HIRAETH 21 : Kelas Pedang

28 8 0
                                    

"Kau terlalu pendiam, itu masalahnya," tukas Jace. Menjauhkan makanan dari hadapannya. Sebuah drone mengambil itu, membawanya ke bagian dapur pencuci. Di mana, akan otomatis dibersihkan oleh mesin.

Kayna menyeringai pendek dan mengangguk. "Aku tak pernah bisa memulai percakapan, dan aku terlalu kaku untuk bersosialisasi. Aku benci keramaian, itu membuatku sesak dan pusing. Suara-suara yang masuk ke kepalaku terlalu berisik. Aku akan cepat kehilangan energi jika di antara keramaian itu."

Heinrich meminum kopinya, menatap atap kaca melengkung, di mana di luar sana terdapat sekelompok burung lewat. Camar, barangkali. Dia tak bisa memastikan karena terlalu jauh. Pagi yang suram, karena langit mendung dan suhu menurun sejak tadi pagi. Padahal masih musim panas, dan belum persiapan memasuki musim gugur. Itu masih berminggu-minggu ke depan, tapi rasanya musim gugur sudah ada di depan mata.

"Aku baru bertemu dengan orang berkepribadian seperti dirimu. Terlalu pendiam sampai cenderung mengarah ke cacat mental atau efek trauma. Maafkan aku bilang begini, aku sama sekali tak bermaksud menyinggungmu. Kau hanya mengingatkanku pada salah satu temanku," jawab Heinrich, menjaga suaranya tetap sopan untuk tak membuat Kayna tersinggung. Kayna jelas sama sekali tak tersinggung. Dia tersenyum, tapi itu terkesan miring. Seolah dia melatih senyumannya di depan cermin, tapi berujung canggung pada akhirnya.

"Itu benar, aku memang memiliki trauma. Itu sudah lama sekali, bahkan di saat diriku hanya mengingat beberapa kenangan."

"Berarti kau baru lepas dari fase balita," pungkas Flora. Hampir semua orang mengalami hal itu, di mana mereka hanya mengingat memori di luar fase balita. Justru akan aneh jika orang itu mengingat apa yang terjadi saat dia masih bayi.

Kayna mengangguk. "Saat diriku baru lepas dari itu, aku ditimpa kejadian memilukan. Aku tak bisa membicarakannya pada kalian. Kita baru berkenalan, dan aku tak seterbuka itu."

Mereka menerimanya dengan baik, tanpa mencela Kayna. Siapapun juga akan memilih untuk tak menceritakan hal seintim itu pada orang yang baru dikenal. Mereka takkan dapat menjamin orang itu dapat menjaga rahasia.

"Apapun itu, kau sudah bertahan dengan baik. Buktinya, kau berada di sini." Jace memberi penghiburan sementara dirinya sendiri tak paham apa yang dikatakannya.

"Aku hanya beruntung karena anak Dewi Tertinggi. Tapi yah, memang susah hidup tanpa teman." Kayna menyantap sarapannya dengan tenang, rambut perak yang kontras itu bersinar dan sangat mengagumkan. Takkan mengherankan jika Kayna menjadi pemilik rambut tercantik di Akademi. Perak adalah warna yang cukup langka, alhasil dirinya menjadi pusat perhatian bahkan saat anak-anak lain belum mengetahui kepintarannya.

Jace mengecek ponsel. Ada kelas berpedang di jam pertama, dia berdebar sekaligus bersemangat. Jam tangannya menunjukkan pukul tujuh lebih, alarm akan berbunyi sebentar lagi. "Baiklah, ayo ke kelas. Kita harus sampai sebelum Tuan Flavian. Dia sangat tegas. Aku tak mau dihukum, melihat dua anak yang disuruh push up lima puluh kali karena datang setelah beliau saja sudah menyeramkan."

Jace menyambar tas. Stefan menggantung di sabuknya, di balik sarung pedang indah yang dipermak oleh tukang. Heinrich menyeruput kopi sampai habis, mengencangkan sabuknya tempat Sean menggantung. Pedang yang terbuat dari logam terkuat itu memiliki gantungan kepala singa emas. Pemberian dari teman kecil Heinrich.

Miranda dan Kayna mengangguk. Perez dan Flora berpisah dengan mereka, menuju kelas masing-masing. Flora menggenggam tangan Jace, bersuara yang terkesan diimut-imutkan. "Jace, nanti saat makan siang kita semeja lagi, ya?"

"Ya." Jace menjawab sekenanya, melepas genggaman Flora agak kasar. Namun, Flora tak memedulikan itu. Dia tersenyum cerah, membuat para laki-laki merona. Seakan melihat malaikat jatuh dari langit.

Mythology Universe (1) : HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang