Janji Sembilan

3.7K 252 7
                                    

Mala kini mengerti, kenapa setelah akad nikah cinta justru mekar dengan indahnya, tumbuh dengan suburnya, mengucur dengan derasnya. Tepat setelah kata sah meluruhkan segala kegugupan. Tepat setelah akad yang justru jantungnya semakin berdegup tak karuan. Terlebih, ketika Umi menuntun Mala keluar dari kamar selesai ijab.

Tangan perempuan itu gemetar, Umi sampai harus menahan tawa dan tangis sekaligus. Abah berdiri dan menuntun Mala, menyeka air mata yang satu dua masih menggantung di pipi perempuan itu. mendudukkan putrinya di samping pria yang kini telah menggantikan tugasnya sebagai penuntun Mala ke surga dan beribadah di dunia.

Mala menahan tangan Abah, awalnya, tak mau ditinggal seperti anak TK yang diantar ke sekolah pada hari pertama. Namun Abah tersenyum, mengangguk, dan melepas tangan anaknya dari pergelangannya.

Ferdi tersenyum pada Mala, mengulurkan tangan untuk dicium pertama kali oleh gadis itu. Sebagai lambang bahwa setelah ini, Mala akan berbakti sebagai istri. Ferdi mencium dahi perempuan itu lama. Berdoa yang baik-baik, bersyukur yang lebih-lebih, dan berharap ia mampu menjadi imam yang baik untuk Mala. Semoga dia dimampukan untuk mengimbangi jalan perempuan di depannya ini.

"Terima kasih, telah menerimaku menjadi suamimu." Ferdi membisikkan kata itu, tepat setelah Mala menyematkan cincin ke jarinya. Mala menunduk makin dalam. Ia malu dan senang, terlebih ketika Ferdi memakai aku kamu daripada saya kamu seperti biasanya.

--

Itu dua hari yang lalu saat akad nikah dan disusul resepsi sederhana. Saat ini, Mala dan Ferdi sedang mengangkat barang-barang mereka pindah ke rumah baru—yang rencananya akan diisi bersama dan dicat ulang sesuai warna kesukaan mereka. Iya, secepat itu mereka pindah. Bukannya menikmati malam di rumah keluarga Mala atau Ferdi. Ferdi bersikeras bahwa mereka harus lekas pindah setelah resepsi selesai.

Pria itu tidak ingin nanti saat masuk waktunya kerja rumah baru yang akan ditempati belum beres. Rumah yang sudah Ferdi siapkan beberapa tahun lalu ketika ibunya sudah berharap ia lekas menikah. Rumah minimalis dua lantai. Ferdi sudah meminta pada Mala bahwa ruang atas, sebelum mereka memiliki anak, dipakai sebagai ruang membaca dan ruang bekerja. Pernyataan yang hanya diangguki saja oleh Mala.

Mereka kini sedang duduk di sofa ruang tamu dengan wajah penuh keringat, matahari di luar sedang terik-teriknya, mereka memutuskan untuk beristirahat lebih dulu.

"Minumnya." Mala mengulurkan es teh kesukaan Ferdi. Lalu duduk di sofa, menempati bagian paling pinggir agar tak bersinggungan dengan lelaki itu. Iya, Mala masih secanggung itu. Sebab sejak ijab kabul selesai mereka sama sekali belum merasakan istirahat berdua. Hari ini pun saat istirahat berdua justru dipakai untuk membereskan rumah.

"Mala." Ferdi entah sejak kapan sudah berada dekat sekali di samping Mala. Perempuan itu tersentak dan berdiri tiba-tiba, Ferdi sampai mengernyit.

"Itu di dahi kamu ada sarang laba-laba." Mala ber-oh ria, mengusap rambutnya.

"Kita solat dulu ya? Nanti setelahnya baru saya masak." Ferdi diam, tetapi tak urung berdiri dari duduknya. Mala masih saja menggunakan saya kamu, padahal Ferdi sudah mencontohkan panggilan baik berupa aku kamu.

"Aku duluan yang mandi ya? Mau ke masjid sekalian kenalan sama bapak-bapak komplek." Selagi Ferdi mandi di kamar mereka, Mala menyiapkan baju Ferdi, kemarin pria itu meminta tolong padanya untuk memasukkan baju ke dalam koper. Jadi Mala tahu di mana letak kemeja dan sarung Ferdi.

Setelah itu ia bergegas mandi di kamar mandi dekat dapur. Menyegarkan badan yang kegerahan. Gerah sekali. Apalagi tadi saat Ferdi amat dekat dengannya. Selesai Ferdi mandi, pria itu mengetuk pintu kamar mandi tempat di mana Mala membersihkan diri.

"Nanti nggak usah masak, kita pesan makanan aja ya?" teriak Ferdi dari luar yang diiyakan oleh Mala.

Selesai salat, Mala memesan makanan sembari membereskan sisa pekerjaan. Berharap hari ini pekerjaan rumah sudah selesai semua, jadi dia masih punya satu hari libur yang semoga bisa untuk merebahkan diri seharian.

Marriage Is Not Easy, But Sometimes Funny (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang