Janji Dua Puluh Tiga

6.3K 289 12
                                    

Didiamkan oleh istri itu ternyata sangat tidak enak, Mala memang masih menyiapkan makanan seperti biasa, membawakannya bekal, tetapi perempuan itu tidak mau menemaninya sarapan. Mala bilang Ferdi harus mengerti kondisinya sama seperti ia meminta Mala menunggu. Tentu saja Ferdi tidak bisa berkutik. Dia hanya bisa menghela napas panjang dan menghabiskan sarapan sendirian, pria itu juga tidak lupa mencuci piringnya sendiri sebelum berangkat kerja. Ditambah Mala tidak mau dipamiti, istrinya itu mengunci pintu kamar mereka.

Sesampainya di kantor, napasnya tercekat ketika dari jauh sudah melihat Bela duduk di depan komputernya. Dia sebetulnya menyesal karena telah menerima Bela waktu itu, bahkan menyesal telah mengikuti kata hatinya atas euforia bertemu dengan Bela setelah sekian lama. Dia juga tidak ingin menyakiti Bela, seandainya waktu itu bisa tegas, pasti hari di mana ia harus mengatakan hal menyakitkan seperti apa yang akan ia sampaikan hari ini tidak akan datang.

Namun, mau tidak mau ia harus mengatakannya.

"Eh, kamu udah dateng?" Bela yang bermaksud meregangkan badan tidak sengaja melihat Ferdi berdiri sembari menatapnya. "Kok berdiri di situ aja?"

Ferdi tersadar dari lamunan, susah payah berusaha tersenyum dan mendekat ke arah Bela. Dia melihat jam di tangannya lalu menatap Bela lagi. "Bisa ngobrol sebentar, Bel?"

"Oke, mau ngobrol apa?" Perempuan itu tersenyum manis sekali kepada Ferdi. "Kebetulan aku juga mau ngomong sesuatu."

Ferdi menaikkan alisnya. "Apa?"

"Kamu dulu."

Mereka masuk ke ruangan Ferdi, keduanya duduk di sofa dan saling diam beberapa saat. Ferdi dengan kekalutannya sedangkan Bela sedang menyusun kalimat termanis yang bisa ia katakan. Pikirnya pasti Ferdi senang dengan idenya itu, pasti Ferdi juga menginginkan hal yang sama, tetapi tidak enak untuk mengatakannya.

"Aku mau menegaskan hubungan kita Bela."

Bela yang belum menangkap maksud Ferdi menggeser duduknya mendekatkan jarak mereka, perempuan itu menggenggam tangan Ferdi dan menatap pria itu dengan mata berbinar-binar. "Aku juga mau bahas soal itu, Fer. Apa ini kebetulan?"

"Maksud kamu?" Ferdi tidak mengerti kenapa reaksi Bela tidak seperti yang ia duga. "Jadi kamu nggak keberatan?" tanya Ferdi selanjutnya.

Bela mengangguk. "Aku nggak keberatan walau kamu punya istri, kita bisa minta baik-baik ke Mala supaya nggak ada yang tersakiti, karena aku tahu banget rasanya dikhianati."

"Sebentar." Ferdi menarik tangannya dari genggaman Bela. "Maksud kamu apa, Bela?"

Reaksi Ferdi barusan menimbulkan tanda tanya di benak Bela. Dia pikir pria itu akan senang, lalu mereka menyusun rencana untuk memberitahu Mala perlahan-lahan. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di sini. Hati Bela mulai terasa tidak karuan, terlebih kerutan di dahi Ferdi seolah mengatakan bahwa pria itu tidak paham dengan apa yang ia katakan.

Jadi, apa maksud Ferdi tadi?

"Hubungan kita selama ini lebih daripada sekretaris dan atasan. Iya, kan?" Bela mencoba mencari pembenaran, dadanya berdegup tidak karuan, bahkan perutnya terasa mulas saat ini. "Ferdi, bilang kalau maksud kamu menegaskan itu memperjelas hubungan kita!" Suara Bela naik satu tingkat mengejutkan Ferdi. Dia tidak pernah melihat Bela sefrustrasi ini, bahkan dulu ketika putus perempuan di hadapannya ini terlihat tabah.

"Fer!"

"Bela, turunin suara kamu. Kita di kantor." Ferdi menekan setiap kata. "Aku minta maaf kalau kamu jadi berpikir begitu, tapi aku-"

"Enggak, Ferdi." Bela berdiri. "Jujur sama aku, sedikit saja, kamu masih cinta sama aku, kan? Kamu berharap kita kembali ke masa lalu, kan?"

Ferdi terdiam, dia mendongak untuk menatap Bela, lalu menunduk.

"Ferdi." Bela mencoba mendekati pria itu, bediri di hadapan Ferdi. "Aku akan bantu kamu untuk bilang sama Mala, ya?" Perempuan itu menunduk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Ferdi, Bela berniat menempelkan bibirnya ke bibir Ferdi. Namun, refleks pria itu mendorong Bela sampai pinggangnya terantuk pinggiran meja.

Bela mengaduh dan menatap Ferdi nanar, wajahnya memerah dengan mata berkaca-kaca. Campuran antara malu dan marah.

"Tolong jangan kurang ajar, Bela. Aku di sini sudah punya istri."

"Tapi kamu ke aku, ke Keno, hubungan kita?" Bela masih tidak sanggup menerima kenyataan, otaknya masih menolak semua itu. Ferdi mendekati Bela, ia membantu perempuan itu berdiri dengan mengangkat pundak Bela dan mendudukkannya di sofa.

"Maafin aku."

"Enggak, aku enggak mau dengar apa pun dari kamu."

"Tapi kamu harus dengar ini." Mereka berdua saling menatap. "Mau atau enggak, kamu harus dengar." Air mata Bela mulai keluar, tapi kali ini Ferdi tidak memiliki niat untuk menyeka atau mengatakan sesuatu yang akan menghibur hati perermpuan itu. Tidak tahu kenapa, Bela terlihat seperti bukan Bela yang ia kenal di masa lalu. Perempuan di hadapannya ini bukan seseorang yang ia cari.

"Iya, benar, aku sempat berpikir kalau perasaanku bercabang. Tapi sedikit pun dari awal aku enggak pernah punya keinginan untuk mengulang cerita lama, Bel. Kupikir ... kupikir berteman sama kamu bisa bikin perasaan aneh itu bakal hilang. Kurasa aku cuma kangen, merasa bersalah, dan bersyukur ketemu kamu lagi. Itu aja, Bel. Itu aja."

Bela meremas rambutnya, isakan mulai keluar dari mulut perempuan itu. Ferdi membiarkan Bela mengambil waktu untuk mencerna apa yang baru saja mereka bicarakan. Tidak pernah tebersit di benak Ferdi bahwa Bela yang sekarang, bukan lagi Bela yang dulu.

"Kamu cuma takut, Fer," kata Bela lirih di sela isakannya. Ferdi tidak menjawab karena merasa percuma jika meladeni perempuan yang sedang emosional.

"Kamu dengan kurang ajarnya bersikap baik seolah memberi harapan, lalu tiba-tiba sekarang bilang dari awal nggak ada niat apa pun? Brengsek kamu, Fer!" Kendati terkejut karena Bela berkata kasar seperti itu, sesuatu yang belum pernah Ferdi dengar keluar dari mulut perempuan itu, tetap saja Ferdi diam karena tahu dirinya bersalah.

"Kupikir kamu juga sama-sama tahu kalau ini nggak mungkin."

"Nggak mungkin?" Bela menoleh dan terlihat oleh Ferdi wajahnya yang penuh air mata. "Aku melihat kemungkinan, Fer!"

"Tolong, Bela. Kurasa kita udah sama-sama dewasa buat enggak emosional. Kamu punya Keno dan aku punya Mala."

Bela tersenyum, tetapi itu senyum yang aneh untuk Ferdi. Perempuan itu berdiri setelah mengusap air mata dan membenarkan letak rambutnya. Dia menoleh kepada Ferdi sekali lagi. "Kamu pikir semua logika di kepalamu itu bisa mengontrol hati orang lain? Ketika kamu memutuskan sesuatu di kepalamu itu dan melakukannya kepada orang lain, Fer, hati orang juga ikut terlibat."

Ferdi tertohok dengan kalimat yang Bela ucapkan dengan nada sinis itu.

"Kamu cuma takut." Sekali lagi Bela mengatakannya, setelah itu ia melenggang keluar dengan rencana yang akan ia lakukan secepatnya. Jika Ferdi tidak berani, maka dia yang harus melakukannya. Tidak apa-apa, toh dalam mendapatkan sesuatu memang harus berusaha.

Dan inilah usaha gue.

___

Semakin panas ya :)

Selamat membaca dan semoga hari Senin-mu menyenangkan.

4 Juli 2022/5.55 AM

Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang