"Sialan!!"
"Dasar tua bangka! Duda lapuk! Buaya buntung! Pria kesepian! Pria freezer!"
"Belum tahu aja dia gimana rasanya seorang Jennifer Houston. Belum tahu pesona gue tuh aki-aki. Aaaaarrrrgghhhh!!! Sial sial sial."
"Berani-beraninya dia menilai gue. Menghina gue. Bandingin gue sama pelayan. Helllloooo... itu pelayan. Sedangkan gue? Gue pewaris tunggal pabrik keramik terbesar se-Indonesia!! Gila aja tuh nyamuk belang bandingin gue nggak kaleng-kaleng. Mending gue kemana-mana lah!"
"Coba lihat gue, dari atas bawah depan belakang kanan kiri semua perfect. Sedangkan cewek tadi? Baju aja nggak level sama gue. Jangankan baju. Jepit rambutnya aja paling dua rebuan! Bisa buat turun gigi gue."
"Aaarrrggghhh."Jenni terus mengomel semenjak memasuki rumahnya. High heelsnya menimbulkan suara keras seiring dengan langkah kesalnya. Wajah cantik yang tadi penuh senyum sekarang berubah menjadi kesal dengan rambut awut-awutan. Terlalu kesal, rasanya Jenni ingin mencekik pria itu.
Memasuki kamarnya lalu menutup dengan membanting pintu hingga menimbulkan suara bedebum yang kencang. Melemparkan tas yang ia bawa ke sembarang tempat. Tak cukup sampai situ, Jenni menghempaskan tubuhnya ke ranjang hingga jatuh telungkup.
Masih teringat jelas perlakuan orang tua pacarnya yang dengan jelas memperlihatkan ketidak sukaannya. Jika tidak suka, oke, Jenni bisa menerima karena setiap orang berhak untuk itu tapi membandingkan secara langsung di mata telanjangnya dengan dia masih disana, bukankah itu sangat keterlaluan?
"Jika pramusaji itu lebih baik, Papa setuju dia yang jadi pacar kamu atau langsung nikahi saja. Dia lebih berkelas.”
Berkelas katanya? Hah, Jenni tertawa sinis. Bisa-bisanya mantan calon mertuanya itu menyebut seorang pramusaji berkelas. Apa pria itu tidak tahu berapa kekayaannya? Berapa digit angka di atm nya? Berapa kartu atm di setiap bank? Apa perlu dia memakai kacamata tembus pandang untuk sisi lain seorang Jennifer Houston?
Jenni memukul-mukul bantal kesal. Dengan posisi tertekuk dan wajah yang terbenam di bantal ia menyalurkan kekesalannya. Baru kali ini ia ditolak mentah-mentah. Dihina dan dicaci maki di hadapannya secara langsung.
Dering ponselnya membuat ia menghentikan kegiatan memukul bantal. Beranjak mencari benda pipih yang berbunyi tanpa henti. Tersenyum begitu melihat siapa nama penelpon. Digesernya warna hijau lalu menempelkan ke telinga.
"Halo, Lun," jawab Jenni tersenyum. Laluna Adhisti adalah sahabat dekatnya yang hingga kini tidak tertular kekayaannya.
"Gue suntuk. Ke rumah lo, boleh?"
"Jangan!! Maksud gue, jangan kesini. Kita ketemuan di kedai makan langganan aja. Gue lagi pengen yang pedes-pedes."
"Wah sip tuh buat menyalurkan kemarahan."
"Nah, itu tau. Oke, gue otw."
Jenni kembali mengambil tas yang tadi dilemparnya. Membenahi dandanan dan make up lalu berangkat.
Tidak sampai setengah jam Jenni sudah sampai di kedai makan langganannya. Suasana korea langsung menyambutnya. Meja bawah dengan duduk di bantal. Segera ia mencari tempat duduk dan memesan makanan super pedas dan pilihannya jatuh pada kimchi, dakbal dan tteokbokki.
Ketika akan menyuapkan makanannya Luna datang dengan senyum mengembang, tapi kening gadis tersebut langsung bertumpuk saat melihat sajian di meja. "Lo sehat, makan segini banyak? Mana pedes semua." Luna duduk dan memanggil pramusaji.
"Mending gue makan ini daripada gue makan orang. Dari tadi tuh, gue pengen makan orang bawaannya," jawab Jenni cepat. "Pengen ngunyah terus nelen."
"Bukannya lo musti seneng tadi ketemu sama bokapnya Adit?" tanya Luna memastikan. Pasalnya tadi malam Jenni cerita akan berkenalan dengan calon mertuanya itu.
"Gue ditolak."
"Apa?!?!"
"Tuh, kan. Lo aja nggak percaya. Apalagi gue yang denger sendiri. Gila tuh orang. Udah tua, duda pula! Pengen gue cekik aja," kesal Jenni. "Nafas, Lun. Sialan, lo. Julid banget tuh muka."
"Ini bukan julid, Jenni. Ini muka kepo. Pengen tahu ceritanya lo ditolak," ucap Luna sambil menunjuk wajahnya. Ikut kesal.
"Pengen banget lo tau? Tega lo sama wajah nelangsa gue?"
"Bukan itu maksud gue, Jen. Elaahh nih anak. Maksud gue tuh mau bilang kayak gini 'lo aja yang cantik, seksi bahenol dan kaya tujuh turunan delapan tanjakan aja ditolak. Apalagi gue?' Gue mau bilang kek gitu. Makanya gue penasaran banget," jelas Luna.
"Jangan ambil ceker gue!" sengit Jenni. "Pesan sono. Gue bayarin!"
Jenni bercerita dari awal hingga akhir. Dari ia bertemu dengan mantan calon mertuanya hingga penolakan itu. Dari kedatangan pramusaji dan jawaban mengerikan itu. Semua cerita mengalir apa adanya tanpa ada mampet atau macet manja.
Tak terlewatkan kemarahan dan emosi Adit yang ikut dikeluarkan saat penolakan itu terjadi. Meski ada pembelaan dan rasa tidak terima dari pacarnya tapi itu semua tidak merubah keputusan sang Papa. Hingga pulang dan tak ada kata apapun diantara keduanya.
"Gue penasaran, secakep apa sih bokapnya Adit. Sampai nolak lo kek gitu," kesal Luna.
"Cek aja di google."
"Emang ada?"
"Kalau dia beneran orang kaya pasti ada."
Segera Luna mengambil ponselnya dan mengetikkan nama mantan pacar sahabatnya. Dengan cepat benda pipih itu memberikan informasi yang ia butuhkan. Bukan hanya asal usul dan silsilah keluarga tapi juga kepribadian dan sifatnya.
"Woahhh, ganteng banget! Lo yakin dia bokapnya Adit?" Menatap wajah Jenni yang melotot kesal, Luna nyengir. "Maksud gue, dia terlalu ganteng dipanggil bokap."
Jangankan Luna, Jenni sendiri juga heran! Sebenarnya dibalik kekesalannya ada beribu rasa penasaran yang ia simpan. Sikap tegas, wajah tampan dan keren, tubuh proporsional, bahu lebar dan otak cemerlangnya beda jauh dengan mantan pacarnya. Padahal mantannya itu anaknya, sperma dia harusnya sama, kan? Tapi ini tidak.
Alih-alih kesal ditolak karena batal jadi calon menantunya, Jenni lebih kesal pada pemikirannya sendiri. Iya, ia sempat berfikir apa jika ia mendekati duda lapuk di hadapannya ini ia akan ditolak juga? Sialnya pikiran bodohnya itu terus membayang. Karena secara tidak langsung pria kesepian itu sudah menolak dirinya sebagai calon menantu juga wanita dewasa. Sial sial sial.
"Kenapa muka lo asem gitu?" tanya Luna menyadari kekesalan Jenni.
Jenni mendengkus mendengar pertanyaan sahabatnya. Apa ia tidak tahu kalau secara tidak langsung memuji pria yang menghinanya? Tapi juga ia kagumi?
"Tapi gue beneran soal bokap si Adit ini cakepnya idaman semua cewek. Gue nggak bohong. Diluar semua omongan pedas dan nyablaknya, gue terpesona," jelas Luna. Meminum jusnya sebentar, "gue ada ide."
"Apa?"
"Tapi janji dulu."
"Nggak, ah. Ide lo bahaya."
"Tau dari mana?"
"Mata lo ada apinya, Lun."
"Sialan lo."
"Ahahahahah canda, Lun. Ide apa?"
"Deketin bokapnya Adit. Bikin dia klepek-klepek sama lo sampe dia ngemis cinta sama lo. Kalo udah kejadian gitu, tinggalin."
"Lo gila?!?!?!"
"Yaa ... gimana lagi. Biar dia tahu rasanya ditinggal pas sayang-sayangnya."
Hai hai hai....
I'm back.Ini sequel dari cerita "Love you calon Ceo" kalo yang disana anaknya, maka disini bapaknya. Si duda lapuk yang kerennya nggak kaleng-kaleng.
Dan karena ini sequel maka, up nya beriringan ya. Tapi meski nggak dibaca barengan juga gak papa sih nggak maksa, but thanks so much yang mau baca keduanya hihi.
Selamat membaca dan maafkan typo ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
Merenggut Cinta Calon Mertua
RomanceDitolak calon mertua tidak membuat Jenni mundur atau berkecil hati. Perempuan itu malah maju dengan keyakinan dan tekad sekuat baja untuk meluluhkan hati sang calon mertua yang kebetulan duda. Lantas, seperti apa perjuangan Jenni? Bagaimana reaksi...