HIRAETH 19 : Kelas Delta-3

30 8 0
                                    

Kelas Delta-3 ada di lantai dua, di samping kamar mandi wanita dan auditorium. Satu sisi lorong adalah barisan jendela berkusen tegak horizontal, yang kesemuanya kini dibuka salah satu daunnya dan menyebabkan angin serta cahaya merangsek masuk. Beruntungnya ada deret pepohonan elm di luar sana, sehingga cahaya yang menerobos tidaklah banyak. Taman berpagar alami menghiasi depan sana, dengan bunga hyacintus dan elderberry.

Jace masuk bersama Altair dan Jeremy. Heinrich tadi pergi lebih dulu untuk menemui urusan Frigg. Irina, Estefan, dan Phoebe berada di kelas Delta-5.

Jace mengambil tempat duduk di baris ketiga, mengabaikan berbagai tatapan yang tertuju padanya. Heinrich masuk tak lama kemudian, mengambil duduk di sampingnya.

"Mereka tidak menyakitimu 'kan?" bisik Heinrich, berjaga-jaga karena Altair dan Jeremy ada di belakang mereka. Tampaknya mereka sendiri tak menaruh peduli, soalnya mereka sibuk membahas sesuatu.

"Tidak, mereka hanya menggertak."

"Syukurlah kalau begitu. Aku takkan diam kalau mereka menyakitimu." Heinrich melirik kedua anak itu sekilas, dan Jeremy yang bermulut tajam menyemburkan hinaan.

"Kenapa? Matamu seperti akan dicuri ayam saja." Altair tertawa singkat, mengundang umpatan dari Heinrich.

"Kau memang bajingan tengik." Heinrich berdiri, menggebrak meja Jeremy. Perhatian seluruh kelas tertuju pada mereka, meneguk ludah karena perseteruan anak-anak berstatus tinggi. Putri Dewa Inazagi, di depan sana, hanya memperhatikan tanpa melakukan apa-apa. Meskipun ia memiliki kuasa dan kehendak untuk melerai. Dibanding anak-anak lain yang lebih rendah, yang tak berani melakukan itu karena takut kena sambar petir atau lemparan sihir.

Alis Jeremy naik. "Kenapa, Heinrich? Kau marah karena aku pernah mengalahkanmu dalam duel antar demigod? Oh, aku masih mengingatnya dengan jelas. Tulang lenganmu patah dan kepalamu bocor. Tampangmu begitu menyedihkan."

Gelegak amarah dilingkupi sihir memenuhi Heinrich. Sihir itu melayang dan berputar, membuat pecah pulpen milik Altair. Jace kalang-kabut, bergegas mencekal lengan Heinrich sebelum amarah Heinrich semakin memuncak dan ia mengamuk. Namun, tenaga cowok itu lebih kuat daripada dirinya. Dia susah payah mengendalikannya.

"Lihat saja, Jeremy. Aku akan mengalahkanmu, pasti." Heinrich mendesis, seluruh mukanya merah seperti habis dijemur di pantai berjam-jam. Jeremy mengangkat dagu, Altair yang melihatnya menyunggingkan seringai tipis mengejek.

"Kupegang ucapanmu, Heinrich. Jika aku mengalahkanmu, akan kupastikan kau malu seumur hidup."

"Ada apa ini?" Seorang guru wanita memasuki kelas, pakaiannya disetrika secara licin dan menguarkan aroma lavender. Sanggul rambutnya naik terlalu tinggi, seperti gaya rambut pada tahun 80-an. Wajahnya sejuk dan tirus, dengan iris kuning gelap dan rambut merah gelap. Usianya barangkali empat puluh tahun, tapi jelas awet muda.

"Ms. Hikari Takasaki," sapa putri Izanagi. Mereka saling berkenalan karena berasal dari planet yang sama. Hikari Takasaki mengangguk singkat padanya, meletakkan tumpukan buku di meja guru.

"Jangan berbuat kekanak-kanakan. Duduk."

Heinrich dan Jeremy menurut.

Hikari berhenti di tengah ruang, tepat di depan papan tulis. Dia tersenyum ramah, seolah kejadian ribut tadi tak pernah terjadi. "Halo, semua. Aku Inari Takasaki, putri Dewa Inari. Dewa kemakmuran dan kesuburan. Untuk kelas ini sampai dua semester ke depan, aku akan menjadi wali kelas kalian. Dalam kelasku, ada banyak aturan yang perlu kalian patuhi."

Hikari menjentikkan tangan, seketika proyeksi muncul. Menampilkan berbaris-baris peraturan. Sebagian adalah peraturan sekolah, tapi sebagian lagi merupakan buatan Hikari sendiri. Sang guru menjelaskan aturan-aturan itu, menegaskan berulang kali bahwa dirinya tak menoleransi kesalahan sedikit pun.

Mythology Universe (1) : HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang