada jam kosong ini semua anak sibuk bermain.

Kala itu masih sekolah dasar, katanya sih, lagi lucu-lucunya anak-anak mengembangkan potensi, mencari tahu apa keinginan, kemampuan, kelebihan dan kekurangan anak, dinilai oleh pandangan orang tua dan pembimbing lainnya.

Aku sudah menemukan kemampuanku itu, tapi kini sudah tidak lagi.

Baru saja aku akan mendeklarasikan diriku sendiri bahwa aku pejuang nomor satu bangsat pulpen se-SD Sinar Bangsa ini! Tetapi Jihan sudah mengetahui taktik ku ini, jadi ya seperti itulah.

Aku harus belajar dan mencari tahu potensiku ada di mana.

"Dor!"

Seseorang mengagetkan ku. Sebenernya aku ngga kaget, cuman pura-pura kaget aja agar perjuangan dia tidak sia-sia.

"Ngga lucu, aku tahu kamu ngga kaget!"

"Eh, Naura, udah beres tugasnya?"

"Udah, dari tadi. Kapan sih bel bunyi, gak sabar pengen pulang!"

Naura menidurkan kepalanya di atas meja, tangannya menelungkup dijadikannya bantal.

"Bentar lagi."

"Kamu masih belum beres nulisnya? "

"Keliatannya gimana?"

Naura menghembuskan napasnya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kalau ngga punya pulpen, bilang ke aku, nanti aku kasih pinjem, atau nanti aku beliin aja sekalian, ngga usah maling pulpen Jihan!"

"Idih, emangnya kenapa?"

Naura diam dengan raut wajah yang sulit untuk diartikan.

"Aku ada kok pulpen, cuman pengen iseng aja ke Jihan." Kataku jujur.

"Kamu suka sama Jihan?"

Aku terdiam, bahkan kini saat sudah SMP kelas tujuh. Naura selalu dan selalu menanyakan hal yang sama.

"Aku tanya sekali lagi, kamu suka sama Jihan? Dari tadi kok ngeliatin dia mulu. Waktu kemarin di acara tahun baru, kamu cuman bawa jagung bakar buat Jihan, sedangkan aku harus bawa sendiri. Kenapa sih?"

EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang