Dia mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen, merasa bosan. Mr. Bruce menjelaskan tentang teori atom di depan sana dengan perhatian penuh pada kelasnya. Papan tulis sudah penuh dengan coretannya sampai pusing melihatnya. Jujur, dia, bocah lelaki yang menyaksikan kematian seorang wanita parobaya di jalanan –– satu dari kesekian banyak kematian dari yang dia lihat ––, tidak menyukai pelajaran ini dari dulu. Ini membuatnya pusing. Dia bukan Isabelle Brown yang selalu mendapat medali saat olimpiade sains tahunan.
Cewek itu sangat pintar. Dia duduk di bangku depan sana, sibuk mencatat tiap penjelasan Mr. Bruce yang sekiranya penting. Rambut hitam obsidiannya dibiarkan tergerai di bahunya, menjuntai sampai ke pinggangnya yang ramping. Ada jepit di sana, menahan rambutnya supaya tak jatuh di depan muka; menghalangi jarak pandang.
Dia, yang duduk di pojok kelas –– tempat strategis untuk tak diperhatikan guru dan berdiam diri –– mengalihkan pandang ke jalanan Palm Street yang ramai. Toko Paradise Garden sedang pasa masa ramai-ramainya karena ada diskon. Kebanyakan orang di sana adalah sepasang kekasih, yang tertawa senang dan saling bermesraan.
Dia tak tahu bagaimana menganggapnya, tapi dia tak memiliki kekasih sejauh ini. Jangankan kekasih, teman saja tak punya.
"Jace Damian Harrison!"
Jace mendongak, mendapati tatapan murid sekelas tertuju padanya. Mr. Bruce melotot, kacamata bulatnya melorot, tapi dia tak berniat membenarkannya. Dia memakai kemeja kemarin, yang bernoda coretan tinta di berbagai tempat.
"Coba sebutkan apa yang kujelaskan tadi," pinta Mr. Bruce dengan penuh penekanan.
Jace mengangkat alis, melirik papan tulis sekilas. "Gelombang elektromagnetik?"
Mr. Bruce semakin melotot, sampai Jace khawatir matanya bakal dicolok ayam. Dia menunduk, bertindak seolah merasa bersalah, padahal tidak juga. "Maafkan saya, Mr. Bruce. Saya telah melamun di kelas."
Jace menunggu hukuman dikeluarkan dari kelas, tapi Mr. Bruce hanya melambaikan tangan. Guru itu kembali menerangkan, menganggap Jace bukanlah anak yang harus dia urus. Bahu Jace merosot, badannya bersandar pada kursi logam, kembali mendengarkan penjelasan Mr. Bruce meskipun agak ogah-ogahan.
Anak lelaki yang duduk di depannya, menoleh ke belakang dan menyeringai mengejek. "Hei bung, sedang memikirkan siapa yang akan mati hari ini?"
Jace menggertakkan gigi. Badannya merendah, matanya yang indah mengintimidasi anak itu. "Tutup mulut, D'Angelo. Urus saja pacarmu yang berselingkuh dengan Lucian."
Georgio D'Angelo, anak keturunan Italia itu melotot kesal dan mendengus. Jace menyeringai penuh kemenangan, menyaksikan Georgio D'Angelo membalikkan badan.
Matanya menelusuri kelas, menangkap jarum di jam dinding sudah mendekati waktu istirahat. Tidak ada yang memiliki aura kematian, baguslah. Semua teman-teman –– sejujurnya dia tak menganggap mereka teman, mengingat mereka nyaris tak menganggap keberadaannya –– tidak memiliki aura hitam yang membungkus mereka. Sepagian tadipun dia tak menemukan aura itu pada siapapun.
Jace terbiasa melihat aura kematian setiap hari, dan memilih untuk tak menghiraukannya. Dia cukup pintar untuk mengetahui bahwa takkan berujung baik jika mencampuri kematian orang itu. Dia tak bisa menghentikan takdir kelam itu, meskipun dia tahu jalannya akan seperti apa.
Dia tahu, pria yang ditemuinya di jalan kemarin, akan mati karena dibunuh anaknya sendiri.
Dia tahu, gadis yang dijumpainya dua hari lalu di kedai Burger King, mati karena dilecehkan para berandalan setelah ia mabuk.
Jace tahu penyebab kematian tiap orang lewat aroma mereka sebelum tragedi terjadi, beberapa kali dia salah mengartikannya sehingga sama sekali melenceng. Dia terkadang juga bingung karena dihadirkan oleh aroma asing, dan membutuhkan waktu untuk memecahkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mythology Universe (1) : HIRAETH
Fiksi IlmiahAll Genre's :Mythic Fantasy, Sciene Fiction, Futuristic Era, Adventure, School Life, Paranormal. Sejak kecil, Jace Damian Harrison tak memiliki teman. Orang-orang menganggapnya pembawa sial, karena siapapun yang berteman dengannya sebagian besar se...