Janji Tiga Puluh

12.1K 393 14
                                    

Bela meminta maaf kepada Ferdi, dia sekali lagi bertanya kepada pria itu apakah benar-benar tidak ada kesempatan untuk mereka? Ferdi menegaskan bahwa sudah tidak ada kesempatan bagi mereka, sekalipun tidak menikah dengan Mala, mereka memang tidak bisa bersama. Semuanya sudah jauh berbeda, mereka telah menjadi pribadi baru yang jauh sekali dari ekspektasi masing-masing. Rasa yang ada adalah untuk orang di masa lalu, bukan orang yang ada di depan mata masing-masing.

Ferdi juga berkata kepada Bela bahwa perempuan itu tidak perlu berpikir untuk pindah, fokus saja bekerja untuk keluarga. Ferdi berkata begitu bukan tanpa maksud, ia ingin tahu apakah dirinya benar-benar brengsek dan layak kehilangan Mala. Jika dia berbuat hal yang sama untuk kedua kalinya dengan Bela, maka dia memang tidak layak untuk Mala. Namun, jika Bela masih ada di sekitarnya, tetapi dia bergeming melihat perempuan itu maka perasaannya terbukti.

Pria itu sekarang jadi jauh lebih aktif untuk membangun komunikasi, siang saat jam istirahat dia menelepon Mala untuk sekadar mendengar suara istrinya. Walau Mala masih enggan, tetapi teleponnya direspons saja sudah cukup untuk Ferdi. Sorenya ia membelikan Mala makan dalam perjalanan pulang, malamnya Ferdi menuangkan susu untuk perempuan itu.

Ferdi tidak membiarkan rasa canggung menyelimuti mereka. Dia ingin memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepadanya dengan baik. Seandainya harus menyesal, dia ingin menyesal setelah berusaha.

Seperti malam ini ketika Mala bergadang untuk finishing desainnya, Ferdi bersikeras untuk menemani perempuan itu. Matanya lekat menatap Mala yang sedang serius, ia sudah menyadari ini dari dulu bahwa istrinya sangat cantik ketika sedang fokus, tetapi saat ini rasanya amat berharga setiap detiknya. Sampai pria itu meminum kopi dua gelas demi agar bisa terjaga menemani istrinya.

"Revisi terus ya? Makanya sampai H-1 baru dikerjain?"

Mala mengembuskan napas panjang, menoleh pada Ferdi dan berkata lirih, tetapi amat menohok. "Nggak ada yang bisa konsentrasi kalau hatinya lagi dalam keadaan nggak baik. Iya, kan?"

Ferdi tersenyum kecut dan mengangguk.

Beberapa kali Mala melirik Ferdi diam-diam, suaminya itu sekarang lebih aktif dalam menunjukkan perhatian. Namun, yang membuatnya sedih adalah pria itu menunjukkannya karena rasa bersalah. Ferdi sesekali menguap dan kedapatan tertidur sampai kepala yang ditopang oleh tangan tergelincir jatuh, lalu ia akan mengerjap dan membuka matanya lebar-lebar.

"Tidur aja, besok, kan, masih kerja. Aku bisa submit ini setelah selesai dan tidur seharian besok."

"Apa aku juga perlu bolos besok?" tanya Ferdi semangat.

"Aku bakal lebih nggak nyaman kalau kamu di rumah besok. Kamu ada di sebelahku aja rasanya nggak nyaman."

"Rasanya menyiksa?" tanya Ferdi lirih.

"Iya." Mala menjawab karena emosinya, perasaan ingin Ferdi merasakan sakit yang sama.

"Jadi lebih baik kalau kamu nggak lihat aku?" Ferdi terdengar putus asa. Mala tidak menjawab, tetapi bagi Ferdi itu bentuk lain dari iya. Bagaimana caranya meyakinkan Mala jika berdekatan saja perempuan itu enggan?

"Sayang." Tenggorokan Ferdi tercekat untuk mengeluarkan satu kata itu. "Mas minta maaf kalau kamu nggak nyaman, tapi tolong jangan minta Mas buat berhenti lakuin ini semua. Cuma ini satu-satunya hal yang bisa meyakinkan hati kamu."

Mala masih diam dan pura-pura sibuk.

"Oke gini." Ferdi berdiri. "Mas temenin kamu dari sana ya? Anggap saja nggak ada siapa-siapa." Ferdi menunjuk dapur yang masih bisa dilihat walau dari ruang depan. Mala tidak menggubris sama sekali, bahkan tidak menoleh pada Ferdi.

"Kalau udah selesai ngomongnya bisa pergi, aku bener-bener harus selesaiin ini tanpa gangguan apa pun."

Terdengar dingin dan menusuk, Ferdi berjalan ke dapur, duduk di kursi yang menghadap ke arah Mala. Istrinya itu tetap fokus pada tabletnya, bahkan perempuan itu memakai tablet lama dan bukan memanfaatkan pemberiannya. Sepertinya Mala merasa jijik hanya dengan membayangkan Ferdi.

--

Pukul tiga pagi setelah mengirimkan desainnya, Mala tidak bisa lagi menahan rasa kantuk, apalagi beberapa malam sebelumnya tidak bisa tidur.

Ia terbangun pukul setengah lima dengan mata yang berat dan pedih, Mala berjalan pelan ke kamar mandi untuk mengambil wudu dan salat, lalu tertidur lagi setelah itu. Padahal perutnya terasa melilit dan perih karena belum makan dengan benar sejak kemarin, tetapi kantuk dan lemas membuatnya terkapar tidak berdaya direnggut alam mimpi.

Pukul sembilan pagi Mala bangun dengan kepala yang luar biasa sakit, tubuhnya lemas sekali. tenggorokannya terasa kering dan tidak enak. Ia mencoba untuk turun dari tempat tidur dan berjalan ke dapur untuk mengambil air minum dan makan apa pun yang bisa dimakan.

Matanya yang sedikit menyipit karena rasa sakit di kepala itu menemukan Ferdi sedang berdiri menghadap kompor. Ia melihat sekali lagi jam dinding di ruang tamu, menunjukkan pukul sembilan pagi, kenapa Ferdi belum berangkat bekerja?

Mala terpaksa mendekat karena betul-betul haus sembari melirik sedikit apa yang sedang Ferdi masak, tiba-tiba saja perutnya berbunyi mencium aroma yang menguar dari sana. Ferdi yang menyadari kalau istrinya sudah bangun pun tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Jika keadaannya normal pasti dia akan mencium kening Mala, tetapi begini saja baginya sangat berharga.

"Duduk dulu, bentar lagi mateng." Mala tidak menjawab, tetapi tetap duduk dengan perasaan tidak sabar walau tetap menunjukkan ekspresi biasa-biasa saja.

"Beneran bolos?"

"Enggak. Hari ini libur, kan, tanggal merah." Mala membeliak, bisa-bisanya dia lupa kalau ini tanggal merah. Baru saja dia sedikit merasa terharu karena Ferdi benar-benar mau membolos demi menemaninya.

"Laper ya?" tanya Ferdi sembari menaruh ayam kecap yang ia masak ke piring dan menghidangkannya ke hadapan Mala. Mala menyendokkan nasi ke piringnya ketika Ferdi menaruh teflon ke wastafel dan merendamnya dengan air. Ketika kembali ke meja makan, dia melihat Mala sudah mengunyah. Begitu saja hatinya sudah senang luar biasa.

Dia bergabung dengan Mala, rasanya kali ini ia bisa makan dengan nikmat karena ada Mala di depannya. Ferdi tidak berhenti tersenyum dari tadi melihat Mala makan dengan begitu lahap, walau pria itu yakin Mala memakannya karena kelaparan.

"Aku baru tahu kamu bisa masak."

"Mas bisa masak, tapi males belanjanya. Setelah nikah ketagihan masakan kamu, jadi mau menikmati dulu."

Mala mengangguk-angguk dan melahap satu suapan lagi. "Enak," kata Mala tanpa sadar.

Ferdi menipiskan bibirnya karena berusaha untuk tidak tersenyum lebar-lebar. Jantungnya berdetak tidak karuan, ditemani ayam kecap dalam piring mereka masing-masing, yang mana keduanya sama-sama belum mandi dan masih muka bantal, suasana ini bagi Ferdi manis sekali. Bersama Mala selalu menyenangkan dalam situasi apa pun.

Setelah selesai makan Mala berdiri membawa piring kotor, Ferdi menahan lengan Mala secara refleks karena dia berencana akan mencuci piring mereka dan membiarkan perempuan itu istirahat seharian ini.

"Biar aku," kata Ferdi setelah Mala melepas sentuhan tangan mereka.

"Aku aja, kamu udah masak." Mala bersikeras membawa piring mereka ke wastafel. Ferdi masih menunggu di sebelah perempuan itu.

"Ngapain?" tanya Mala risih karena diperhatikan begitu.

"Mas bantu. Kamu yang nyuci Mas yang bilas."

Mala tidak memprotes dan mereka bekerja dalam tenang. Walau terlihat tenang, tetapi hati keduanya berdebar tidak karuan. Kenapa ini terasa lebih manis? Mereka sudah melalui banyak hal berdua, bahkan jauh lebih intim dari ini. Namun, hal sesederhana ini lebih mendebarkan.

___

Kadang-kadang kita itu nggak mencoba menggali lebih dalam keindahan dari apa yang sudah kita miliki, jadi nggak sadar dan nggak bisa bersyukur, kalau udah kehilangan baru sadar :)

Gimana Minggunya? Nggak enak ya karena besok Senin lagi, huft.

17 Juli 2022/11.42 AM

Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang