Jace melangkah gontai di lorong marmer. Malam sudah larut, lampu-lampu dimatikan dan hanya menyisakan lilin-lilin. Jendela di samping kanannya membuat berkas-berkas cahaya bulan, terkunci rapat. Kamera pengawas di atap mengamati Jace, berputar-putar pelan tapi tetap mengawasi cowok itu.
Pemidainya menyala, mengkonfirmasi jika itu adalah tamu Odin, Jace Damian Harrison. Dengan begitu, kamera tidak menyalakan sirine darurat. Mereka pun berputar lagi, mengerjakan tugas mereka sambil memastikan Jace tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan.
"Sial, aku malah tidak bisa tidur. Padahal besok waktunya membeli peralatan sekolah dan berbagai keperluan lain. Jika besok aku sampai mata panda, bisa gawat."
Jace dengan linglung berjalan, tidak tahu ke mana tujuannya. Lorong ini terasa lebih panjang dibanding yang dia ingat, tapi dia sama sekali tak peduli. Kamar-kamar putra-putri Odin berada di samping kiri-kanannya, dan kamar Heinrich tepat berada di sampingnya. Jace tak menjalin hubungan dekat dengan anak Odin, tapi mereka berperilaku baik padanya. Setiap kali meminta bantuan, mereka akan meladeninya. Meski khirnya pun terjebak di kecanggungan luar biasa.
Jace mengingat perkataan Eternallife, dan seketika itupun berhenti melangkah.
Kenyataan bahwa dirinya diterima di sini sangat menyenangkan, sampai rasanya tak masuk akal. Jace tak ingat kapan merasa seperti ini, mungkin bertahun-tahun lalu. Di mana dirinya masih sangat kecil untuk mengingat sebuah perasaan.
Jace terlena dengan semua ini. Lalu melupakan Chloe.
Dia membenci sekaligus menyukai hal itu. Keduanya benar-benar seimbang, membuatnya kebingungan setengah mati. Apa yang dirasakannya sama sekali salah, tapi di satu sisi dia tak ingin keluar dari zona ini. Dia membenci dirinya sendiri, tapi tak bisa berbuat apa-apa untuk melawannya.
Kepalanya terasa pening, semuanya terlalu membingungkan.
Hati Jace sakit tiap kali mengingat Chloe. Itu sangat menyiksanya.
Jace mendongak, menatap kasau dan kamera pengawas yang memelototinya seolah bilang 'kenapa bengong, bocah?'.
"Salah, semua ini sangat salah. Mom ... bagaimana kondisimu sekarang? Di mana dirimu? Di mana –– aku?" Jace menelan kenyataan pahit jika berada di dunia yang sama sekali dengan dunianya.
Jace bernapas pelan, mengusap wajahnya yang kusut karena tak sempat cuci muka sebelum tidur. Dia merapatkan badan di balik piyama, mendadak sadar kakinya telanjang. Pantas saja daritadi dingin.
Tiba-tiba, Jace melihat sesosok bayangan melintas. Itu terlalu cepat, dan tak mungkin robot berpatroli dengan kecepatan seperti itu. Dia mengecek jam tangan, sudah pukul dua belas lebih, semua orang sudah tidur. Bahkan dia mendengar suara ngorok dari kamar Jordan, cowok berambut sebahu yang sangat pandai memakai senapan laras panjang. Kabarnya ia akan dikirim ke pusat militer beberapa bulan ke depan, dan ia pernah berkata pada Jace bahwa harapannya adalah menjadi Kolonel.
Penasaran, Jace berjalan cepat ke arah bayangan tadi pergi. Dia mencium aroma wewangian bercampur aroma semacam sesuatu yang terbakar. Dia tak asing lagi dengan aroma ini, jadi sudah memastikan bayangan tadi itu makhluk apa.
"Kenapa kau di sini?"
Sesosok pria berpakaian gelap dengan bercak-bercak darah dan beberapa robekan yang asal-asalan, duduk di bangku taman. Rupanya nyaris transparan, tapi tidak berpijar. Kesannya seperti ombak yang tenang, tapi Jace dapat melihat jelas rupa hantu itu.
Saat di Berlin, dia memang beberapa kali melihat penampakan hantu. Dia sudah biasa, dan sama sekali mengabaikan hantu-hantu itu. Toh, mereka tak mengetahui dia bisa melihat mereka. Saat awal-awal, tentu saja dia ketakutan sampai pingsan, tapi lama-kelamaan mengabaikan para hantu sedemikian rupa. Selama ini pula, para hantu tak pernah mengganggu, jadi dia tak perlu risau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mythology Universe (1) : HIRAETH
Ciencia FicciónAll Genre's :Mythic Fantasy, Sciene Fiction, Futuristic Era, Adventure, School Life, Paranormal. Sejak kecil, Jace Damian Harrison tak memiliki teman. Orang-orang menganggapnya pembawa sial, karena siapapun yang berteman dengannya sebagian besar se...