Hari pertama

2.6K 109 52
                                    

Jenni menatap kesal Arya selaku bosnya mulai hari ini. Tatapan penuh permusuhan dan pertengkaran diberikan khusus pada bosnya yang mungkin akan berubah lembut atau jinak merpati jika dia khilaf. Tidak ada kata damai sama sekali. Seharusnya kemarin ia menolak permintaan maaf Arya dan tidak datang ke kantornya hari ini. Harusnya. Aargghh, sial!

Namun, apa mau dikata mulut dan hatinya berbeda. Tubuh dan bibirnya mengatakan tidak. Buktinya, mulutnya berkata menyesal, tapi lihatlah tubuhnya sekarang sudah ada di sini. Di kantor Arya dan satu ruangan dengannya.

"Kenapa kursi saya ada di ruangan bapak?" tanya Jenni dengan tatapan menyelidik. Raut wajahnya masih marah.

"Supaya kita mendapatkan chemistry," jawab Arya asal. Pria itu terlihat sangat tampan dengan kemeja hijau dan jas hitam. Tak lupa dasi yang senada dengan warna kemeja yang lebih gelap.

Jenni tertawa sangsi. Apa pria itu sadar apa yang dikatakannya? Chemistry katanya? Ya, kali mereka sedang bermain film layar lebar.

"Maaf, uangku terlalu banyak untuk main sinetron." Jenni masih berdiri. Sebenarnya kakinya capek karena terus berdiri seperti tiang listrik. Tapi, apa mau dikata, Arya belum mempersilakan duduk dan harga dirinya mau di taruh mana?

Arya tertawa lepas. Sepertinya menerima Jenni di kantornya tidak sepenuhnya buruk. Buktinya ia selalu berhasil membuat Arya tertawa dengan perkataan kasar tapi terdengar lucu di telinganya.

"Jenni Jenni ... chemistry bukan hanya untuk bermain film. Sebagai bos dan sekretaris juga harus ada chemistry supaya pekerjaan bisa berjalan dengan baik."

"Aku tahu tugasku. Bapak perlu tahu itu."

Jenni mulai menggerakkan kakinya. Rasanya kram karena terlalu lama berdiri. Belum lagi sepatu dengan hak tinggi yang dipakainya membuat semakin cepat lelah. Sial. Kenapa pula duda tua itu tak menyuruhnya untuk duduk?

"Kenapa kamu masih berdiri di sini?" Arya bertanya sembari memiringkan kepala dan satu alis yang terangkat tinggi.

"Ha?"

"Kamu yang bilang kalau tahu tugasmu, bukan?" Jenni mengangguk. "Jadi kenapa kamu tidak kembali ke kursimu?"

"Apa Bapak tidak merasa sempit jika saya berada di satu ruangan dengan Anda?" tanya Jenni mengedarkan pandangan. Menyapu seluruh ruangan dengan matanya.

Satu set sofa di sebelah kiri, meja dan kursi bossnya berada di tengah ruangan. Lemari dan rak buku berada di belakang sofa. Terakhir meja Jenni yang berada di sudut sebelah kanan Arya.

"Tidak. Saya malah merasa lebih segar dan nyaman," ujar Arya dengan senyum manis. Ada dimple di pipi kanannya yang baru disadari Jenni. Terlihat semakin menawan.

"Permisi, Pak. Saya akan duduk di kursi saya," ucap Jenni beranjak dari posisinya tadi.

Sebenarnya alasan Jenni  duduk bukan karena kakinya yang capek, tapi Arya yang berjalan ke arahnya. Ia takut dengan detak jantungnya yang cukup berisik mampu terdengar jelas oleh Arya. Malu dong, masa baru mulai berperang sudah kalah telak duluan?

Hello ... ini Jenni lho! Yang bahkan ia belum turun dari mobil saja sudah banyak pria yang menatapnya dari kejauhan. Jadi, ia tidak boleh kalah dengan pesona duda yang sudah menolak dan mempermalukannya.

"Jadi, tugas pertama saya apa, Pak?" tanya Jenni dengan jari membuka map di depannya. Mempelajari apa saja yang harus dilakukannya. Ia tidak bohong tentang tahu tugas sekretaris, hanya saja ia tidak tahu apa saja hal yang dilakukan bosnya itu.

"Katanya tahu?" Wajah Arya berada lima sentimeter di depan Jenni yang masih sibuk.

"Tapi saya tidak tahu info apa pun mengenai pekerjaan Bapak," jawab Jenni sambil mendongak. Ia menahan nafas saat mendapatkan wajah Arya tak berjarak dengannya. Mata kedua orang itu saling tatap. Seolah takut kalah jika berkedip.

Hingga beberapa saat keduanya masih terdiam. Tak ada yang berinisiatif untuk memutus tatapan juga jarak wajah itu. Arya mengulas senyum tipis melihat mata jerni Jenni. Ia baru sadar ternyta Jenni sangat cantik jika dilihat dari dekat seperti ini. "Selamat datang di Arya's corps," ujarnya dengan senyum begitu menawan.

"Ii-ii-iya Pak." Jenni menjawabnya dengan terbata. Tersihir oleh senyum Arya. Sial!! Apa boleh dia mundur? Disini ia bisa mati dengan cepat karena debar jantung yang menggila.

"Kamu bisa menanyakannya pada Heri. Dia mengetahui segala sesuatu tentang saya. Termasuk apa saja yang saya suka dan tidak." Arya berjalan menuju kursinya. Pria itu kembali duduk lalu sibuk dengan dokumen di atas meja.

Jenni terlalu sibuk memandangi Arya yang terlihat semakin tampan saat sedang serius seperti saat ini. Perempuan itu meletakkan tangannya di atas meja supaya bisa menumpu dagunya untuk mempermudah mengamati wajah Arya.

"Saya membayar kamu untuk bekerja, bukan untuk menatap saya," tegur Arya dengan suara tegas. Matanya sibuk mempelajari dokumen. Tidak lama setelah itu beralih pada laptop di depannya.

"Eh." Jenni yang tertangkap basah hendak membuka laptop, tapi urung karena mendengar Arya berbicara.

"Saya tidak suka makanan pedas. Saya juga tidak suka makanan yang berminyak, mengandung santan dan makanan yang manis. Itu semua tidak baik untuk kesehatan," jelas Arya dengan wajah yang masih fokus pada layar laptop di depannya.

"Kalau udah tua, ya tua aja, sih. Pake alasan nggak suka makanan begitu. Kan aslinya emang nggak boleh kalau umur segitu," gumam Jenni dengan wajah yang sedikit julid.

"Saya mendengar ucapan kamu, Jenni."

"Hah? Memangnya saya bicara apa, Pak?" Jenni tersenyum kaku. Ada raut takut di wajahnya tapi ia kembalikan netral dneegann alasan lain. "Saya akan menemui Pak Heri untuk tahu pekerjaan saya, Pak."

Tanpa menunggu jawaban, Jenni keluar ruangan itu. Bernafas lega ketika berhasil menutup pintu tanpa ada perdebatan lagi. Mengepalkan tangan dan bergerak ingin meninju pada pintu kayu yang tertutup rapat. Mulutnya juga ia bentuk seperti bebek  karena sedang nyinyir.

"Haduuhhhh! Ini semua salah Luna pokoknya. Nanti kalau gue pulang, gue suruh pijitin badan gue tuh anak. Nggak ada ampun!" Jenni meremas rambutnya sehingga terlihat berantakan.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Heri dengan wajah penasaran. Ia sangat kaget dengan perilaku Jenni yang tiba-tiba keluar dari ruangan bossnya disertai teriakan juga wajah marah. Belum lagi umpatan dan kata kasar yang ia gumamkan.

Heri masih menatap Jenni dengan alis yang terangkat sebelah. Pria itu menanti jawaban perempuan yang menjabat sebagai sekretaris bossnya itu.

Sebenarnya ada hal yang sangat ingin Heri tanyakan pada Arya yaitu tentang keputusannya yang tiba-tiba ingin menjadikan Jenni sebagai sekretarisnya. Karena yang ia tahu selama ini, bossnya itu tidak pernah cocok dan mau mencari seorang sekretaris. Katanya malas, perempuan itu rumit.

Jenni nyengir sebelum menjawabnya, "toilet sebelah mana ya, Pak?"

"Di ruangan Pak arya ada."










Jenni lucu ya kalau kesal wkwkwkwk

Maaf beribu maaf. Bukan saya menghilang dan melupakan. Saya sibuk nulis juga sebagai ghost writer. Maaf.

Saya sedang berpikir keras, bagaimana caranya dapat cuan dari hobi saya? Tapi tidak memberatkan kalian semua?

Jadi, saya berencana menulis di Fizzo. Disana saya dapat cuan dan kalian tetap bisa menikmati tulisan saya dengan gratis. Itupun kalau kalian setuju. Kalau nggak, ya sudah tetap di sini.

Merenggut Cinta Calon MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang