HIRAETH 24 : Perundungan

24 5 0
                                    

Kelas geografi dimulai selepas jam makan siang. Itu adalah kelas terakhir, dan sebagian siswa sudah kehilangan semangatnya. Padahal sudah makan siang, tapi yang ada di kepalanya mereka hanyalah kasur dan tidur. Selepas menjalani kelas berat berupa kimia yang mengharuskan mereka bereksperimen bersama dengan guru super galak. Terutama di pertengahan eksperimen, lab meledak dan berakhir mereka yang harus memadamkan api dan memperbaiki ruangan.

"Kepalamu sudah baikan 'kan?" tanya Heinrich. Dialah yang mengendalikan keadaan selama ledakan dengan mengeluarkan sihir air. Dibantu dengan anak Dewa Njord, mereka memadamkan dengan cepat.

"Ini bukan apa-apa." Jace mengeluarkan buku, meringis karena itu setebal buku kampus.

"Itu drone, dasar dungu. Telingamu bisa bermasalah andaikan benda itu mengenainya." Kayna, yang belakangan ini sering berkumpul dengan Jace dan Heinrich kini duduk di meja Jace. Tempat duduknya ada di depan sana, tepat di tengah baris pertama meja. Anak teladan tidak pernah mengambil duduk di belakang, begitulah katanya.

"Berhentilah mengomel, aku sungguh baikan. Tempurung kepala itu kuat, jadi jangan heboh seperti itu." Jace merasa payah dan kesal saat teman-temannya terlalu mempermasalahkan itu. Dia juga kesal pada Jeremy, tapi tampaknya mereka lebih parah. Mereka menyalahkan Jeremy dan Irina dan mengumpati mereka.

Kayna mengernyit. "Siapa juga yang heboh? Kau terlalu kepedean."

Jace megap-megap seperti ikan yang terdampar, mendadak malu. Heinrich mengalihkan pembicaraan. Cowok itu melirik bangku Jeremy dan Altair, di mana sang empu belum datang sampai sekarang. Mereka berdua biasanya memang datang mepet setelah jam makan siang.

"Kau berteman dengan Megan Hunter?"

"Aku hanya bertemu dengannya." Jace mengangkat bahu.

Heinrich menyangkal, "Kalian berbicara, banyak orang yang melihatnya. Kalian terlihat akrab."

"Jangan percaya pada rumor," tukas Jace.

Namun, Heinrich tetap tak menyerah. "Ke depannya pasti kalian berteman. Tapi mending menjauh saja darinya, kita tak tahu apa yang terjadi jika kau berteman dengannya."

"Maksudmu aku akan mati?" Jace menggigit lidah, tangannya meremas buku. Peta Vanaheim itu dipelototinya seolah dia punya dendam kesumat.

Heinrich akhirnya sadar jika dia menyinggung perasaan Jace. "Bu-bukan begitu. Maaf." Heinrich ingat kala Jace menceritakan dirinya yang selalu membuat kematian pada orang-orang terdekat. Heinrich berkata jika itu bukan salahnya, tapi kini dia malah menyinggungnya.

Kayna menelengkan kepala, tak paham sama sekali. Namun dia segera mengerti jika itu pasti berhubungan dengan kemampuan Jace.

Jace menutup bukunya, mengusap wajah kasar. "Cukup, Heinrich. Jangan membahas itu."

Heinrich menurut, mendadak khawatir keceplosan lagi. Dia memang tak memahami betapa frustasi dan kesepiannya Jace karena identitasnya, karena dia tak pernah mengalaminya. Heinrich bukanlah psikolog, tapi yang jelas Jace membutuhkan penyokong di di sisinya.

"Halo, semua!" Seorang guru yang memasuki usia dua tiga puluh tahun dan menjadi incaran calon istri paling diminati se-Ashford memasuki kelas. Para siswa dengan rapi duduk di tempat masing-masing, tersenyum cerah pada Arlene Blair. Siapapun menyukainya, selain karena pelajarannya selalu menyenangkan, juga karena paras cantiknya.

Belakangan, ia dipasang-pasangkan dengan Flavian. Murid-murid mendadak jadi makcomblang, dan serta merta mendapat hunusan pedang dari Flavian. Namun, tak ada yang menyerah. Bagi mereka, Flavian dan Arlene sangat cocok.

Jace berpikir, jika mereka menikah nanti, pasti tangisan para murid sudah cukup untuk menjadi danau.

"Oh, kalian dari mana saja, darling?" Jeremy dan Altair yang baru masuk tersenyum singkat. Kebiasaan Arlene adalah memanggil siapapun dengan sebutan darling. Pada awalnya, jelas murid Delta terkaget-kaget, tapi mulai terbiasa. Anak-anak Gamma mengatakan bahwa mereka tak usah terbawa perasaan, karena itu bakal ruwet.

Mythology Universe (1) : HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang