Prolog

175 42 4
                                    

Seorang anak lelaki yang duduk di stasiun di kota Berlin menoleh ke ponselnya ketika benda itu bergetar dari dalam tasnya. Dia membuka ponsel, menemukan pesan SMS dari Momnya. Dia membaca cepat, uap napasnya menghembus di udara yang dingin. Dia merapatkan badan ke jaket, berharap menemukan sedikit kehangatan dari sana.

Namun dia hanya menemukan kehampaan. Jaket itu tidak membantu. Dia membutuhkan sesuatu yang lebih hangat, seperti cokelat dan selimut. Oh, rumahnya memiliki pendiangan di ruang keluarga. Pendiangan yang di atasnya berisi mainan pesawat remote control yang dia beli dua tahun lalu. Mainan itu sudah usang, dan dia bukan anak kecil berusia delapan tahun lagi.

Dia harap bisa bergegas pulang dan melemparkan diri di dekat pendiangan. Mom akan memeluknya dan mulai menceritakan hal-hal acak.

Tunggulah sebentar lagi, Mommy. Ini sedang hujan, dan belum ada bus yang lewat. Mungkin aku sampai di rumah saat jam dua, dan oh ... sekolahku baik. Banyak hal menarik terjadi hari ini.

Dia mengirim pesan itu, kemudian memasukkan ponsel ke tas. Dia menyeringai tipis, memandang jalanan dengan tatapan kosong. Jika menyaksikan Justin yang dikejar anjing adalah hal menarik, itu pantas disebutkan, batinnya.

Kesibukan kota Berlin tidak dihiraukannya sama sekali. Hujan yang mengguyur kota semakin deras tiap menitnya, langit berwarna kelabu gelap suram. Jalanan kota Berlin tidak terlalu ramai karena hujan, hanya ada beberapa mobil yang berlalu-lalang dan melaju sehati-hati mungkin karena licinnya jalanan, bahkan ada yang melaju layaknya siput. Dia memperhatikan, itu jelas mobil baru. Pemiliknya pasti enggan membuatnya lecet.

Orang-orang yang berteduh di kiri-kanannya memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Tak peduli satu sama lain, hanya memainkan ponsel sambil sesekali melirik hujan. Kebanyakan dari mereka adalah anak sekolah yang baru pulang. Pakaian mereka setengah basah, tapi bukannya merengut, malah tertawa. Menikmati sensasi berlarian di tengah hujan.

Dia melirik sorang anak SMA yang memiliki rambut kelabu menjemukan. Entah apa motivasi untuk mewarnai rambut sedemikian rupa, tapi dia melihat rambut itu sudah bercabang-cabang di bagian ujungnya. Cewek itu cekikikan sambil mengetik sesuatu di ponsel, barangkali itu pesan dari pacar.

Dia mengernyit, suara cewek itu mengingatkannya pada Mrs. Camille.

Sejurus kemudian, dia menegang. Sebuah aura tak asing melewati dirinya, berwarna hitam dan berpusing seperti kabut. Aura yang memiliki aroma seperti hujan dan asap knalpot. Kadang dia mencium aroma bangkai tikus, dan sama sekali mengerti kenapa orang-orang memiliki aroma yang berbeda-beda.

Dia sudah sering menciumnya, dari orang-orang yang dikenalnya maupun tidak. Orang-orang yang tak sengaja berpapasan dengannya di jalanan, yang sama sekali tak memperhatikan eksistensinya karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.

Dia meneguk ludah, sekujur tubuhnya mendadak sekaku patung. Iris matanya yang merupakan percampuran merah dan hijau laut memperhatikan tiap gerik pemilik aura.

Itu adalah wanita parobaya, yang mengenakan setelan blus dan bawahan ketat. Tas pinggang tersampir di bahunya, di mana ia mengacak-acak tas itu, sedang mencari sesuatu dari sana. Ia menggumankan sesuatu, bocah lekaki itu menajamkan telinga, dan menemukan ternyata si wanita mendumel tentang suaminya. Ia tampaknya membenci suaminya.

Dia terus memperhatikan, bahkan wanita itu tak mengetahuinya sama sekali. Melihat aura ini bukan berarti dia terbiasa, dia seringkali didera mual, pusing, dan mau menangis. Kadang dia akan meringkuk di ranjang, memikirkan nasib orang yang memiliki aura itu.

Dia memeluk tas dengan sangat erat, matanya menelisik tiap sudut. Kakinya gemetar, berharap bisa keluar dari situasi ini secepatnya.

"Haah ... sialan. Alan, kau memang tak becus. Aku harap bisa bercerai denganmu secepatnya!"

Dia mendengar wanita itu mengumpat. Wanita itu berjalan menerobos hujan, pakaiannya seketika basah kuyup. Dia menahan napas, oksigen seolah terenggut darinya dalam waktu sedetik. Kerongkongannya mendadak kering, padahal dia ingin berbicara walaupun sepatah kata saja.

Sebuah mobil van melaju dengan kecepatan tinggi dari arah timur, lampu depannya tak menyala, dan ia meliuk-liuk di jalanan aspal. Mobil itu mengalami rem blong, pemiliknya bersusah-payah mengendalikannya. Wanita itu terlambat menyadari keberadaannya, alhasil hanya menjerit pasrah di tengah jalan.

Sebelum akhirnya jeritannya teredam oleh sebuah tabrakan. Suaranya demikian keras, wanita itu menghantam pembatas jalan. Orang-orang menjerit tertahan, menyaksikan kala kepala wanita itu hancur. Darah mengalir deras dan bersatu dengan air hujan. Membuat warna merah pekat, di mana bau anyir merebak ke udara.

Dia akhirnya menguasai diri dan memelesat pergi dari terminal itu. Membiarkan hujan mengguyurnya, membiarkan gigil dingin menguasai tiap inci tubuhnya.

Hujan dan asap knalpot.

Wanita itu mati dalam kecelakaan dan saat hujan.

Dia mengetahuinya dengan persis, bahkan sebelum insiden terjadi.

*****

Mythology Universe (1) : HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang