Halaman 22

0 0 0
                                    

Usai ditinggalkan oleh Naura tadi sore, aku menjadi tiga empat kali lebih banyak berpikir. Membuka ponsel, menutupnya lagi, ruangan dengan nuansa krem tempat beristirahat, ranjang yang empuk juga suhu yang sejuk, aku nobatkan sebagai lokasi ternyaman, tersurgawi, yang pernah ada.

Berharap cemas, akankah Embun menghubungiku lebih dulu?

Naura kata, kalau Embun benar mencintai ku Embun akan menghubungiku.

Mengapa aku harus mengikuti kata Naura? Perempuan kan gengsi nya tinggi? Mana ada perempuan hubungin duluan, harusnya aku, kan? Bodo amat! Aku bakalan telepon Embun sekarang!

Namun urung.

Apapun makanannya, jangan sampai minumnya ludah sendiri. Seperti aku.

Aku juga gengsi, aku malu, aku takut. Aku berpikir, sepertinya aku butuh beberapa waktu untuk menyelesaikan semuanya. Aku biarkan Embun mereda dengan emosinya, aku pasti akan kembali, meminta maaf atas egoku.

Tetapi kenapa, sampai sekarang pagi hari aku tetap berharap Embun yang menghubungiku lebih dulu? Kenapa aku sepayah ini? Apa jika Embun tidak memberiku pesan barang sedikit saja, artinya Embun sudah tidak suka padaku?

Sepanjang jalan aku melamun dan melamun. Buktinya, aku tak sadar bahwa aku sudah sampai depan kelas, perasaan baru saja aku memakai sepatu dan keluar rumah, aku tak sadar bahwa ujian telah selesai, perasaan baru saja aku mengeluarkan pensil yang telah diuril sampai tajam untuk mengisi Lembar Jawaban Komputer.

Semuanya karena Embun! Tidak, ini semua karena aku si Bodoh yang gila permainan gawai.

Aku juga tak sadar bahwa Naura menarik tanganku dan mengajak ku kembali ke koridor kelas, padahal baru saja akan pergi pulang. Perasaan, kemarin kita seperti hendak musuhan.

Lagi-lagi aku tak sadar akan alasan Naura begitu tertawa.

Lalu, ketika mengikuti arah pandang Naura tanpa aba-aba aku ikut tertawa. Bodoh! Sangat bodoh!

"Otak ini logikanya maen dikit bisa? Jangan pake perasaan terus kayak banci, masalah kaos kaki aja salah, dasar!"

Baru kali ini lah aku ditampar sadar, celana biru tua ku pendek selutut, semuanya begitu terlihat ketika aku memakai kaos kaki yang yang kanan panjang dan kiri pendek. Mana motif kartun the Simpsons warna kuning cerah silau kemana-mana!

Pipiku panas, malu, apa semua orang sebenarnya menertawakan dalam diamnya?

Berhenti tertawa, aku segera membuka kaos kakiku, tidak, jangan sampai Embun lihat ini. Saat menunduk kurasa tangan Naura menyentuh sedikit helai rambutku, ketika aku menatap Naura ia menunjukan daun kering.

"Jatuh di kepala kamu."

"Padahal nggak usah diambil, gak papa."

Aku dan Naura saling bertatapan, entah alasan apa yang membuat aku tidak bisa membenci Naura sebegitunya, tapi, aku tidak bisa terus menerus mendiamkan niat Naura yang bisa menjadi cikal bakal cewek jahat.

Naura memalingkan wajah, "yah, tadinya aku mau diemin kamu, tapi, pas aku liat kaos kaki kamu, aku lupa kalau kita lagi musuhan!"

"Marahan kali bukan musuhan."

"Apa bedanya?"

"Yaa, kalau musuhan, kesannya terlalu kasar."

Naura menghembuskan napas. "Ya udah, yu pulang."

"Bareng?" tanyaku.

Naura hanya mengangguk.

"Kamu duluan aja," ucapku ogah.

EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang