Janji Sembilan Belas

4.3K 230 4
                                    

Ferdi terdiam cukup lama di dalam mobil, dia merasa berat untuk bertemu Mala, rasanya seperti digelayuti beban berton-ton di dada. Ini sudah lewat dari jam tujuh dan pesan terakhir yang Mala kirimkan berjam-jam lalu belum juga ia balas. Pria itu merasa kepalanya kosong, sungguh saat ini ia ingin pulang ke rumah orang tuanya dan tidur tanpa memikirkan apa pun. Kepalanya yang kosong itu sakit ketika ia paksa untuk berpikir.

Bahkan Ferdi sedikit terkejut ketika ponselnya berbunyi.

Mala meneleponnya, ada foto pernikahan mereka sebagai photo profile perempuan itu. Mau tidak mau Ferdi harus mengangkatnya, pria itu menarik napas kuat-kuat.

"Alhamdulillah, assalamualaikum, Mas. Mas Ferdi masih di kantor?" Terdengar nada cemas dari seberang sana, sekali lagi perasaan bersalah menghantam hati Ferdi.

"Waalaikumussalam, Mas udah di mobil ini lagi menepi buat jawab telepon kamu."

"Aku khawatir banget karena dari tadi Mas enggak ada jawab pesan atau teleponku. Alhamdulillah, ya udah hati-hati di jalan ya, Mas." Ferdi terdiam, tidak bisa menjawab kalimat kecemasan istrinya itu, dia tahu tidak pantas menjawab dengan alasan apa pun.

"Mala."

"Ya, Mas?"

Ferdi masih diam, ia sebetulnya ingin izin untuk pulang ke rumah orang tuanya. Walau rasanya tidak baik untuk pulang ke sana dalam keadaan begini, terlebih jika orang tuanya bertanya yang tidak-tidak. Namun, bayangan pulang dan tetap tersenyum seperti biasa kepada Mala rasanya membuat dia seperti bajingan sekali.

Haruskah ia jujur? Seumur hidup tak pernah sekalipun ia sepengecut ini, kali ini keadaannya betul-betul ingin membuatnya melarikan diri saja. Ia ingin jujur kepada Mala, mengatakan yang sebenarnya dan berhenti pura-pura, tetapi bagaimana dengan perasaan perempuan itu? Bagaimanapun, Ferdi juga tidak sanggup melihat Mala terluka.

Lo udah ngelukain Mala, Fer. Brengsek!

"Mas? Mas Ferdi?" Ferdi tersadar dari lamunannya, ternyata dia masih di dalam mobil dan sedang berteleponan dengan Mala.

"Ah iya, tunggu Mas pulang ya," kata Ferdi akhirnya sambil mengembuskan napas panjang.

"Mala nungguin Mas Ferdi dong, kan, Mas suami Mala. Gimana sih. Ya udah buruan pulang."

Ferdi sampai di depan rumah, ia mengembuskan napas berkali-kali sebelum akhirnya membuka pintu dengan kunci yang dibawanya. Pria itu melihat Mala yang sedang menggambar sembari mendengarkan sesuatu lewat pelantang suara, tampak serius, ada segelas susu di depannya.

Ferdi mendekat ke tempat Mala duduk, perempuan itu terkejut melihat manusia lain ada di hadapannya. Sepertinya perempuan itu sangat fokus sampai tidak mendengar bunyi-bunyian lain. Buru-buru Mala melepas pelantang suara dan mencium tangan Ferdi dengan senyum yang mengembang sempurna, jelas sekali terlihat lega melihat suaminya.

"Alhamdulillah pulang juga akhirnya, Mas." Ferdi mengangguk dan mengecup kening Mala singkat.

"Karena Mbak Bela hari ini nggak masuk Mas jadi pulang telat ya?" Kening Ferdi sempat berkerut karena kalimat Mala bermakna ambigu untuk dirinya saat ini, tetapi pria itu tahu maksud Mala bukan apa yang sedang ia khawatirkan. Karena itu Ferdi berusaha mati-matian mengontrol ekspresinya.

"Iya," jawab Ferdi singkat, ia tidak ingin berbohong kepada Mala lebih banyak karena kebohongannya sudah tidak bisa dihitung lagi tiap detiknya. "Kamu belum makan?" tanya Ferdi sembari melihat susu di atas meja yang sudah terminum setengahnya.

"Iya, aku minum susu sambil nunggu Mas Ferdi. Takutnya Mas belum makan, kan, kita bisa makan bareng." Kalimat Mala menohok hati Ferdi. Dia menatap Mala beberapa saat, muncul dorongan untuk memeluk tubuh perempuan itu karena rasa bersalahnya.

Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang