12. Headman

121 43 0
                                    

Kakek Darto mengajak Aster dan Jericho pergi ke sebuah rumah kecil, sepertinya itu adalah tempat tinggal sang kakek. Jericho sendiri terus bersikap waspada, mereka mengikuti kakek Darto karena petunjuk dari harta tanpa pemilik.

Lagipula, siapa kakek itu sehingga bisa mengetahui tentang harta?

Kakek Darto mempersilahkan ruang tamunya untuk disinggahi. Ruang tamu tersebut nampak sederhana dengan empat kursi dan satu meja kecil di tengah. Suasana rumahnya sepi, juga warna cat dinding berwarna putih, lalu beberapa bingkai foto yang terlihat lawas terpajang di mana-mana.

"Saya kepala desa Kutorejo." ujar kakek memperkenalkan diri.

Aster mengangguk, "Saya bukan preman seperti yang para warga kira."

"Sudah sedikit saya duga, tetapi kalian mencari harta itu juga?"

"Kami membutuhkan harta itu." timpal Jericho dengan yakin.

Kakek Darto tertawa, ia terlihat sangat sehat walau sekujur kulitnya berkeriput. "Membutuhkannya untuk berfoya-foya?"

"Itu-"

"Dengar, ya, anak muda. Harta itu bukanlah hak kalian, lebih baik pergilah dan lupakan tentang semua ini. Saya juga tidak tahu dari mana kalian bisa mengetahui tentang harta, tapi apa bedanya pula dengan preman itu? Sama-sama datang dengan tujuan serakah."

Aster mengerutkan keningnya, gadis itu mulai merasa ragu. Manusia memang selalu dibutakan oleh harta, termasuk dirinya juga. Aster tidak bisa merasa terlambat untuk menyesal, tangannya juga sudah kotor dengan nyawa orang.

Jericho melirik Aster sebentar lalu berdecak, lelaki itu menggenggam tangan Aster secara diam-diam. "Jika para preman dan kami juga tidak berhak, siapa yang bisa atas itu? Bukankah harta tidak memiliki pemiliknya?"

"Bukan tidak memiliki pemiliknya," kakek Darto bersikap dingin, "Tetapi menunggu pemilik barunya."

"Apa?"

"Pemilik asli sudah tiada beberapa tahun lalu, si harta menunggu pewaris selanjutnya."

Aster merasa heran, "Siapa pewarisnya?"

Dengan wajah santai Kakek Darto mengejek, "Kenapa? Mau kalian bunuh?"

"Kami tidak bertindak sejauh itu, kok ...." Aster merasa tersinggung.

"Pulang saja kalian, mau membunuhku juga silakan. Aku sudah merasa sedikit lelah."

Aster merasa semua ini terjadi sedikit membingungkan, gadis itu berdiri dan membuka suaranya lebih lantang. "Tolong dengarkan penjelasan saya! Itu-agar saya dapat melanjutkan hidup dengan tenang."

"...." Kakek Darto tersenyum, "Baiklah."

"Para preman mengetahui tentang harta dari seorang wanita, sedangkan saya, mengetahui dari selembar surat sang nenek."

"Lalu?"

"Saya merasa anda tahu sesuatu. Saya bukanlah orang asli dari dunia ini dan berasal dari dunia lain. Tujuan saya kemari itu karena keserakahan, harta, yang saya ketahui dari surat nenek saya."

Akhirnya, kakek Darto yang bersikap tenang sedari awal, mulai mengerutkan keningnya. "Siapa nama nenekmu?"

"Itu ... Salwa, nenek Salwa." jawab Aster.

"Nama ibumu? Lalu, jelaskan tentang kehidupanmu di dunia sana."

Aster menuruti pertanyaan bertubi-tubi dari sang kakek, gadis itu tidak lagi bersikap waspada. Tadi, sekilas, Aster sepakat dengan Jericho untuk membunuh kakek Darto.

"Ibu saya bernama Aurel, dan itu adalah keluarga saya yang terakhir. Semenjak kematian ibu beberapa tahun lalu, saya terus bergantung dengan beasiswa yang didapatkan. Kesulitan mencari kerja, tidak pernah punya pacar, dan tidak kuliah."

[END]Taking Money Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang