"Jawab gue baik-baik sekali ini, gimana perasaan lo ke Mala? Kalau lo cinta sama Mala, gue bakal bantuin lo buat selesaiin urusan Bela. Tapi kalau lo sendiri masih bingung, sorry, dude, I can't do anything."
"Kalau lo harus pilih Mala atau Bela, pilih salah satu aja, lo bakal pilih siapa? Apa lo bakal relain Mala atau lo bakal relain Bela? Tolong jawab sejujur-jujurnya, jangan pikirin apa kata orang lain dulu."
"Gue." Ferdi berusaha meraba hatinya dengan baik, dia ingin menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Lebih cepat lebih baik, semakin cepat rasa sakit itu datang semakin cepat pula untuk terbiasa. Entah hati siapa yang akan terluka lebih hebat nanti, yang jelas saat ini pun semuanya tetap terluka. Dia membayangkan Mala yang ceria dan tersenyum kepadanya, bibir Ferdi secara otomatis ikut tersenyum. Lalu ia membayangkan ekspresi Mala akhir-akhir ini, rasanya ia betul-betul ingin berlari pulang dan memeluk tubuh istrinya itu, meminta maaf dan berusaha memperbaiki semuanya agar situasi kembali seperti semula.
Belum sempat Ferdi memberikan jawaban untuk Angga, sebuah pesan masuk dari Mala membuatnya melotot. Jantungnya terasa hampir copot dan keringat dingin bercucuran di dahi.
"Bang, gue baru aja dapet pesan dari Mala kalau dia sekarang lagi sama Bela." Jantung Angga juga terasa hampir lepas dari rongganya, kenapa masalah malah jadi runyam seperti ini? Hanya karena tidak ada sekat profesional di antara mantan kekasih dan kebohongan seorang suami kepada sang istri bahwa sekretarisnya adalah orang dari masa lalu.
"Dan gue takut Mala kecewa, Bang. Gue rasa gue tahu jawabannya."
Aku lagi sama Mbak Bela di kafe dekat supermarket tempat kita nggak sengaja ketemu, dan aku tahu apa yang belum bisa kamu bilang ke aku.
__
"Mana bisa aku izinin kamu ngejar Ferdi, Bel? Kamu harus tahu posisimu di mana." Angga tersenyum dingin tanpa menoleh kepada Bela yang duduk menyamping ke arahnya dengan wajah memohon. Bela menunduk sembari menggigit bibirnya, tangannya mengepal walau seluruh tubuh terasa lemas.
Ferdi tadi marah kepadanya, menatapnya penuh kecewa, sesuatu yang tidak pernah pria itu lakukan sejak mereka masih bersama. Apakah selama ini hanya dia yang berharap lebih terhadap kedekatan mereka? Tidak, pasti bukan seperti itu, Ferdi terlihat sangat baik dan Bela yakin melihat perasaan yang sama ada di mata pria itu.
Hati dan pikiran Bela berdebat hebat seiring detak jantung yang menggila.
"Ferdi masih punya perasaan yang sama ke aku, Bang."
Angga terkekeh kecil, mengembuskan napas panjang lalu menoleh kepada Bela. Tangannya menyentuh lembut jari jemari perempuan di sebelahnya ini. "Bahkan walau tahu apa yang kulakuin ke Ferdi itu biadab, perasaan ini masih sama buat kamu, Bel."
Bela mendongak, matanya berkaca-kaca dan segera menarik tangannya supaya tidak bersentuhan dengan Angga. Dia membuang wajahnya ke kaca yang ada di sampingnya, wajah perempuan itu memerah mengingat masa lalunya dengan Angga. Kesalahan yang mereka berdua lakukan di belakang Ferdi.
"Itu juga jadi alasan kenapa sampek saat ini aku belum menikah, Bel." Angga tertawa miris. "Perasaan itu masih melekat kuat karena rasa bersalah, kurang lebih aku tahu kenapa Ferdi masih bingung sama perasaannya."
Mata Bela memejam, seseorang yang sangat tidak ia harapkan muncul adalah Angga. Karena hanya dengan menatap saja, tubuhnya terasa ngilu karena rasa bersalah. Kesadaran bahwa Ferdi tidak pernah bersalah menggantungnya karena dia tidak baik untuk pria itu, betul-betul menyiksanya tanpa ampun.
"Bel, perasaannya memang masih sama, tapi keinginan dari perasaan itu udah berubah sama sekali. Cuma untuk Ferdi, aku bisa ngerti kenapa dorongan rasa bersalahnya lebih kuat. Kalau aku ke kamu, aku tahu hubungan kita cuma suatu kesalahan, jadi dorongannya lebih tipis."
Angga mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala Bela, membelai rambut perempuan itu lembut seperti dulu. Bagaimanapun semua manusia pasti pernah melakukan salah, tetapi terlepas dari kesalahan itu Bela adalah perempuan yang baik, cantik, dan bersinar pada masanya.
"Aku akan bilang ke Ferdi tentang kesalahan kita, udah cukup lama semua itu dipendam, Bela"
Bela buru-buru menoleh dan menggeleng dengan wajah yang sudah basah kuyup oleh air mata. Angga tersenyum kecut melihatnya, tangisan itu sama seperti air mata yang Bela keluarkan ketika pertama kali mereka melakukan kesalahan. Namun, nyatanya kesalahan itu terus terulang sampai entah berapa kali.
"Jangan, Bang. Aku mohon jangan. Ferdi pasti kecewa sama aku, sama Abang. Dia pasti marah besar."
"Itu konsekuensi kita sejak awal. Lagipula ... ." Angga menjeda kalimatnya. "Ferdi harus tahu kalau keputusannya menikah dengan Mala itu benar, dan pertemuan kalian cuma sebagai jembatan untuk dia tahu pengkhianatan kita berdua."
Bela menangis tersedu-sedu, perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Angga sabar menunggu Bela sampai selesai menangis dan menumpahkan seluruh perasaannya. Penyesalan, ketakutan, kesedihan, dan beberapa perasaan menyakitkan tak bernama lainnya. Angga bahkan mengusap punggung perempuan itu lembut.
Rasanya dia seperti bertemu jalan untuk lepas dari kungkungan masa lalu. Selama ini hidupnya dihantui rasa bersalah, bahkan untuk menyukai orang lain saja Angga merasa tidak sanggup melakukannya. Dia tidak mungkin menutup lembar masa lalu tanpa mempertanggungjawabkan kesalahannya, kebiadabannya.
--
"Kenapa dia nampar lo, Mala? Jawab dong! Kenapa lo menghindar dari Bang Ferdi?"
"Van." Mala berhenti, mereka baru saja turun di depan perumahan tempat Mala tinggal, jalan yang sekarang rasanya berat sekali dilalui. "Gue udah bilang lo balik aja ke kantor, kan?"
Vano mengusap wajahnya kasar, tangannya berkacak pinggang dan ia mengeluarkan erangan pelan. "Lo. Apa ini batas di mana gue nggak boleh tahu urusan lo?"
Mala mengangguk.
"Apa lo bakal baik-baik aja? Oh, gobloknya gue, lo pasti nggak bakal baik-baik aja. Tapi, at least, tolong kasih tahu gue, cari gue kalau lo nggak bisa bilang ke Abah, Umi, ataupun Kirana."
Mala mati-matian tersenyum walau satu air matanya lolos ketika mengangguk.
"Oke, gue balik," kata Vano sembari berjalan dengan tetap menoleh pada Mala. Lelaki itu kemudian langsung berbalik dan berjalan dengan cepat. Sakit sekali rasanya tidak bisa berbuat apa pun untuk seseorang yang berarti.
Ketika menunggu angkot lewat, Vano melihat Ferdi masuk ke perumahan dengan ojek. Dia bergegas berlari mengejar pria itu, dia berharap Ferdi tidak lebih dulu masuk ke dalam rumah. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk kebaikan Mala, untuk harga diri perempuan itu.
"Bang!" teriak Vano ketika ojek akan pergi setelah Ferdi membayar tarifnya. Ferdi menoleh dan terlihat tidak suka dengan kehadiran Vano, tetapi Vano memutuskan untuk masa bodoh.
"Saya cuma mau bilang," kata Vano terbata-bata karena harus mengatur napasnya. "Kalau Abang. Sampai berani nyakitin Mala. Abang tahu, banyak yang sayang sama Mala, keluarganya dan teman-temannya. Dia nggak akan rugi juga tanpa Abang."
Ferdi terdiam beberapa saat. "Saya penasaran sejak lama sama kamu." Pria itu mendekati Vano. "Saya merasa kamu punya perasaan lebih kepada Mala, benar?"
Vano terdiam beberapa saat, lalu mengangguk. "Tapi saya tahu sebatas mana saya boleh memperlakukan Mala. Saya cukup tahu batasan. Apalagi Mala." Ferdi merasa bahwa kalimat Vano merupakan sindiran keras untuknya. Namun, Ferdi yakin dari sikap Vano tadi pasti lelaki itu belum tahu apa yang sebetulnya terjadi.
Kalau Vano sampai tahu, ia yakin reaksinya akan lebih buruk daripada ini. Oleh karena itu Ferdi menepuk-nepuk pundak Vano dan mengucapkan terima kasih lalu pamit masuk ke dalam rumah, menghadapi kenyataan yang sesungguhnya.
___
Selamat membaca dan semoga hari Rabumu menyenangkan.
13 Juli 2022/5.43 AM
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)
Roman d'amourMala akan menghadapi mantan kekasih dari sang suami yang berkata ingin menjadi istri kedua. Ferdi pernah patah hati sebelum bertemu Mala, dia melajang selama lima tahun setelah ditinggalkan kekasihnya karena belum bisa memberikan kepastian tentang h...