Janji Sepuluh

5.1K 279 0
                                    

Malam setelah salat isya disambung minum kopi di rumah tetangga barunya, Ferdi pulang membawa mie ayam. Kata Umi itu salah satu makanan kesukaan Mala. Sesampainya di rumah, ia menuju dapur, membuka plastik mie ayam dan menuangkannya ke mangkuk sembari membayangkan wajah semringah Mala. Setelahnya baru ke kamar untuk memanggil istrinya itu.

“Mala.” Ferdi membuka pintu kamar dan terkejut ketika menemukan Mala jongkok di sebelah ranjang mereka sambil menekan perutnya.

Ferdi buru-buru mendekati istrinya, ikut jongkok. “Kamu kenapa?” Mala mendongak, wajahnya pucat sekali, perempuan itu meringis.

“Sakit,” rintih Mala.

“Kenapa, Sayang?” Ferdi panik. Ia menyentuh seluruh wajah Mala, memastikan perempuan itu tidak demam.

“Aku datang bulan. Sakit banget.” Mulut Ferdi membulat. Ia speechless. Dulu keponakan jauhnya juga pernah mengeluh sakit saat datang bulan. Namun, ia abaikan karena berpikir hal itu biasa untuk perempuan.

“Sakit banget?” tanya Ferdi memastikan, Mala mengangguk.

“Terus gimana? Mau tidur?” Sejenak Ferdi lupa sudah membeli mie ayam yang bisa mengembang kapan saja.

Mala menggeleng. “Nggak bisa. Aku nggak pakek pembalut.” Matanya menatap Ferdi nanar. “Bisa minta tolong?” Ferdi jelas tahu apa yang ingin diminta Mala. Seumur-umur dia tidak pernah membeli pembalut. Maka, dengan sepenuh hati Ferdi berusaha tegar.

“Beli pembalut?” tanya Ferdi takut-takut, Mala mengangguk pelan.

“Aku beliin dulu.” Ferdi melenggang pergi, memacu motornya dan di tengah jalan ia baru sadar, bodoh sekali dia sampai lupa bertanya pada Mala harus membeli pembalut yang seperti apa. Sesampainya di Indomaret terdekat, ia merogoh saku. Syukurnya ia membawa ponsel. Ia menekan nama Mala dan memanggil perempuan itu melalui video call.

“Aku nggak tahu harus beli pembalut yang mana.” Ferdi berkata bisik-bisik. Mala meringis lalu meminta pria itu menunjukkan rak pembalut.

“Yang itu, warna hijau, sama yang warna hitam,” tunjuk Mala pada dua pembalut di rak paling atas.

“Cuma dua?” Mala mengangguk sambil mengernyitkan dahi. Memang cuma dua, apa iya datang bulan seminggu harus pakai berbantal-bantal pembalut? Ingin sekali ia menjawab seperti itu karena mood-nya sedang buruk menahan sakit di perut. Namun, ia urungkan karena ingat bahwa tidak boleh berkata seperti itu pada suami.

Setelah mematikan sambungan video call. Ferdi tidak membeli dua seperti yang diminta Mala. Pria itu membeli masing-masing tiga. Sampai membuat kasir Indomaret mengernyit keheranan sambil menahan tawa. Beberapa perempuan melihatnya dengan tatapan bertanya-tanya, memandang bergantian antara enam pack pembalut dan wajah Ferdi.

“Mbak, kalau sakit datang bulan biasa minum apa ya?” Ferdi bertanya pada Mbak Kasir, yang tentu saja karena seorang perempuan pasti tahu. Intuisi marketing kasir itu menyala, lalu menyarankan beberapa penawar rasa sakit datang bulan dari yang cair sampai tablet.

Ferdi membeli dua yang cair dan satu obat tablet, pikirnya bila Mala tidak suka yang tablet maka bisa minum yang cair. Melihat wajah istrinya memucat dan lemas membuatnya nyeri sendiri.

Sesampainya di rumah ia bergegas masuk ke dalam. Menyerahkan seplastik besar penuh pembalut dan obat untuk sakit haid. Mala yang lemas mendadak semakin lemas ketika melihat obat yang dibelikan Ferdi ada tiga jumlahnya dan berbeda merk. Perempuan itu menatap nanar nota belanjaan yang dimasukkan Ferdi ke dalam plastik.

“Itu kan, Mala?” tanya Ferdi bingung melihat istrinya diam saja. Ia pikir Mala akan berterima kasih atas inisiatifnya. Perempuan itu ingin protes, tetapi ia tarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Setelah mengembuskan napas, ia memandang Ferdi sambil tersenyum.

Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang