HIRAETH 9 : Di mana Bintangnya?

51 22 0
                                    

"Kau tak tampak baik, Bung. Ada apa?"

Mereka saat ini berada di salah satu ruang tamu Valksjaf. Setelah meninggalkan ruang singgasana Odin –– Jace akhirnya ingat jika singgasana itu bernama Hildskjalf, dan berpikir apakah semua yang ada di planet ini memiliki nama –– Heinrich berniat mengajaknya jalan-jalan. Namun Jace menolak, dia membutuhkan istirahat dibanding mengitari Valksjaf yang pasti super duper besar. Heinrich membawanya ke ruang tamu, melewati lorong di aula singgasana dan berhenti puluhan meter kemudian.

Jace menatap pendiangan, yang kini mati tanpa memiliki seonggok kayu pun. Pembatas mungil membatasi pendiangan, terbuat dari besi tahan panas. Ruangan ini berhiaskan lukisan kuno yang mengingatkan Jace pada abad pertengahan, dan atapnya yang rendah bermotif lukisan perang. Jendela menghadap Himinbjörg, berukuran sempit sampai hanya anak kecil yang bisa melewatinya. Karpet bulu domba di bawah Jace terasa lembut –– dia memakai sandal atas suruhan Heinrich. Badannya merosot di sofa.

"Entahlah, semua ini membingungkan. Aku sama sekali tak paham." Jace mengaku dan tersenyum miring.

Heinrich terkekeh, dia tengah menyisir rambut dan sebuah kaca kecil tergeletak di depannya. "Aku tahu. Aku melihatnya lewat kekuatanku. Kau sangat aneh, tak mengerti apapun. Bahkan tak tahu apa itu Eternallife."

"Apa kau melihat saat diriku belum meninggal?"

"Sayangnya tidak, aku mendapat gambaran masa depan hanya saat dirimu setelah meninggal. Gambaran-gambaran itu datang secara acak, aku tak bisa benar-benar mengontrolnya. Aku sempat melihat bahwa Loki bakal mencuri mead, Sif yang sibuk dengan rambutnya sebelum tak sengaja terinjak oleh putranya sendiri, atau bahkan niat keisengan Yang Mulia Freya yang mau menumpahkan tepung di muka saudaranya, Frey. Kau tahu, gambaran masa depan yang kuterima tak semuanya hal-hal penting, dan untuk mengontrolnya butuh usaha keras. Jadi, aku tak tahu apa yang terjadi sebelum kaumati."

"Apakah kau sama seperti Ibumu? Meskipun bisa melihat masa depan, kau tak bisa mengendalikan itu."

Heinrich meletakkan sisir dan mendesah. "Jace, jika aku bisa mengendalikan atau mengubah masa depan, itu akan berdampak sangat besar. Artinya aku akan melawan takdir, aku akan menentang waktu. Takdir adalah sesuatu yang tak bisa kita ubah, bahkan Eternallife. Jadi, aku memang tak bisa mengendalikan masa depan. Aku juga sama sekali tak berniat melakukannya. Aku tak tahu, apa yang akan terjadi padaku setelahnya. Apakah diriku akan hancur karena menentang takdir?"

Heinrich tersenyum pedih, Jace bertanya-tanya apa yang menyebabkannya begitu. Namun, sebelum dia bersuara, Heinrich lebih dulu menjelaskan. "Ayahku meninggal saat usiaku baru tujuh tahun. Aku melihat kematiannya dua hari sebelumnya, tertusuk pisau oleh Jotun. Ayah pergi dalam ekspedisi ke Jotunheim, aku tahu hal itu sangat berbahaya. Aku gegabah, menghubungi Ayah dan memberitahukan hal itu. Ayah bilang dia akan berhati-hati, tapi percuma. Dia mati, pada akhirnya. Aku terserang batuk darah dan demam tinggi karena berani menentang takdir. Skuld, dewa pemegang takdir masa depan, mendatangiku di mimpi dan mencemoohku."

"Lalu?"

"Ibu mendengar kabarku, dan ia memilih membawaku ke Fensalir. Itu adalah keberuntungan tiada tara, mengingat sebagian besar dewa-dewi tak memedulikan anak mereka. Tapi aku tahu betul, Ibu tak mengambilku karena dia menyayangiku. Dia tahu potensiku, dan ingin memanfaatkannya."

"Apa ... kau tak keberatan?"

"Untuk apa aku keberatan? Itu hal biasa. Yang harus kulakukan adalah membuat Ibu bangga dan mempertahankanku. Itu saja. Aku tak boleh membiarkan putra-putri Ibu yang lain memenangkan persaingan ini. Aku mempertahankan posisi putra kesayangan Ibu itu dengan susah payah, jadi aku takkan membiarkan anak lain merebutnya." Heinrich tersenyum dan tertawa seolah itu bukan apa-apa. Jace di satu sisi merasa asing.

Mythology Universe (1) : HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang