Saat hari itu, ketika Embun pergi, sebenarnya aku melihatnya dari jauh, sampai dia benar-benar hilang dari pandanganku barulah saat itu aku juga ikut pergi dari persembunyian ku.
Selangkah demi selangkah yang aku lalui, aku selalu memikirkan Embun, apa yang terjadi padanya setelah kejadian itu? Apakah dia baik-baik saja di rumah? Apakah di kelasnya dia ada teman? Apakah dia bisa tertawa setiap saat?
Ingin sekali menanyakan padanya, atau mungkin pada temannya, apa yang telah terjadi padanya, aku ingin tahu. Tetapi apakah aku terlihat lancang?
Kembali lagi pada kenyataan, mungkin saja Embun tidak mengenalku. Mungkin saja, saat Embun menyapaku waktu itu, emang sikapnya saja yang ramah. Apakah aku pantas ingin selalu mengetahui tentangnya? Apakah aku pantas untuknya?
Terlalu banyak tanda tanya yang ada di pikiranku. Sehingga aku tersadar bahwa hari sudah senin lagi.
Aku menemui Bu Fatimah saat pulang sekolah, aku mendaftarkan diri menjadi anggota Adiwiyata. Aku mengisi formulir dan menandatanganinya.
"Orang tua aku sudah mengizinkan, Bu. Kalau gak usah pake tanda tangan orang tua gimana, Bu?"
Bu Fatimah terlihat ragu. Tetapi pada akhirnya mengizinkan.
"Kamu tulis nomor telepon orang tua kamu aja ya, sebagai ganti dari tanda tangan, ibu mau konfirmasi ke orang tua kamu kalau kamu udah gabung di ekstrakurikuler ini."
"Baik, Bu, terima kasih."
Aku pamit pada Bu Fatimah, tidak ada urusan apapun lagi sekolah, aku segera berjalan pulang. Ponsel yang ada di dalam saku celanaku bergetar, aku membukanya, ternyata itu notifikasi bahwa aku sudah dimasukkan ke dalam grup whatsapp adiwiyata.
"Rafasya!" aku menoleh ke arah suara.
"Gak balik sama si tujuh hari dalam seminggu?" tanyaku.
Orang yang ditanya malah cemberut, "apaan sih ngejek kak Hari terus!"
Aku tertawa sebagai balasan.
"Kamu kemana aja sih? Dicariin gak ada terus!"
"Sibuk," jawabku.
Mata Naura seperti yang sedang menari jaipong, seperti yang hampir keluar.
"Ayo, pulang bareng, aku pengen ikut di rumah kamu dulu ya? Please!"
Aku hanya diam, walaupun aku tidak mengizinkan, Naura pasti akan tetap nyelonong ke dalam rumah.
***
Mulai hari senin kemarin, aku mendapatkan pekerjaan baru. Yaitu menghitung hari. Aku selalu menanti kapan hari sabtu tiba. Aku selalu tidak sabar, karena aku tidak pernah ketemu sama Embun lagi usai kejadian meja bundar itu. Inilah satu-satunya cara agar aku bertemu Embun.
"Cahaya, bareng yuk ke sananya," ajakku karena belum terlalu pede pergi sendirian.
"Kamu kenapa sih sama cewek mulu, sana gabung sama cowok. Tuh, Gilang sama Angga juga ikutan Adiwiyata!"
Aku sempat berpikir, apakah dia tidak cape marah-marah terus? Aku heran sekali.
Alhasil aku bergabung dengan kedua orang yang disebut Cahaya tadi. Walaupun mereka sekelas denganku, agak canggung juga karena jarang sekali bicara dengan mereka. Dia anak OSIS yang jarang ada di kelas.
Sesampainya aku di sana, Embun belum datang. Ah, mungkin dia belum datang karena di sini belum terlalu banyak orang juga.
Satu per satu orang berdatangan, tetapi sampai Bu Fatimah datang, Embun belum juga tiba.
![](https://img.wattpad.com/cover/316024876-288-k510456.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun
Teen FictionStory *6 by Aris Yulia Spin Off Rafasya. Bisa Dibaca Terpisah! Tidak ada yang namanya kebahagiaan perihal mengakhiri secara tiba-tiba. Tidak ada yang namanya kesedihan apabila telah melakukan suatu hal yang benar. Untuk para perasa hal yang sama...