Sore hari Ferdi ke supermarket sesuai dengan perintah ibunya untuk belanja. Walau sebetulnya sang ibu memintanya untuk ke pasar, tetapi pria itu menolak. Tidak sanggup, tidak tahu. Biarlah saja kalau memang Mala menerimanya nanti dan perempuan itu meminta ditemani ke pasar, ia akan mau, tetapi kalau ke pasar sendirian? Ia rasa itu ide yang buruk.
Ketika sedang mengisi keranjang belanjaannya dengan beberapa sayuran, daging, dan telur. Ia melihat punggung perempuan yang dikenalinya, tetapi benarkah? Atau hanya khayalannya saja? Namun, Ferdi tak urung juga mendekati perempuan itu untuk mengobati rasa penasarannya. Ia tepuk pundak itu pelan.
“Mala?” Perempuan itu menoleh dan benar saja dia Mala. Senyum tanpa sadar terbit di bibir Ferdi. Sudut bibir Mala naik ke atas, bukan karena bahagia seperti yang dirasakan Ferdi, tetapi lebih kepada tatapan kok bisa? Dari seluruh supermarket yang ada, kenapa juga dia harus bertemu atasannya di sini?
“Bapak belanja apa?” Perempuan itu melihat isi troli Ferdi. Ferdi tidak menjawab, karena dirinya masih terpaku di tempatnya berdiri, sedang berdiskusi dengan semesta, mungkin. Karena sekali lagi semesta membuat kebetulan seolah sinyal yang harus ia tangkap untuk lekas bergegas menjalankan skenario yang semestinya. Benar, kan, apa yang ia pikir?
“Buahnya nggak sekalian, Pak?” Mala terus bertanya, tidak sadar pria di depannya senang sekali bisa bertemu dengannya di luar jam kantor.
“Mala mau pilihin buat saya?”
Mala mengangguk menyanggupi. “Boleh.” Lalu mereka berdua berjalan ke bagian buah-buahan. “Bapak suka buah apa?”
“Apa saja saya suka.” Mala memilihkan buah apel dan pisang, lalu mengambil buah naga serta alpukat. Ia memasukkan itu ke keranjang belanjaan Ferdi.
“Kok kamu bisa di supermarket ini?” Mala menoleh pada Ferdi sebentar, lalu kembali sibuk memilih buah.
“Rumah saya sama supermarket ini jaraknya cuma sepuluh menit, terus tadi ke sini dianter abang ojol.” Mala menjelaskan secara detail. Sejujurnya tiap melihat Ferdi dia jadi teringat perkataan pria itu di kafe. Meski berusaha keras berpikir positif, tetapi positifnya selalu mengarah ke hal yang iya iya. Semacam cerita di drama yang atasan suka dengan sekretarisnya.
“Oh. Kalau saya tadi habis futsal, terus mampir karena dimintai tolong Ibu buat belanja.” Mala mengangguk-angguk meski tidak mengerti kenapa Ferdi selalu menjelaskan sesuatu yang tidak ditanya. Ya walau sebenarnya jika menyangkut kesopanan Mala harus balik bertanya untuk sekadar basa-basi. Namun, dengan Ferdi ia merasa tidak perlu bertanya karena pria itu akan dengan senang hati menjelaskan. Semacam format resmi yang selalu Ferdi terapkan ketika berbincang.
Mala selesai memilihkan buah untuk Ferdi. Lalu dia pamit untuk melanjutkan belanjanya, tetapi Ferdi bersikeras mau menemani Mala. Sepanjang belanja Ferdi dan Mala sama-sama diam saja. Ketika sampai di kasir, Ferdi juga bersikeras membayarkan belanjaan Mala yang totalnya sampai tiga ratus ribu. Hal yang membuat perempuan itu cemberut meski mereka sudah di luar supermarket.
“Kamu kenapa?” Ferdi bertanya heran.
“Saya nggak suka Bapak bayarin belanjaan saya. Saya ngalah karena tadi yang antre banyak.” Wajah Mala semakin masam ketika melihat Ferdi tersenyum geli.
“Kenapa nggak suka? Bukannya semua perempuan suka ya?”
“Tentu aja saya juga suka dibayarin. Tapi bukan sama orang asing. Karena selama saya masih bisa sendiri, ya saya akan usaha sendiri.”
“Oke maaf karena tadi saya maksa bayar. Jadi, sekarang kamu mau ke mana?”
“Pulang lah! Ke mana lagi.” Mala menurunkan belanjaannya dan mengambil ponsel untuk memesan ojek online.
“Kamu mau ngapain?”
“Pesen ojek,” ketus Mala. Ferdi menggeleng-geleng heran.
“Ini ada saya di samping kamu. Kenapa kamu malah mau pesen ojek online?” Ferdi mengambil ponsel Mala, ditaruhnya benda pipih itu di saku celana. Mala hanya bisa terbengong-bengong dengan perlakuan Ferdi. Jika pria di sampingnya ini bukan atasannya, maka sudah dapat dipastikan akan mendapat kuliah tujuh menit lengkap dengan kata-kata pedas Mala.
“Bapak ojek?” Mala bertanya dengan intonasi aneh karena menahan kekesalannya, sebetulnya lebih ke arah sarkasme, bukan benar-benar bertanya.
Ferdi terkekeh. “Ada-ada aja kamu. Saya mau anterin kamu pulang.”
Mala mundur ketika Ferdi maju ke arahnya. “Ngapain kamu mundur-mundur gitu?” Ferdi keheranan dengan sikap Mala.
“Bapak ngapain maju-maju?”
“Saya cuma mau ambil belanjaan kamu, Mala. Kamu dari tadi kenapa kayak nggak tenang deket saya?” Ferdi mengambil belanjaan yang ada di tangan kiri Mala.
“Saya cuma segan aja sama Bapak dan mencoba menjaga jarak aman. Selayaknya atasan dan bawahan.” Mala berkilah.
Ferdi menurunkan semua belanjaan di tangannya dan melipat kedua tangan di depan dada, menatap Mala lekat-lekat. Ditatap begitu membuat jantung Mala berdebar-debar, ia memalingkan wajah untuk melihat ke sembarang arah. Mengapa? Jantungnya berisik sekali, seolah ini adalah pertama kali ada lelaki yang menatapnya. Padahal, kan, dia punya banyak teman lelaki.
Sedangkan Ferdi, melihat wajah perempuan yang sedang ditatapnya ini memerah, ia malah mengasumsikan bahwa Mala masih marah. “Kamu masih marah soal tadi saya bayarin kamu?” tanyanya lembut, intonasi yang berubah itu ditangkap baik oleh telinga Mala. Perempuan itu jadi merasa bersalah, padahal Ferdi, kan, sudah baik kepadanya.
“Udah enggak. Terima kasih tadi dibayarin, Pak. Maaf saya nggak tahu diri sampek lupa bilang makasih.” Mala menunduk sedikit pada Ferdi, bentuk hormat, sebagai sekretaris kepada atasan. Kembali lagi ke mode sopan.
“Saya juga nggak butuh ucapan makasih kamu.” Ferdi menjeda ucapannya. “Kalau enggak marah, terus kenapa kamu kayak nggak nyaman deket sama saya dari tadi? Biasanya kamu enggak begini ke saya.”
“Perasaan Bapak aja.” Mala semakin gelisah dan Ferdi tahu itu.
Beberapa orang yang lewat pasti mengira bahwa mereka suami dan istri yang sedang bertengkar, tepatnya seorang suami yang berusaha membujuk istri. Namun sayang, penglihatan orang-orang tak bisa memperindah kenyataan, keduanya hanya dua orang yang saling bungkam dan salah paham.
Ferdi mengalah, tahu bahwa ini tidak akan selesai jika diteruskan. Kini ia tahu betapa keras kepalanya Mala.
“Kita mau terus kayak gini atau kamu saya anter pulang?” Mala mengiyakan untuk diantar pulang. Ferdi terkekeh geli, ia berjalan lebih dulu menunjukkan letak mobilnya sambil membawa empat plastik belanjaan, belanjaan ibunya dan belanjaan Mala.
Ketika Ferdi sudah duduk di balik kemudi, Mala masuk dan duduk di belakang. “Kenapa kamu duduk di situ? Saya bukan sopir kamu.”
“Maaf, Pak. Kalau Bapak mau anter saya, biarin saya duduk di belakang. Kita bukan mahram jadi nggak boleh deketan.” Ferdi mendesah dan tidak mau memperpanjang perdebatan.
“Kamu jangan bikin saya gemes. Besok saya jadiin mahram jangan bingung ya,” kata Ferdi sambil menggeleng-geleng. Mala yang mendengarnya hanya diam. Benarkah apa yang barusan dia dengar? Atau hanya halusinasi karena dia terus memikirkan maksud dari perkataan Ferdi tadi siang?
“Kenapa kamu diam?”
“Emang tadi Bapak bilang apa?” tanya Mala ragu-ragu.
Ferdi mengedip-ngedipkan kedua matanya sambil melihat ekspresi bingung Mala lewat kaca. Dia benar-benar tidak tahu harus bilang apa. Dua kali mengatakan niatnya dan dua kali juga gagal membuat Mala menangkap maksudnya dengan jelas. Padahal ia merasa bahwa apa yang dia katakan sudah jelas dan tepat sasaran. Kenapa Mala justru membuatnya seperti remaja yang baru saja menembak perempuan dan diminta untuk mengulang pernyataannya karena tidak jelas? Padahal untuk mengucapkan sekali saja butuh keberanian, butuh oksigen lebih karena jantungnya berdetak kencang.
“Bukan apa-apa. Tunjukin aja jalan ke rumah kamu.”
Gagal lagi.
___
Selamat hari Minggu dan beristirahat bagi yang menjalankan, ehe.
12 Mei 2022/9.31 AM
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)
RomanceMala akan menghadapi mantan kekasih dari sang suami yang berkata ingin menjadi istri kedua. Ferdi pernah patah hati sebelum bertemu Mala, dia melajang selama lima tahun setelah ditinggalkan kekasihnya karena belum bisa memberikan kepastian tentang h...