Halaman 2

1 0 0
                                    

Aku menggusur tasku menimbulkan suara mengganggu dari gesekan lantai juga kain berbebankan beberapa buku yang tebal.

Saat membuka pintu kamar, alangkah terkejutnya aku saat melihat Naura yang sudah enak tidur di atas ranjang.

"Aku pengen sendiri, pulang sana!" Usirku.

Naura menatapku biasa-biasa saja, seperti tidak ada hal yang aneh pada diriku. Atau memang keanehanku bukan lah hal yang aneh?

Entahlah.

"Ngga bisa, besok pelajaran matematika, ajarin aku dulu baru aku pulang."

Rupanya Naura sedang mengemut permen mint merah rasa ceri.

"Bagi," pintaku sambil menjulurkan telapak tangan.

"Nih," Naura memperlihatkan permen yang menempel di dinding lidah yang sedang ia julurkan.

Aku mengernyit jijik.

Naura tertawa sinis, bangkit dari tidurnya lalu duduk berselonjor kaki sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Ditolak Jihan?"

"Kamu cinayang?"

Naura mengerlingkan bola matanya, "kelihatan banget lah! Kamu kaya mayat hidup gini!"

Aku menyimpan tas ku ke sudut ruangan, lalu ikut duduk di atas ranjang.

"Jalan masih panjang, tenang aja kali. Kayak yang udah ditinggal nikah aja," rutuk Naura.

"Kamu ngga pernah ngerasain suka sama orang kaya gimana, kamu ngga pernah rasanya ditolak kaya gimana, maka dari itu cukup diem aja!"

Aku terbawa suasana galau, hatiku masih terasa sangat sakit, marah juga kesal masih membara. Sebenernya aku ngga mau diganggu. Tapi karena Naura sengaja mengganggu ku, itu salah dia, kenapa malah diam di sini? Terpaksa menjadi sasaran empuk kemarahanku.

"Marah aja sini, keluarin semua unek unek kamu ke aku! Mau kamu banting-banting aku, cekik aku sekalipun juga ngga pa-pa."

"Kenapa? Maksud kamu apa?" tanyaku.

"Karena aku tahu kamu ngga punya siapa-siapa lagi selain aku."

Aku termenung untuk waktu yang lama setelah mendengar pernyataan itu.

Aku lelaki supel, temanku banyak tidak terhitung. Tetapi sahabat ku hanya Jihan dan Naura. Ketika Jihan tidak ada, hanya satu yang tersisa, yaitu Naura.

"Aku marah sama diri aku sendiri, kenapa aku ngga lebih dulu nyatain perasaan ke Jihan, padahal aku lebih deket sama Jihan dibanding Akmal. Kenapa aku harus canggung dan gugup ketemu Jihan, padahal kita sahabat dari dulu, kenapa aku harus lemah karena hal kaya gini?"

"Kenapa juga Jihan suka sama Akmal, padahal setiap harinya dia selalu sama aku."

Naura tidak menggubris apapun melalui kata-kata, hanya suara hembusan napasnya saja yang menjadi jawaban atas pertanyaan ku.

"Halo, Jihan?"

Aku seketika langsung menengadah, murungku hilang kala nama Jihan disebut.

"Kamu ngapain malah nelepon dia, udah tahu dia lagi pacaran sama Akmal!"

Aku merasa tidak enak apabila mengganggu Jihan, bagaimanapun aku tidak mau merusak kebahagiaan orang yang aku suka.

Aku ingin mengambil ponsel yang sedang ditempelkan ke telinga itu, lalu menginjaknya bila perlu. Tapi tanganku langsung ditepis oleh tangan jeger Naura.

"Bisa keluar sebentar? Jangan ajak Akmal."

Entah ini perasaan ku saja atau bagaimana, aku rasa nada bicara Naura berbeda. Menjadi lebih dingin dari biasanya.

EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang