11. a Village

122 40 1
                                    

Kevin tidak memiliki keluarga, satupun tidak ada. Dengan sementara Jericho memberinya sebuah kamar kos dalam beberapa hari, lalu mengusirnya.

Jahat? Tentu saja. Bahkan kamar kos untuk Kevin itu terjadi karena paksaan Aster.

"Ayo masuk ke kereta, cepat." Jericho menarik lengan Aster.

Hari ini toko roti ditutup, Aster dan Jericho akan pergi ke Desa Kutorejo sesuai petunjuk yang didapat dari Ray. Walau Jericho sendiri mempunyai mobil, Aster memilih kereta sebagai transportasi.

Tentang mayat Ray, Jericho meletakkannya diam-diam ke depan rumah kecil para preman. Dan tentu saja, ada sebuah ancaman di mayat tersebut.

'Jangan ganggu kami lagi', begitu ancamannya.

Aster masuk lebih dulu ke dalam kereta yang terlihat sangat ramai, untung saja ia tersisa tempat duduk. Sayangnya ketika Jericho masuk, semua tempat duduk telah penuh.

Jericho berjalan hingga berhenti tepat di depan Aster yang duduk manis, lelaki itu menunduk, menatap Aster. "Pendek." ejeknya.

"Apa, sih???" Aster mengerutkan alisnya kesal. "Iri karena tidak dapat tempat duduk?"

"Iya."

"Terus terang sekali."

Aster memilih untuk mengabaikan Jericho, gadis itu memasang earphone ke dua telinganya, lalu memainkan sebuah lagu. Itu adalah lagu yang menenangkan tentang sebuah perpisahan.

Perpisahan yang terjadi tiba-tiba, bahkan ia tidak sempat mengucap salam perginya. Seperti Aster, ketika terpaksa pergi ke dunia ini tanpa memeluk foto sang ibu. Rasanya jadi rindu.

"Aster!" Jericho sedikit membentak dan menarik satu sisi earphone Aster dengan terpaksa.

"Hah?"

"Ada seorang wanita hamil, biarkan dia duduk." ucap Jericho dan mengulurkan tangannya, berniat membantu Aster berdiri.

Aster menoleh menatap seorang wanita yang perutnya membuncit, gadis itu tersenyum dan berdiri dengan bantuan Jericho. "Silakan duduk."

Setelah berdiri, kini Aster sejajar dengan Jericho. Walau badan gadis itu hanya sampai di dagu Jericho, namun termasuk orang yang tinggi jika dibandingkan dengan perempuan lainnya.

"Denger apa?" Jericho sedikit menunduk dan mengambil satu sisi earphone yang tidak terpakai. Dia memasang earphone tersebut ke telinganya.

"Selera lagumu bagus juga, ya? Padahal kau orang baru di dunia ini." puji Jericho sambil menikmati lagu yang terdengar.

Aster tertawa, "Kagum?"

"Iya."

"Haha," Aster menatap Jericho, "Aku punya kumpulan lagu yang serupa."

Jericho mengangguk, "Biarkan aku mendengar semua itu."

"Of course."

Perjalanan panjang menjadi tidak terlalu melelahkan walau dengan kaki yang berdiri tegak, Aster merasa lebih senang jika mendengar lagu bersama-sama. Itu adalah sebuah kesenangan yang baru saja ia sadari berkat Jericho.

"Kita sampai," bisik Jericho lalu menggandeng Aster untuk turun.

Mereka berhenti di sebuah stasiun yang tampak sepi, ketika mereka keluar, tidak ada satupun jasa transportasi umum lewat. Aster merasa sedikit menyesal karena harus menaiki kereta dalam perjalanan jauh kali ini.

Jericho mengangkat kedua bahunya, "Badanmu itu terlihat seperti orang pemalas."

Aster memasang wajah lelah, gadis itu melepas genggaman tangan dan menatap tajam Jericho. "Tidak usah basa-basi, jelaskan apa yang akan kita lakukan kali ini?"

[END]Taking Money Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang