Hari minggu ini aku tidak banyak kegiatan. Hanya membantu ayahku mengecat pagar, ngusilin kucing yang lagi kawin. Bantuin bunda ku jait jemuran, selebihnya aku main game sampe mampus.
Bukan Embun namanya kalau gak ngasih pesan duluan ke aku. Tapi, atas dasar apa dia ngasih aku pesan duluan. Toh, aku yang awalnya deketin dia.
Aku merebahkan diri di atas kasur yang nyaman ini. Memeluk guling sambil telapak tangan menggenggam ponsel.
"Kalau ditelpon, Embun bakalan angkat gak ya?"
Daripada sibuk memikirkan hal itu, dengan berani aku telpon Embun saja.
Kontan aku terbangun saat Embun mengangkat telpon ku, tidak kusangka akan secepat itu. Menunggu hampir semenit tapi kita malah saling diam.
"Jadi, siapa yang harus ngomong halo terlebih dahulu?" tanyaku.
"Halo," suara Embun yang lembut mengudara menembus jarak.
"Halo juga, maaf ya telepon mendadak. Kamu, kenapa gak bisa dihubungin akhir-akhir ini?" tanyaku, sebenarnya bukan hanya akhir-akhir ini, tapi dari pertama kali aku mendekatinya.
"Aku baru denger suara Rafa," ucapnya mengalihkan pembicaraan.
"Kamu marah ya, Embun?" tanyaku memastikan, apakah ia cemburu saat aku nonton sama Naura.
"Nggak kok, aku cuman," kata-katanya terputus, yang bisa aku simpulkan ia sedang mencari jawaban yang tepat, entah ingin beralasan apa yang dia miliki, tapi aku memutuskan untuk tidak banyak ikut campur, "aku cuman gak lagi pegang HP aja akhir-akhir ini, soalnya sibuk."
"Kamu suka baca buku?" tanyaku pada akhirnya, aku tidak mau dia merasa tidak nyaman karena ku.
"Suka, banget malah," ucapnya.
"Aku punya buku, judulnya laskar pelangi. Oh, iya, kemarin aku nonton sama teman ku. Udah biasa juga, jadi kamu gak usah cemburu," laporku.
"Aku? Cemburu? Gak mungkin lah. Cemburu karena apa coba."
Terdengar kekehan kecil dari sebrang sana, sedikit kecewa karena Embun tidak cemburu, tapi aku tidak ada hak untuk itu sebenarnya.
"Aku belum bisa ajak kamu nonton, jadi kamu baca aja dulu buku nya. Nanti kapan-kapan kita nonton bareng ya."
"Makasih, titipin aja ke Cahaya, dia kenal aku kok."
Aku cukup terkejut saat dia menyebutkan nama Cahaya. "Oh, kamu kenal Cahaya? Sejak kapan?" tanyaku.
"Kemarin."
"Dia cerita aku ke kamu?"
Masalahnya, dia adalah spesies manusia yang usilnya lumayan setaraku. Aku curiga dia cerita yang aneh-aneh tentangku.
"Rafasya Lazuardi Parviz, katanya sih, abnormal. Kepintarannya gak diragukan lagi, persis seperti orang berkaca mata lainnya. Kata Cahaya, kamu bukan pendek, cuman belum tinggi aja. Hitam manis, lucu pula. Banyak teman, dan banyak uang. Berbanding terbalik dengan ku."
Aku tertawa kecil, tidak seburuk itu Cahaya mendeskripsikan tentang aku, aku kembali berbaring. "Kamu jangan percaya sama omongan dia. Kamu tau?"
"Apa?" tanya dia.
"Cahaya orangnya aneh, dia suka marah-marah!"
"Dia marah pasti ada sebabnya Rafa," katanya.
"Bukan, karena dia aneh! Oh, iya, satu lagi."
"Apa?" nada bicara Embun antusias.
"Dia suka gerogotin kayu, pijakan kursi ku habis sama dia!"
Aku senang ketika mendengar Embun tertawa karena leluconku. Malam bersejarah ketika aku membuat Embun tertawa.
"Rafasya," panggilnya.
"Hmm."
"Apa itu cinta?" tanya ia tiba-tiba.
Aku tertawa. "Kamu kenapa tiba-tiba nanya itu?"
"Aku cuman pengen tau aja pendapat kamu."
"Cinta itu.... Ketika kita merasa bahagia dan senang saat melihat seseorang. Bisa sama keluarga, sahabat, kalau aku sih kalau ketemu kamu," jawabku lalu terkekeh.
"Aku belum ketemu kamu Rafa," lagi lagi dia keluar jalur pembicaraan.
"Aku sering liat kamu, ketawa sama temen kamu, jalan di belakang kamu, setiap saat aku selalu cari kesempatan buat bisa ketemu kamu. Cuman kayanya kamu gak nyadar, ada seseorang yang kamu suka, aku yakin itu." Aku menghembuskan napas, apakah aku sudah terlalu jauh pada Embun.
"Rafa, kamu tahu? Kamu datang disaat yang sangat tepat."
"Maksud mu, aku pahlawan?"
"Kamu, gimana rasanya kalau kamu sama sahabat kamu suka sama orang yang sama?" tanya ia, aku mendapatkan lampu hijau, Embun sudah mulai menceritakan semua tentang dia kepadaku.
"Dan kamu tau? Aku merasakan hal itu juga."
"Jihan, aku suka sama dia. Tapi teman sebangku ku juga suka dia. Dan kamu tau? Jihan lebih pilih dia. Sedangkan Jihan, adalah sahabatku dari kecil."
Aku mengawali ceritaku padanya lebih dulu, terbawa suasana sepertinya.
"Aku jadi khawatir."
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Kalau Jihan putus sama temen sebangku mu, Jihan pasti nyari kamu, aku yakin itu."
"Embuun, kalau dia nyari aku, jangan berharap aku bakalan dateng buat dia," katanya.
"Kenapa?"
"Karena aku ada kamu."
Aku tersenyum, memang ini sudah jadi tekadku. Jihan sudah menolakku, dan yang sudah menolakku jangan harap mendapatkan perasaanku suatu saat nanti.
Ketika aku dibuang, aku tidak bisa dipungut oleh orang yang sama.
"Kurang lebih cerita aku kayak kamu, Naya orang nya baik, awalnya aku gak suka kalau Cakra suka sama Naya, tapi kalau dipikir aku gak bisa balas jasa Naya dengan apapun, sebagai gantinya aku ikhlasin Naya sama Cakra. Walaupun pada akhirnya mereka putus, aku tetep gak bisa balik lagi sama Cakra, aku lebih memilih sahabat aku."
Aku berpikir karenanya, apa itu yang menyebabkan Embun nangis di meja bundar waktu itu? Karena secinta apapun Embun pada Cakra dia tetap gak bisa bersama lagi.
"Kalau kamu ada masalah, kalau kamu merasa sepi, marah, kecewa sama seseorang bilang aja ke aku. Kalau emang aku gak bisa bantu kamu, setidaknya, aku bisa dengerin segala keluh kesah kamu, jangan selalu memendam sesuatu sendiri ya, Embun." Ucapku menghiburnya.
"Waktu aku memutuskan buat deketin kamu, aku liat kamu sering murung, kamu kayanya gak pernah cerita sama siapa-siapa, aku pengen ada dipinggir kamu saat itu juga. Tapi aku dulu pengecut, dan gak tau harus gimana. Aku cuman bisa liat kamu." Aku benar-benar jujur atas pernyataan itu.
"Rafa," panggil dia lagi.
"Kalau suatu saat, justru kamu yang ngebuat aku kecewa, aku harus cerita sama siapa?"
Hening beberapa saat, kemudian terdengar isakan. Embun menangis.
"Embun, kenapa kamu nangis? Aku ngebuat kamu sedih ya? Maaf ya, Embun," ucapku penuh penyesalan
"Rafa, aku emang cengeng, makasih ya, Fa. Aku cuman terharu aja, aku terlalu fokus ke depan, mengharapkan sesuatu yang gak pasti, sedangkan di belakang aku, ada kamu, dan aku gak sadar itu." Sangkalnya masih terisak.
Lagi-lagi aku terkekeh. "Kamu pasti gampang nangis ya, Embun? Ya, udah, deh. Aku gak bakalan buat kamu nangis lagi."
"Nggak kok, Fa. Kamu gak bikin aku nangis, cuman akunya yang cengeng."
Embun, aku janji aku gak akan ngebuat kamu kecewa. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk jadi yang terbaik untuk kamu.
Kalaupun suatu hari nanti kamu kecewa, aku akan tetap meyakinkan mu bahwa aku lah yang paling baik yang harus kamu pilih.
***
Benar, memang benar itu adalah keinginan ku. Saat itu hatiku tidak main-main.
»»——⍟——««
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun
Teen FictionStory *6 by Aris Yulia Spin Off Rafasya. Bisa Dibaca Terpisah! Tidak ada yang namanya kebahagiaan perihal mengakhiri secara tiba-tiba. Tidak ada yang namanya kesedihan apabila telah melakukan suatu hal yang benar. Untuk para perasa hal yang sama...