Sejak dua hari lalu, Mala sedang sibuk dengan proyek barunya, dia akan menangani salah satu penulis yang dia sukai sejak lama. Jadi, dia berusaha membuat kover sebagus mungkin, bahkan tidak hanya satu atau dua, dia menyediakan tiga pilihan agar penulis tersebut bisa memilih yang paling sesuai dengan keinginannya.
Mala tidak keluar dari ruang kerja jika bukan untuk hal-hal penting, seperti masak, makan, mandi sesekali, ke kamar mandi. Selebihnya dia benar-benar di dalam ruang kerja. Saat Ferdi pulang, Mala hanya menemuinya sebentar lalu meminta waktu untuk menenggelamkan dirinya kembali. Ferdi memahami antusias istrinya saat ini, bahkan sesekali mengantarkan camilan atau minuman ke dalam ruang kerja istrinya, agar tidak mengantuk dan tetap semangat.
Malam ini, Ferdi masuk ke dalam ruang kerja Mala, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Istrinya sudah salat dan kembali bekerja, belum terdengar lagi suaranya sampai satu jam kemudian.
Saat membuka pintu perlahan dan mengintip, Ferdi melihat kepala Mala tergeletak di atas meja, istrinya tertidur. Pelan-pelan dia mendekati meja Mala dan melihat apakah kover terakhir yang dibuat wanita itu sudah selesai.
Belum, masih ada detail yang belum diwarnai, tetapi Mala sudah kurang tidur selama dua malam, jadi dia membangunkan istrinya dan memintanya pindah ke kamar.
"Sayang, bangun dulu, tidurnya jangan di sini. Sakit leher loh."
Dahi Mala berkerut-kerut lalu matanya terbuka, "Sebentar, Mas, belum selesai. Aku niatnya emang cuma tidur sebentar kok," kata Mala sambil kembali dengan posisi bekerja.
"Besok aja lagi, besok pagi deh abis solat subuh."
Mala menggeleng-geleng. "Enggak-enggak, ini tinggal sebentar lagi."
Ferdi mengalah dan keluar dari ruangan sang istri, dua jam setelahnya sambil menunggu Mala dia membaca buku di ruang tamu. Namun, entah sejak kapan dia tertidur di sana, bangun-bangun sudah pukul dua pagi. Buru-buru dia melihat ke ruang kerja Mala, karena istrinya pasti juga tertidur, tidak mungkin perempuan itu pindah ke kamar tanpa membangunkannya.
Benar saja, Mala tertidur dengan posisi yang membayangkannya saja Ferdi tahu itu akan membuat badan istrinya sakit besok. Jadi, tanpa pikir panjang dia mengangkat sang istri ke dalam kamar mereka, lucunya Mala sama sekali tidak bangun. Pasti benar-benar lelah.
Istrinya terlalu antusias, sehingga dia terus membuat dan mengganti kovernya, karena takut karya yang dia buat hanya biasa-biasa saja untuk penulis yang dia kagumi. Padahal di mata Ferdi semua sama bagusnya.
***
Keesokan paginya, sehabis solat subuh, Mala tidur kembali, Ferdi membiarkan wanita itu tidur barang satu atau dua jam lagi. Sedangkan dia langsung ke dapur menyiapkan makanan hangat dan sedikit pedas agar mood istrinya membaik. Istrinya itu memang paling suka makanan pedas dan gurih alih-alih manis.
Belum selesai sepenuhnya masakan yang dia buat, Mala memanggilnya dari dalam kamar.
"Masss, kok nggak bangunin aku sih."
Ferdi berlari ke dalam kamar setelah mematikan kompor, bingung ada apa dengan wanita itu.
"Kenapa? Emang masih belum selesai?"
Wajah Mala panik, dia bergegas ke lemari dan mengeluarkan pakaian apa saja yang dia lihat. Lalu masuk ke dalam kamar mandi. Ferdi masih tidak mendapat jawaban.
"Kenapa, Mala? Ini hari Minggu, loh."
"Aku ada janji sama penulisnya hari ini di kafe sama Mas Adam juga. Janjinya jam delapan, ini udah jam tujuh," jawab Mala dari dalam kamar mandi.
Istrinya memang suka begitu, kalau sudah fokus dengan satu hal kadang-kadang tidak bisa diajak bicara, kepalanya merespons lebih lambat. Seperti sekarang, dia bicara panjang kali lebar, Mala hanya melihatnya sesekali sambil berkata 'nanti dulu, Mas, aku nggak konsen'.
Setelah mandi wanita itu bergegeas memakai pakaiannya dan memakai sedikit mekap tipis dan lipstik, agar tidak kentara habis bergadang beberapa hari demi mendapatkan hasil terbaik, yang belum tentu juga terbaik untuk penulis yang dia kagumi.
"Aku pulang nanti jam sebelasan, Mas. Hari ini penulisnya emang penuh dari jam segitu sampai sore, jadi cuma jam delapan aja satu-satunya kesempatan yang kami punya buat nunjukkin kovernya. Sekaligus menutup slot terbit tahun ini di perusahaan. Jadi ini penting banget."
Mala memberi tahu alamat kafenya kepada Ferdi, jaraknya sekitar tiga puluh sampai lima puluh menit, tergantung kelancaran jalan. Ferdi membantu dengan mengirimkan pesan kepada Mas Adam jika dia meminta maaf dengan sebesar-besarnya akan telat di pertemuan kali ini.
Mas Adam
Oke, Mala, saya akan ajak ngobrol dulu ya. Kamu usahakan jangan terlalu lama.
"Mas sekalian tolong pesenin ojek online ya."
"Nggak Mas anterin aja?"
Mala menoleh, "Nggak usah, Mas lagi masak, kan? Selesaiin masaknya terus sarapan, Mas, mumpung hari Minggu Mas bisa santai. Aku, kan, besok nggak ke kantor, aku mah lebih sering di rumah daripada Mas Ferdi."
Ferdi melakukan apa yang diminta sang istri, tidak perlu menunggu lama driver ojek online langsung didapatkan, karena daerah mereka memang mudah aksesnya.
Saat driver sudah di depan rumah kami, Mala berpamitan dan bergegas pergi. Ferdi yang sudah melihatnya pergi menjauh kembali melanjutkan masak yang tadinya ingin dia nikmati berdua dengan sang istri.
Nggak apa-apa, bisa dimakan nanti.
***
Baru saja Ferdi sarapan, ponselnya berdering, nama Mala tertera di sana. Dia langsung mengangkat panggilan tersebut dengan feeling yang sudah tidak enak. Benar saja, di seberang sana Mala terdengar putus asa sekali.
"Mas Ferdi, bisa minta tolong bawain tabletku ke sini nggak? Aku lupa," ucap Mala pelan.
Ferdi langsung bergegas ke ruang kerja istrinya, mengambil tablet dan apa saja yang sekiranya dibutuhkan, seperti charger. Setelah itu tanpa mengganti baju dia langsung mengambil dompet dan kunci motor, melaju kencang di jalanan karena tahu betapa risaunya Mala saat ini.
Dia jadi ikut berdebar membayangkan bagaimana sang istri sangat malu dan merasa gagal di hadapan penulis yang dia kagumi.
Setengah jam berlalu, dia benar-benar mencoba menerobos apa pun yang bisa diterobos. Lalu mengabari Mala bahwa dia sudah ada di depan kafe. Wanita yang dia cintai itu keluar dan berlari tergesa-gesa, wajahnya benar-benar pias.
"Ya Allah, makasih, Mas Ferdi. Mas mau langsung pulang?"
"Udah kamu masuk aja," kata Ferdi menyuruh istrinya buru-buru pergi.
"Bentar." Mala menjatuhkan kepalanya di pundak Ferdi, beberapa saat kemudian terasa basah di sana. Sepertinya Mala menangis. Ferdi mengelus punggung istrinya itu.
"Nggak apa-apa, Sayang, kamu lupa dan itu manusiawi. Kamu berusaha sampai di sini tepat waktu, jadi jangan malu atau merasa bersalah lagi ya."
Mala hanya menggeleng-geleng, lalu melepaskan pelukan mereka dan menyeka air matanya.
"Aku kelihatan banget habis nangis ya? Lihat, Mas." Mala memajukan wajahnya tepat di depan mata Ferdi. Pria itu menghapus jejak-jejak air mata di pipi istrinya.
"Udah, udah cantik lagi. Sana masuk, Mas pulang ya. Malu, lupa ganti celana."
"Oke." Mala mencium pipi Ferdi lalu bergegas pergi ke dalam, di mana penulis dan Mas Adam sudah menanti. Sedangkan Ferdi pulang dengan senyum yang mengembang sempurna.
***
Haiii, ekstra part pertama akhirnya selesai. Ini tuh bener-bener baru selesai dan langsung ku-publish, jadi kalau ada typo tolong diingatkan ya. Nanti kupakai untuk editing di word. (hasil curi-curi waktu antara ngerjain kerjaan dan nulis, akhirnya satu jam kelar)
Masalahnya aku nggak tahu ekstra part seperti apa yang teman-teman inginkan, tapi aku akan membuat dua chapter dengan kegiatan sehari-hari mereka dan deep talk pasangan ini di next ekstra part.
Selamat membaca dan semoga hari Rabumu menyenangkan.
10 Agustus 2022/9.34 AM
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)
RomansaMala akan menghadapi mantan kekasih dari sang suami yang berkata ingin menjadi istri kedua. Ferdi pernah patah hati sebelum bertemu Mala, dia melajang selama lima tahun setelah ditinggalkan kekasihnya karena belum bisa memberikan kepastian tentang h...