Pagi ini suasana di rumah Ferdi dan Mala tidak seperti biasanya, Mala terlihat lesu dan tidak seceria biasanya. Sedangkan Ferdi hanya diam sembari memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan semua ini. Di kepalanya sudah tersusun rencana, menegaskan kepada Bela bahwa dirinya dan perempuan itu hanya sekadar rekan kerja dan kenalan. Lalu memberitahu Mala bahwa tidak ada yang perlu perempuan itu cemaskan. Namun, Ferdi masih ragu apakah perlu memberitahu Mala tentang Bela atau tidak.
Itu urusan belakang, yang penting negasin ke Bela dulu.
"Mas Ferdi mau dibawain bekal?" Ferdi mendongak melihat istrinya yang sudah selesai sarapan dan hendak membawa piring kotornya ke wastafel. Perempuan itu bertanya tanpa menatap Ferdi.
"Boleh. Makasih, Sayang." Mala tersenyum tipis dan mengangguk, perempuan itu memasukkan makanan ke dalam dua kotak bekal, miliknya sendiri dan milik Ferdi. Ferdi menyusul mencuci piringnya di wastafel setelah selesai juga.
"Kamu makannya dikit banget pagi ini," kata Ferdi sembari mencuci piringnya.
"Lagi males, Mas," jawab Mala sekenanya. Ferdi mengembuskan napas berat lalu berjalan mendekati perempuan itu dan memeluk istrinya dari belakang. Mala membiarkan Ferdi melakukan itu walau hatinya teriris. Apa yang sebetulnya sedang Ferdi sembunyikan? Kenapa pria itu tidak memberitahunya? Dia cemas dan takut.
"Kenapa Mas bilang begitu kemarin? Mas Ferdi ngelakuin apa?" Suara yang keluar dari bibir Mala bergetar karena menahan tangis.
"Semua manusia pasti punya salah, Mas pasti nggak lepas juga dari perbuatan itu. Mas cuma mau tahu kalau seandainya Mas salah, kamu mau maafin atau enggak?"
Mala melepas pelukan Ferdi dan berbalik, menatap pria itu lekat-lekat, jatuh air mata yang dibendungnya setengah mati. Ferdi terkejut melihat istrinya menangis, pria itu menyeka pipi Mala sedangkan perempuan itu memeluk Ferdi, erat sekali. "Mas tahu nggak sih? Aku takut banget waktu Mas Ferdi bilang begitu. Aku tahu banget kalau Mas Ferdi bilang sesuatu pasti itu udah melewati banyak hal di kepala, bukan lagi sesuatu yang baru dipikirkan."
Ferdi menepuk-nepuk punggung Mala, tetapi dia tidak menjawab sama sekali. Dia tidak bisa menjawabnya dengan jawaban apa pun saat ini. Namun, keputusannya untuk menegaskan hubungan dengan Bela semakin kuat. Bukan konflik yang harus dimenangkan, tetapi hubungannya. Mala terlalu manis dan menyenangkan, kenapa juga dia harus resah dan bimbang?
Masa lalu tetap akan menjadi bagian dari manusia, tetapi semua sudah berubah. Bela bukan perempuan yang dulu ia cintai, dia bahkan telah memiliki anak walau dengan pria yang sudah menjadi mantan suami. Lalu setelah sekian lama mengira tidak akan jatuh cinta, akhirnya Mala membuat dia merasakan itu. Apa itu belum cukup membuktikan kalau hatinya sudah berubah juga?
Walau begitu, Ferdi tetap harus mencari cara terbaik untuk mengatakannya pada Bela. Dia tidak mau semuanya berakhir seperti dulu, hilang begitu saja dan meninggalkan jejak sakit di hati, sampai ia sendiri bingung, rasa sedih karena kehilangan dan cinta jadi samar-samar tampak sama.
Apakah rasa kehilangan itu cinta? Atau hanya bagian dari respons tubuh terhadap zona baru yang belum nyaman?
Saat Ferdi sudah sampai di kantor setelah menunggu Mala mendapatkan bus, pria itu mengernyitkan dahi ketika meja sekretaris yang berada di depan ruangannya kosong. Ferdi masuk dulu ke kantor dan menaruh tasnya, lalu merogoh ponsel yang ada di jas.
Fer, Keno masuk rumah sakit karena demamnya tinggi lagi sejak subuh tadi. Dia juga lemes banget sampek nggak mau buka mata. Aku izin ya, maaf banget.
Fer, aku takut Keno kenapa-napa.
Bisa nggak kamu ke sini, Fer?
Maaf ya, lupain aja apa yang kuminta barusan. Aku cuma lagi nggak waras aja.
Mata Ferdi membelalak karena mendapat empat pesan dari Bela dengan isi yang begitu mengkhawatirkan. Dia baru ingat semalam menyenyapkan ponselnya karena tidak mau diganggu oleh apa dan siapa pun di saat situasi di rumah sedang tidak baik. Sebetulnya diam-diam Ferdi menghindari Bela, dia tidak sanggup kalau harus berkomunikasi dengan Bela di dalam rumah. Rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi.
Namun kali ini berbeda, dia khawatir karena Keno, bukan Bela.
Jadi sore ini saat pulang kerja, Ferdi melupakan rutinitasnya, dia bergegas ke rumah sakit tempat di mana Keno dirawat. Ia menemukan Bela di depan sebuah kamar rawat inap kelas C, sedang menunggunya. Ferdi segera bertanya bagaimana kondisi Keno saat ini. Kata Bela anaknya itu sedang tidur karena dehidrasi akibat diare parah sejak tengah malam sampai subuh tadi.
"Sejak kemarin kamu tahu sendiri dia susah makan, tapi malah diare, jadi perutnya bener-bener kosong."
"Kata dokternya gimana?"
"Alhamdulillah bukan sesuatu yang berat, tapi tetap harus dirawat inap dan diinfus."
"Mama mana?" tanya Ferdi lagi.
"Di dalam."
Tanpa berkata apa-apa, Ferdi masuk ke dalam kamar di mana Keno dirawat. Dia melihat bocah lelaki yang sedang terbaring lemas di ranjang putih. Matanya terpejam dengan bulir keringat yang besar-besar, bibirnya sampai pucat.
"Papanya ya ini?" tanya wali dari pasien yang berbagi kamar dengan Keno pada mamanya Bela. Sadarlah Ferdi sekarang ini dia sedang di kamar yang ada banyak orang. Pria itu tersenyum dan mencium tangan mamanya Bela.
"Saudara," jawab mamanya Bela cepat, Ferdi bersyukur sekali karena tidak perlu menjelaskan sesuatu yang agak aneh juga bila didengar orang lain.
Ferdi pergi ke kamar mandi karena baru ingat belum mencuci tangan, dia sekalian mencuci wajahnya. Ia teringat seharusnya hari ini futsal dengan Angga dan teman-teman SMA lain. Sebetulnya Ferdi tidak berencana lama-lama di sini, tetapi Keno terbangun ketika ia masuk ke dalam kamar rawat inap itu.
"Papa," panggil bocah kecil itu dengan mata yang mengerjap-ngerjap. Ferdi terdiam sejenak, apalagi ketika mendengar lagi pertanyaan dari wali pasien lain tadi, yang kali ini tidak ditanggapi oleh mamanya Bela.
"Papa." Keno memanggil lagi. Ferdi tersenyum dan mendekati bocah itu. Keinginannya untuk pulang sudah terlupakan, terlebih ketika makan malam untuk pasien diantarkan. Keno ingin makan bila disupai Ferdi saja, bocah itu mengulurkan tangan seperti hendak menggapainya. Bocah lucu itu dan mata jernihnya, siapa yang tidak luluh?
Sedangkan Bela dan mamanya yang melihat itu hanya bisa menutup mulut dengan sebelah tangan karena terharu. Bela senang karena Ferdi mengobati perasaan rindu Keno. Sejak usia Keno satu tahun papanya jarang menampakkan diri saat ketahuan selingkuh lagi.
Ada harap yang tiba-tiba menyusup ke hati Bela, tetapi berbanding terbalik dengan si anak, mamanya Bela justru merasa semua ini harus diluruskan. Dia pikir kemarin akan jadi yang terakhir kali Ferdi datang ke rumah, sebagai orang dari masa lalu untuk menyelesaikan semuanya. Dia tidak mengira bahwa hari ini pria itu datang lagi. Sebagai seorang ibu, wanita itu takut jika Ferdi atau Bela berpikir yang tidak-tidak akan hubungan mereka. Dia tidak mau jika ada pengkhianatan dalam hubungan yang sekarang Ferdi dan Bela lakoni.
Anaknya semata wayang terluka karena pengkhianatan, jangan sampai malah menyakiti hati perempuan lain hanya karena alasan cinta. Tidak ada cinta yang dibangun dengan melukai orang lain. Wanita itu diam-diam memandang wajah anaknya, yang matanya terus menatap punggung Ferdi dengan senyum haru.
Semoga bukan seperti yang kukira.
___
Wkwk banget sih Mas Ferdi, wkwk-in sajalah.
Selamat membaca dan semoga Selasamu menyenangkan.
28 Juni 2022/13.48 PM.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)
RomansaMala akan menghadapi mantan kekasih dari sang suami yang berkata ingin menjadi istri kedua. Ferdi pernah patah hati sebelum bertemu Mala, dia melajang selama lima tahun setelah ditinggalkan kekasihnya karena belum bisa memberikan kepastian tentang h...