Janji Tiga

5.7K 347 2
                                    

Ferdi sedang menggulir layar tabletnya sembari menyesap teh manis hangat yang ia buat sebelum duduk di samping rumah. Samping rumahnya ada tempat duduk dengan meja bundar kecil yang diapit dua kursi, sekaligus ayunan rotan yang nyaman di sebelahnya. Tempat paling enak untuk berjemur atau menghabiskan waktu di sore hari. Minus siang hari, sebab di sana akan panas sekali.

Kali ini Ferdi sedang melancarkan aksi stalking akun pribadi Mala. Sebetulnya ini bukan cara yang masuk kategori elegan untuk pria itu. Ia akan lebih memilih bertanya langsung daripada melakukan hal memalukan seperti ini. Apalagi Mala ada di depannya dan siap sedia ditanya apa pun informasi yang dia butuhkan.

"Tanya perempuannya atau tanya orang tua perempuannya."

Kalimat Mala terngiang-ngiang di kepala seolah meminta Ferdi untuk melakukan prosedur pendekatan secara baik dan benar, lalu satu lagi ... dengan cepat. Ferdi tersenyum sendiri dengan pikirannya. Memang menggelikan, tetapi siapa yang peduli? Jatuh cinta, kan, memang semenyenangkan ini.

Oke, Mala. Sabar ya, saya akan melakukan pendekatan dengan cara saya. Sekarang izinkan saya mencaritahu tentang kamu dulu. Siapa tahu membantu proses pendekatan kita, kan? kata Ferdi dalam hati sembari terus membuka-buka akun Facebook Mala, unggahan terakhirnya adalah tahun lalu.

Tak banyak yang diunggah perempuan itu, kecuali foto-foto tempat, benda, atau buku. Namun, ada satu yang menjadi ciri khas akun Facebook Mala, perempuan itu ditandai oleh akun lain dalam foto ramai-ramai. Tidak satu atau dua, banyak. Ternyata Mala memiliki banyak teman. Ferdi mengangguk-angguk, cukup menjelaskan kenapa Mala sangat-sangat friendly.

Ferdi beralih ke Instagram, siap mengetikkan username perempuan itu, lalu alisnya sedikit menukik. Selain nama akun yang tadi membuatnya penasaran karena tidak sesuai nama perempuan itu, kini ia juga terkejut karena followers Mala sebanyak tiga ratus tiga puluh tiga ribu. Menariknya lagi adalah akun perempuan itu penuh dengan gambar, manual ataupun digital.

Ferdi menjauhkan tabletnya sejenak dan menyesap teh lagi. Dia menghela napas panjang, siap-siap untuk terkejut lagi. Seindah apa lagi sosok perempuan yang mampu membuat jantungnya berdebar itu? Lalu ia membuka-buka bagian highlight, mencari-cari jejak Mala. Takut kalau-kalau perempuan itu ternyata salah mengetikkan nama akun di CV, walau sepertinya itu amat tidak mungkin.

Lagi-lagi Ferdi dibuat mendesah pusing. Mala mengunggah beberapa video yang menunjukkan dia dan keluarganya. Ada video Mala yang diambil tanpa diketahui perempuan itu saat sedang memasak, lalu terdengar suara cekikikan begitu Mala menoleh.

Kirana! Jangan videoin gue! teriak Mala dalam video itu.

Highlight itu penuh dengan cinta, Ferdi tahu itu, sebagaimana yang perempuan itu katakan. Bukan hanya sekadar menghalau distraksi, tetapi alasannya jauh lebih besar. Yaitu kecintaan Mala terhadap keluarganya.

"Tujuannya saya lebih kuat daripada sekadar menghalau distraksi, Pak.Yaitu orang tua, adik, dan terakhir prinsip saya untuk nggak pacaran."

Lagi, kalimat Mala terngiang di kepalanya. Ferdi berdecak, kepalanya berdenyut-denyut karena sesuatu menggedor-gedor hatinya. Serupa bisikan keyakinan yang halus, tetapi tegas. Apalagi yang akan Ferdi ketahui dari sosok Mala? Ferdi terus menonton video-video Mala lainnya. Membuatnya senyum-senyum sendiri.

Alasan kita dipertemukan waktu itu untuk apa, Mala? Bolehkah kalau saya mencari jawabannya lebih cepat daripada yang seharusnya? gumam Ferdi dalam hati, dengan mata yang tak beralih sedetik pun dari wajah Mala di video itu.

Seorang wanita setengah baya menghampiri Ferdi dan menepuk pundak pria itu yang tentu saja terkejut. Ferdi kemudian buru-buru mematikan tabletnya.

"Ibu, ngagetin aja."

"Siapa?" tanya wanita itu, membuat Ferdi menaikkan sebelah alisnya bingung. "Cewek yang kamu lihat di video tadi, siapa?" tanya ibunya Ferdi sekali lagi.

"Oh." Ferdi terkekeh. "Dia sekretaris baru Ferdi, Bu."

Wanita itu duduk di kursi satunya lagi dan mengulurkan tangannya pada Ferdi. "Tab kamu Ferdi, Ibu pinjem. Mau nonton juga." Mau tidak mau Ferdi memberikan tablet itu kepada ibunya.

"Anaknya manis banget. Pantes kamu suka, duh anak Ibu emang paling bisa," celetuk ibunya sembari menatap sang anak dengan senyum tulus. Ferdi mengangguk-angguk setuju, merasa bangga karena pilihannya selalu bagus, tidak pernah tidak, itu kenapa dia belum keluar dari kenangan lama. Atau sekarang mungkin sudah?

Eh sebentar, sepertinya ada yang salah? Ferdi baru saja mengangguk mengiyakan kalimat itu yang berarti ibunya tahu dengan mudah bahwa saat ini ia sedang menyukai perempuan? Ferdi membelalak dan tertawa lepas, kencang sekali, sampai perutnya sakit. Tawa itu sepertinya menular, karena sang ibu sekarang juga tertawa.

"Ibu tahu nggak kalau Ibu sekarang lagi curang?"

Wanita itu mengangguk-angguk. "Tahu dong." Ferdi terkekeh lagi dan menggeleng-geleng. "Tapi Ibu penasaran, kamu nggak pernah punya sekretaris yang tahan lama. Dia udah berapa bulan kerja sama kamu?"

"Dua bulanan."

"Lumayan. Udah berapa lama kamu suka sama dia, Fer?"

"Kok Ferdi merasa lagi di-interview ya, Bu?"

"Memang, sebelum di-interview calon mertua, tugas orang tua buat mastiin anaknya dulu."

Ferdi tidak bisa berkutik kalau sudah berhadapan dengan ibunya seperti ini. Tidak akan pernah, sebab hatinya saja sang ibu terkadang lebih tahu dari dirinya. Entah kekuatan magis apa yang ada pada diri setiap ibu. Luar biasa sekali.

"Sebenernya sejak ... ." Meluncurlah semua cerita Ferdi dari awal dia bertemu dengan Mala. Wanita setengah baya itu mendengarkan anaknya secara saksama, tanpa ada satu kata pun yang terlewat, sebab ini perkara serius, masa depan sang anak. Dia tidak mau anaknya salah mengambil jalan, tentu tidak dengan ikut campur, tetapi meminta mereka untuk memberitahu. Lalu tugas sebagai orang tua adalah memberi masukan, selebihnya, sang anak yang akan menentukan langkah mereka sendiri.

"Menurut Ibu, dia gadis yang baik. Ibu yakin kamu nggak akan salah memilih, lima tahun kamu lalui seperti seolah nggak akan menikah. Kamu sama abangmu itu hobi banget buat Ibu sakit kepala emang, kan? Nggak ada yang punya niat nikah."

Ferdi tersenyum miris. "Maaf, Bu."

Diambilnya tangan sang anak, dengan tatapan lembut, dalam, dan menenangkan wanita itu melanjutkan perkataannya. "Kali ini, Ibu berharap kamu lebih memperhatikan perasaan perempuan yang kamu sukai itu. Apa yang dia inginkan dari hubungan kalian, bukannya menuruti apa yang menurutmu baik aja. Karena semua kepala punya keinginan, kamu nggak bisa menganggap sudut pandangmu yang paling baik buat hubungan kalian. Ibu yakin kamu ngerti, Fer."

"Ngerti, Bu."

Ibunya Ferdi tersenyum puas, wanita itu berdiri dari duduknya dan mengembalikan tablet sang anak. Namun, belum genap tubuhnya menghilang dari pandangan Ferdi, wanita itu menengok ke arah anak bungsunya. "Oh ya, Fer. Nanti kamu belanja kebutuhan rumah ya, ambil memo yang Ibu tempel di kulkas. Sore juga nggak apa-apa. Anggep latihan jadi pria yang nggak berprinsip kalau belanja atau pekerjaan rumah tangga itu cuma tugasnya istri. Salah besar itu, itu tugas bersama. Oke?"

Ferdi mendesah pasrah lalu mengangguk. "Iya, Bu."

"Bagus, masih banyak yang perlu kamu pelajari. Tapi mending kamu belajarnya bareng perempuan itu aja kalau dia mau terima kamu." Setelah mengatakannya, sang ibu melenggang pergi meninggalkan Ferdi yang hanya mampu terdiam dengan jantung yang berdebar-debar. Dia baru ingat kalau belum tentu Mala mau menerimanya. Kenapa ia bisa lupa pada hal sepenting itu?

---

Selamat membaca dan semoga harimu menyenangkan, karena ini malam Minggu biasanya harinya lebih panjang daripada hari-hari lain, kan? (nggak tahu juga karena aku biasanya tetep tidur lebih awal)

11 Mei 2022/6.31 PM

Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang