Janji Tujuh

4.1K 254 8
                                    

Mala, ke rumah ya? Ayah sama Ibu nanyain kamu.

Pagi buta, ketika Mala membuka ponsel untuk melihat jam, chat yang muncul di urutan notifikasi paling atas adalah milik Ferdi. Mala lantas terbangun tanpa sisa-sisa kantuk di matanya. Perempuan itu berpikir ia masih di dunia mimpi, atau mimpi di dalam dunia mimpi. Rasanya perasaan itu utopis sekali, mustahil rasanya Ferdi yang berstatus sebagai atasannya mengirim pesan semacam itu.

Pesan itu dikirim pukul dua belas lebih dua belas. Waw, angka cantik. Apa di alam mimpi juga ada diskon besar-besaran dua belas dua belas? Mala masih memandangi ponselnya dengan wajah aneh. Senyum miring yang asimetris tercetak di sana, matanya sesekali melihat ponsel, sesekali melihat lantai kamarnya, sesekali melihat dinding. Dia sedang meraba-raba hatinya sendiri. Detak jantungnya berisik sekali sampai menggetarkan pipi, apakah seluruh dunia akan mendengar? Pipinya menghangat dan perutnya terasa geli.

"Astaghfirullah!" pekik Mala, sekarang dia telah sadar secara penuh ketika ponselnya bergetar dan nama Ferdi terpampang di sana.

Mala buru-buru mengangkat telepon Ferdi, tetapi tidak bersuara, menunggu pria itu bersuara lebih dulu. "Udah bangun, Mala?"

"Kalau belum bangun, Bapak sekarang lagi diceramahi operator."

"Oh iya." Ferdi terkekeh. "Kamu on fire sejak bangun banget ya, Mala?" itu sindiran, Mala tahu dan dia hanya berdeham.

"Kalau udah bangun kenapa nggak bales chat saya?"

Mala menggigiti jarinya, terdiam cukup lama. Sampai Ferdi bersuara lagi. "Mau?"

"Kenapa saya harus ke rumah Pak Ferdi? Kenapa juga orang tua Pak Ferdi mau ketemu saya?" tanya Mala berusaha menemukan seluruh keganjilan yang ia rasakan, kali ini sepertinya angka genap, karena tidak mungkin, kan, orang tua pria itu hanya iseng ingin tahu sekretaris anaknya? Mala berusaha menemukan harapan.

"Apa kamu nggak bisa menangkap maksud saya, Mala?" Kini giliran Ferdi yang berkata pelan sekali dari seberang sana, sembari menutup wajah dengan sebelah telapak tangan yang tidak memegang ponsel. Pria yang terlihat galak dan tidak ramah di mata orang itu kini ... malu.

"Sejak kapan saya jadi anak pramuka ya, Pak? Itu udah bertahun yang lalu deh sepertinya."

"Oke." Ferdi mengembuskan napas. "Maaf saya justru main kode-kodean, tapi percayalah, bukan maksud saya begitu. Sekarang subuh dulu, nanti jam tujuh saya berangkat dari rumah buat jemput kamu."

"Bapak yakin saya mau?"

"Mala," lirih Ferdi, dia sungguh-sungguh berharap ini akan menjadi mudah. Seperti betapa mudahnya ia ke rumah Mala dan diterima dengan hangat oleh keluarga gadis itu.

"Saya tunggu di rumah untuk meminta penjelasan, tidak lebih."

Lalu Mala mematikan sambungan mereka, menaruh ponselnya di depan dada. Tadi dia kenapa seberani itu dengan Ferdi? Kalau dipecat dia tidak bisa jajan di kafe depan kantor lagi dong? Bukan, bukan itu. Ini jauh lebih bahaya, dadanya berdebar-debar dan parahnya bibirnya membentuk sudut aneh bernama senyum. Dia merasakannya, perasaan senang.

--

Ferdi sampai di rumah Mala lagi, bertemu dengan Abah yang sedang menyesap kopinya di beranda rumah. Mempertanyakan tujuan apa yang dibawa Ferdi sampai ke sini lagi pagi-pagi. Pria itu menjelaskan sejujur-jujurnya pada Abah. Maka, begitu Mala keluar dengan pakaian rumahannya, bahkan tanpa mekap, Ferdi tahu bahwa keinginannya tidak akan mudah dikabulkan oleh perempuan itu. Abah pamit masuk ke dalam rumah, padahal Ferdi mempersilakan pria paruh baya itu untuk tetap di sana mendengarkan diskusi mereka berdua.

"Abah nggak mau jadi nyamuk." Pria itu terkekeh. "Abah percaya kalian bisa dipercaya. Lagian pagi gini banyak orang lewat, nggak mungkin macem-macem, kan?"

Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang