Janji Tujuh Belas

4.1K 220 8
                                    

Ferdi keluar dari kamar dan melihat istrinya sedang duduk dan membaca sesuatu di laptop, wajah serius perempuan itu meneduhkan sekali, ada sesak yang tiba-tiba bergumul di hatinya. Mengapa kebahagiaan yang ia dan perempuan itu harapkan menjadi seperti ini? Mengapa hatinya dibuat tidak menentu begini?

"Mas Ferdi udah selesai?"

Ferdi mengangguk dan mendekat kepada istrinya, duduk di samping perempuan itu. Pria itu menatap Mala lekat-lekat, tentu saja yang ditatap menjadi bingung sampai muncul kerutan di dahinya. "Mas Ferdi kenapa sih?"

Ferdi diam beberapa saat, lalu merentangkan tangannya. "Mau peluk, Mas, nggak?" pinta Ferdi lirih, walau bingung Mala tetap memeluk suaminya. Ferdi mengeratkan pelukan mereka, menghirup sepuasnya bau sampo Mala, mengecup puncak kepala istrinya beberapa kali. Hatinya yang rapuh sedang mencari kekuatan, keyakinannya yang tenggelam sedang mencoba mencari pegangan, hatinya yang tak utuh sedang mencoba mencari puingnya.

"Mas Ferdi ada masalah di kantor? Cerita aja, kan, aku setidaknya pernah kerja di sana. Jadi siapa tahu bisa bantu." Ferdi menggeleng-geleng.

"Terus kenapa?" Mala masih bertanya karena heran dengan sikap suaminya.

"Mas kangen sama kamu." Lirih sekali Ferdi menjawabnya.

Mala mengedip-ngedipkan mata beberapa kali, jawaban Ferdi betul-betul aneh. "Apaan sih, Mas. Mas Ferdi aneh deh tumben." Mala ingin meregangkan pelukan mereka, tetapi Ferdi menariknya semakin erat dan mencium pipinya bertubi-tubi. Mala yang kegelian meronta-ronta dari pelukan Ferdi.

"Mas, bisa diem enggak? Udah malem jangan menimbulkan kegaduhan."

Ferdi yang juga kehabisan napas melepaskan pelukannya dengan Mala, tetapi matanya tidak lepas dari wajah istrinya. Sekali lagi ia memajukan wajahnya dan mengecup bibir Mala singkat. "Kangen sama istri itu ada jamnya ya?" Mala menjawabnya dengan tawa.

"Makan malam sekarang?"

"Nanti aja habis isya, Mas masih mau ngobrol sama kamu."

"Oke."

Ferdi menarik istrinya agar duduk berdekatan dengannya. "Tadi gimana interview-nya, lancar?"

"Alhamdulillah lancar, Mas. Terus tadi Mas Adam, atasan di kantor, juga udah kabarin aku kalau bisa kerja mulai besok. Ini udah dikasih draft buat project perdanaku."

Ferdi selalu dibuat senang dengan ekspresi semangat Mala, seolah-olah menularinya hingga merasa semangat juga. Dia mengangkat tangannya untuk merapikan rambut sang istri yang tadi ia buat berantakan dan Mala terus melanjutkan ceritanya. Bagaimana perempuan itu merasa sangat bersemangat karena ini adalah pertama kalinya ia bekerja langsung di penerbitan, walau pernah menjadi freelancer di beberapa penerbit indie.

"Kamu nggak gugup? Kalau dulu, kan, kamu cuma sama Mas aja. Sekarang bakal ada karyawan lain di ruanganmu."

"Awalnya. Tapi ternyata atasanku itu akrab sama Vano, mereka satu kampus dulu, dan ada Vano yang kukenal di sana. Jadi gugupnya berkurang banyak."

Mendengar nama Vano entah kenapa membuat hati Ferdi tercubit. Ada sesuatu yang tidak ia suka dari lelaki itu sejak awal bertemu, tatapan mata Vano seperti mengatakan sesuatu yang Ferdi enggan menyebutnya. Pria itu masih terus berpikiran baik bahwa bisa jadi itu hanya perasaannya saja.

--

Azan isya sudah selesai dari tadi, Ferdi juga sudah pulang dari masjid. Mala selesai menata makan malam di meja ketika Ferdi masuk ke dalam rumah sembari melepas peci serta baju kokonya. Dia menghampiri Mala di meja makan dan mencium dahi istrinya singkat lalu masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian.

Setelah selesai berganti baju, Ferdi keluar lagi dan duduk di depan istrinya. Mala tersenyum dan menuangkan air putih ke gelas Ferdi. "Minum dulu, Mas."

"Makasih, Sayang."

"Maaf ya tadi aku enggak masak, Mas Ferdi mau dibawain apa besok? Mas Ferdi suka makan apa?"

"Enggak perlu dibawain bekal kalau kamu mulai sibuk, Mala. Mas bisa makan di luar."

"Makasih, Mas."

Ferdi tersenyum dan mengangguk, tetapi pikirannya ke mana-mana, dia teringat makan siangnya dengan Bela tadi. Dulu dia berpikir kalau menjalin hubungan dengan orang baru itu menyusahkan karena harus mengenal lagi dari awal. Jika ada yang sudah dikenal sejak lama dengan baik harusnya dipertahankan. Namun, saat ini pria itu mencoba berpikir jika yang sudah lama mengenal pun berawal dari saling mengenali.

"Mas suka rendang, Mala. Weekend ini kita masak bareng yuk?"

"Boleh." Mala tersenyum senang, perempuan itu senang mengenali Ferdi sedikit demi sedikit. Banyaknya dia pelajari dari apa yang ia lihat saja, karena Ferdi bukan tipe yang mau bercerita.

"Besok Mas anterin ke kantor ya?"

"Mas ke kantor aja cuma jalan kaki lima belas menit sampai, kalau ke kantorku satu jam pulang pergi lho."

"Nggak apa-apa, untuk hari pertama istri kerja." Sekali lagi Mala berterima kasih karena perhatian dan kasih sayang dari Ferdi. Setiap manusia memang memiliki kelemahan, tetapi barangkali kelemahan itu adalah bagian dari ekspektasi kita. Seperti Ferdi, mungkin baginya pria itu tidak peka, padahal bisa jadi standar peka itu hanya dibuat oleh dirinya sediri. Mala tersenyum dengan dada yang berdebar-debar, cintanya makin membuncah tidak karuan.

--

Mala dan Ferdi sudah selesai bersiap-siap untuk berangkat bekerja, mereka sengaja berangkat lebih pagi agar Ferdi tetap bisa sampai kantor tepat waktu. "Mas, aku bawain sandwich ya buat sarapan di kantor?"

"Iya, Sayang. Kamu juga bawa buat sarapan di jalan."

Mala mengangguk dan memasukkan roti isi ke dua kotak bekal, setelah selesai dia menghampiri Ferdi yang sedang melihat kembali isi tasnya, apakah sudah lengkap atau belum. Perempuan itu senang karena Ferdi tipe suami yang seperti abahnya, bila ada pekerjaan yang bisa ia kerjakan, maka ia akan mengerjakannya sendiri. Istri tidak berkewajiban sepenuhnya terhadap keperluannya, karena mereka tetap dua orang dewasa yang harus mandiri dan saling mengerti.

Mala bersyukur luar biasa untuk itu.

Bunyi notifikasi ponsel menghentikan aktivitas suaminya itu, Mala melihat dari belakang punggung Ferdi. Pria itu membacanya dan terdiam beberapa saat lamanya.

"Kenapa, Mas?"

"Ah, ini." Ferdi menoleh sembari menarik resleting tas dan mencangklongnya. "Bela izin karena anaknya sakit," jawab Ferdi jujur. Pria itu sedikit cemas saat ini karena membaca pesan yang dikirimkan Bela.

Fer, maaf aku izin hari ini, anakku sakit dari semalam sambil panggil-panggil nama papanya. Aku minta maaf banget nggak profesional.

Mala memperhatikan ekspresi Ferdi yang berubah murung, seperti ada yang sedang pria itu pikirkan. "Mas Ferdi mau mecat Mbak Bela?"

"Ha?" Ferdi masih belum sadar apa yang dimaksud istrinya.

"Ya, kan, Mas paling nggak suka sama karyawan yang punya potensi sering izin."

"Oh, itu." Ferdi sudah berpikir yang tidak-tidak saja. "Dia kerjanya bagus kok."

Mala tersenyum. "Baik-baik sama Mbak Bela, Mas, jadi single parent itu nggak mudah, aku tahu banget dulu Abah kewalahan. Apalagi anak Mbak Bela masih kecil. Lagian Mas Ferdi jangan sering ganti sekretaris lah, apa enaknya sih adaptasi sama orang baru terus?"

Ferdi mengangguk singkat dan mengajak Mala lekas berangkat.

___

Tuh, kan, apa kubilang. Minggu sebentar lagi, sudah di depan mata.

Selamat menikmati hari terakhir sekolah, bekerja, atau yang lain, semoga besok bisa libur dan istirahat. Selamat membaca ya.

25 Juni 2022/8.09 AM

Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang