Janji Dua

7.4K 410 8
                                    

Hari ini sudah beberapa bulan sejak Mala diterima di kantor Ferdi, kedua anak manusia itu memang akhirnya bertemu. Ketika tahu jika Mala akan menjadi sekretarisnya, Ferdi menyambut perempuan itu dengan senyum lebar. Perempuan itu sampai bingung kenapa Ferdi bisa sangat bahagia melihatnya, bahkan Ferdi sendiri tidak mengerti kenapa ia harus tersenyum selebar itu.

Entahlah.

Yang jelas, detik ini, Ferdi sedang memperhatikan Mala diam-diam. Sama seperti apa yang sudah ia lakukan selama Mala di sekitarnya. Diam-diam pula Ferdi mencaritahu tentang Mala lebih banyak, tinggal di mana, siapa orang tua gadis itu, berapa saudara yang gadis itu miliki, sampai akun media sosial Mala. Tentu dari berkas lamaran yang Mala bawa.

"Lo suka?" Ferdi memutus tatapannya pada objek yang selalu mampu menyita seluruh atensinya itu—Mala yang sedang berbincang dengan karyawan lain, tertawa dan tampak memukau—untuk menoleh kepada Zidan.

"Suka apa?" tanya Ferdi bodoh.

Zidan terkekeh sambil menepuk tangannya beberapa kali, Ferdi mengernyit tidak suka atas kegaduhan yang ditimbulkan Zidan karena beberapa orang mulai memperhatikan mereka. Bahkan Mala pun saat ini melihat kedua pria itu. Ferdi tersenyum dan melambai singkat pada Mala, membuat pekikan kecil keluar dari bibir karyawan lain yang duduk semeja dengan perempuan itu. Terang saja para karyawan lain heboh, Ferdi tak pernah seramah itu bahkan kepada sekretaris lamanya.

"Gila lo, bisa diem nggak!" Ferdi menyenggol lengan Zidan yang masih asik dengan humornya.

"Gue selama ini nunggu kapan lihat lo masang tampang kayak gitu." Zidan menunjuk wajah Ferdi. "Karena gue kesel selalu lo ganggu tiap lagi pacaran sama istri gue. Ternyata dia?" Zidan mengedikkan kepalanya sekali ke arah Mala. Ferdi kini tahu ke mana arah bicara Zidan, memang dia masih bisa mengelak?

"Selamat, Bro. Akhirnya setelah lima tahun berlalu." Zidan kali ini tampak tulus mengatakannya, tidak ada sisa humor di wajahnya. Ferdi hanya mampu tersenyum kecil. Lalu tubuhnya menegang ketika Mala berjalan menghampirinya ketika pegawai lain berjalan keluar. Zidan yang paham situasi pun pamit kembali ke kantor lebih dulu, sembari mengepalkan tinju ke udara pada Ferdi, dia menghilang di telan pintu kafe.

"Duduk, La."

Mala duduk di depan Ferdi, menatap atasannya itu tenang, begitu juga yang dilakukan Ferdi kepadanya. Mala berpikir tadi Ferdi hendak berbicara kepadanya, karena itulah ia tidak enak bila kembali ke kantor lebih dulu tanpa menghampiri atasannya itu. Asumsi Mala diperkuat dengan kepergian Zidan. Jadi, seharusnya Ferdi sudah membawanya ke inti pembicaraan dan bukannya saling adu tatap begini, kan?

"Bapak mau ngomong sama saya?"

Ferdi menaikkan kedua alisnya, suara Mala baru saja membuat Ferdi kembali berpijak ke dunia nyata. Tempat di mana objek dari rasa cintanya ada di depan mata dan bukan hanya di kepalanya. Pria itu mengangguk. Mala siap mendengar.

"Saya mau ngobrol sesuatu di luar pekerjaan, boleh?"

Mala mengangguk ragu. "Tentu."

Ferdi melihat jam tangannya. "Cukup." Pria itu meluruskan pandangannya lagi kepada Mala.

"Dua bulan ya Mala. Kamu bekerja dengan baik. Dan saya jadi yakin kalau di luar sana, termasuk saya dan kamu, ada seseorang yang dengan sadar mengabaikan distraksi apa pun demi karir. Itulah syarat yang harus dipenuhi setiap calon sekretaris saya. Saya tidak suka pekerjaan bercampur aduk dengan hal pribadi, dan untuk menemukan seseorang yang seperti itu artinya saya harus sabar menemukan yang tepat." Ferdi mengakhiri opening-nya dengan senyuman lagi. Sedangkan Mala masih tenang di tempatnya dan itulah salah satu yang Ferdi suka, ketenangan Mala, walau di beberapa situasi perempuan itu bisa ekspresif sekali.

Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang