Janji Enam

4.1K 277 3
                                    

"Pak, nanti saya boleh izin pulang cepet?" Mala sekarang sedang ada di depan meja kerja Ferdi.

"Harus ada alasan yang jelas, Mala." Ferdi menjawab dengan masih menandatangani berkas yang ia minta pada Mala untuk diperbaiki beberapa bagian tadi. "Kalau izin karena mau aja, maaf, tapi lebih baik kamu nggak minta izin, kan?" Usai menandatangani berkas itu, Ferdi mengangkat pandangannya dan menatap Mala.

"Kalau gitu saya ajukan alasannya, supaya tahu apa itu jelas atau tidak buat Pak Ferdi."

Ferdi mengedikkan bahu, lalu menyandarkan punggungnya dengan tanpa memutuskan pandangan mereka. "Try it."

Mala mengulum bibirnya sebentar. "Saya ulang tahun hari ini, ada acara di rumah dengan anak-anak yatim jam dua nanti. Saya udah berusaha buat bikin jadwalnya sesore mungkin, tapi anak-anak nggak bisa. Dan saya nggak mungkin cancel itu karena udah dijadwalin jauh-jauh hari." Mala mengembuskan napas pelan walau tidak ada rasa lega setelahnya. "Saya akan bawa kerjaan pulang kalau Pak Ferdi takut pekerjaan saya keteteran. Saya lembur dari rumah malam ini."

"Kamu ulang tahun?"

"Iya, Pak." Mala menjawab cepat. "Iya?" Dia baru sadar kalau Ferdi tidak mempertanyakan alasannya, tetapi justru mempertanyakan ulang tahunnya.

Ferdi melihat jam tangannya. 15 Maret 2019. "Nanti sore jadwal saya apa?" tanya Ferdi lagi. Mala membuka notebook yang selalu ia bawa bila masuk ke ruangan Ferdi.

"Jadwal Bapak selesai jam dua siang nanti, jam dua belas meeting dengan bagian produksi."

Ferdi mengangguk. "Oke, kamu boleh pulang jam dua belas. Siapin materi meeting-nya ya, taruh meja saya."

Senyum terbit di bibir Mala sampai Ferdi bisa melihat binarnya merambat ke mata perempuan itu. Ferdi terkekeh. "Nggak perlu makasih sama saya, Mala." Mendengarnya membuat Mala ingin berkata bahwa Ferdi percaya diri sekali, tetapi memang sih, selain percaya diri kadang-kadang tidak tahu diri juga. Seenaknya saja membuat hati orang berdebar-debar, kadang baik luar biasa, kadang menyebalkan tidak kalah luar biasa. Jadi perempuan itu hanya mengangguk-angguk sembari berlalu dari ruangan pria itu.

Setelah Mala keluar, Zidan masuk ke dalam ruangan Ferdi. Melenggang tanpa meminta izin. Namun, Ferdi tidak akan marah, tidak akan bisa, karena anak kunyuk satu itu—sebutan Ferdi pada Zidan—tidak akan peduli walau dimarahi sekalipun. Itu yang membuat Zidan bisa menjadi satu-satunya teman Ferdi di kantor, dia punya hati yang kebal.

"Gue cuma mau ngingetin nanti abis zuhur kita ada meeting." Zidan duduk di depan Ferdi, sekali lagi tanpa dipersilakan.

"Lo mau pindah posisi jadi sekretaris gue?"

Tawa Zidan meledak, humornya memang anjlok sekali. Bahkan nada serius, sarkasme, dan kasarnya Ferdi bisa membuatnya tertawa. Zidan mengangguk sekali. "Boleh. Biar bisa godain Pak Ferdi gantengnya kita ini."

Ferdi berdecih dengan wajah seram. Kalau orang lain, mungkin akan merasa bahwa Ferdi hendak melahapnya mentah-mentah. Berbanding terbalik dengan Zidan, bagi pria itu justru Ferdi sedang mengajaknya bercanda.

"Gue punya Mala buat ngingetin jadwal. Nggak perlu repot-repot ke sini atau jadiin itu alesan buat jalan-jalan nggak jelas," sindir Ferdi tepat mengena ke sasaran.

"Awh, sakit banget, Pak." Zidan memasang tampang manja-manja aneh.

"Jijik, Dan!" teriak Ferdi frustrasi. Zidan telah merusak bayangan indah Mala yang ia reguk tadi sebelum Mala keluar dari ruangannya.

"Ya udahlah gue balik aja, nggak dianggep di sini sama Pak Ferdi." Zidan berdiri dari duduknya, tetapi tidak jadi karena Ferdi memanggilnya.

"Kalau istri lo ulang tahun, lo kasih kado apa?"

Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang