"Welcome, Jenni!"
Arya menyambut Jenni dengan senyum iklan pasta gigi yang terlalu lebar, mungkin bisa robek bibirnya juga kering giginya. Pria itu seolah pamer kerja kerasnya menyikat gigi setiap hari. Merentangkan tangan seperti menyambut dengan hangat. Membuat suasana menegangkan itu berubah menjadi menyenangkan. Tidak berhasil.
"Apa maksud, Om?" tanya Jenni sinis sambil menggebrak meja kebanggan milik Arya yang dibeli satu set dengan kursinya. Tangannya panas dan merah. 'Sial, ini mejanya yang terlalu keras atau tangan gue yang lembek, sih?' batin Jenni.
"Om?? Kita partner kerja, Jenni. Kamu sekretaris dan saya boss-nya," tegas Arya. Menyamankan posisi duduknya. "Jadi, bagaimana?"
"Bagaimana?" tanya Jenni. Mengulang pertanyaan Arya, setengah tidak terima dengan pertanyaannya. "Apa Om tahu? Tingkah Om itu kekanakan sekali. Tidak mencerminkan sikap seorang Bos! Cih, bisa-bisanya nyuruh ngelamar ke semua kafe dan kantor cabang. Mau pamer atau sombong?"
Arya tertawa kecil. Baginya tingkah Jenni sangat lucu. Sama seperti Adit jika sedang kesal. Dua manusia dengan umur yang sama tapi beda jenis dan tingkah yang sama. Membuat Arya tersenyum geli dalam hati. Karena tak mungkin mengungkapkannya secara terang-terangan.
"Bukan pamer, Jenni. Tapi itu lebih ke pengenalan buat kamu. Ya, anggap saja supaya kamu bisa tahu cabang milik saya berada dimana saja sehingga memudahkan pekerjaan kamu nanti."
Jenni mendengkus mendengar penuturan Arya. Perempuan itu sudah terlanjur kesal pada Arya. Image Arya yang sempat membuat Jenni meleleh dan menghirup aroma fans berat luntur seketika karena sikap Arya yang dianggapnya childish.
"Ah, satu lagi. Jangan panggil saya Om. Kita tidak hubungan saudara sama sekali. Hubungan kita hanya bos dan sekretaris tidak lebih. Ingat itu."
Jenni mendelik mendengar pernyataan Arya. Satu hal lagi yang Jenni tahu, ternyata selain menyebalkan, bossy dan childish, Arya juga pandai membuat lelucon. "Seharusnya Om daftar pelawak jangan jadi, Bos."
"Mau kemana kamu?" tanya Arya saat melihat Jenni melangkah akan pergi. Kakinya menuju pintu yang terbuka sedikit karena memang tadi tidak ditutup rapat oleh Jenni. Maklum, ia terlalu menggebu dalam merealisasikan amarahnya.
"Pulang."
"Lalu, pekerjaan kamu?"
Jenni berbalik menatap Arya yang kini masih duduk santai di kursinya dengan punggung bersandar di sana. Menatap dengan sorot marah karena lelah juga karena merasa dipermainkan. "Saya tarik lamaran kerja saya! Anggap saja saya tidak pernah melamar pekerjaan di sini atau menginjakkan kaki di sini!"
Mendesah kecewa, Arya balas menatap sorot mata itu dengan lembut. "Padahal saya sudah menolak banyak lamaran kerja untuk kamu."
Jenni tertawa sumbang mendengar penuturan Arya yang terdengar merajuk. Perempuan itu maju hingga kini berhadapan dengan Arya lagi. Menatap menantang tanpa takut apapun. Jika bukan karena Luna dan rasa kagum karena ketampanan pria itu dahulu, ingat! Dahulu. Ia tidak mungkin disini. Di tempat yang banyak membuat ototnya menegang.
"Saya juga menolak banyak hal untuk melamar di sini. Tapi saya dipermainkan dengan sangat tidak hormat," ujar Jenni begitu tegas. Ada nada kesal di sana yang sangat jelas.
Kejadian pagi ini membuatnya seperti gunung merapi yang siap meletus. Dari bangun pagi lalu mendapat telepon panggilan kerja dari satu kafe ke kafe lainnya dan dari satu cabang ke cabang lainnya juga. Menghabiskan waktu, tenaga, emosi dan tubun yang sangat lelah karena ini.
Lihat saja, orang yang ingin ditemuinya malah duduk santai dengan secangkir kopi panas diselimuti pendingin ruangan dan tanpa ada debu juga sinar matahari mengganyang menyentuh kulitnya. Tanpa rasa dosa dan bersalah, ia malah meyambut Jenni tanpa meminta maaf. Sial.
Jika Arya bisa membuatnya marah, kesal dan emosional seperti ini, maka dia harus juga bisa. Jangan tanya perkara umur, karena disaat seperti ini hanya akal dan uang yang akan bekerja keras.
"Maaf, banyak hal penting lain yang harus saya lakukan daripada mengahadapi bos kekanakan seperi anda. Permisi."
"Saya tahu itu akan terucap dari bibir kamu," sahut Arya cepat. Langkah Jenni kembali berhenti, tapi perempuan itu tak mau menoleh. Ia diam menunggu kalimat berikutnya. "Karena sedari awal niat kamu bukan untuk bekerja disini. Entah hal apa yang menggerakkan kamu menginjakkan kaki di sini dan mengambil keputusan itu. Tapi, saya saya yakin, perempuan manja yang bergelimang harta seperti kamu tak akan mau susah payah bekerja keras untuk mencari uang. Karena mendapatkan harta warisan atau meneruskan perusahaan itu lebih enak daripada bekerja seperti ini. Iya, bukan?"
Entah dari apa mulut dan otak Arya dibuat. Jenni tak habis pikir. Pria yang sudah memiliki umur hampir setengah abad tak bisa menggunakan apa karunia tuhan denagn baik dan benar. Sedari tadi keduanya difungsikan untuk terus memojokkan Jenni dengan kata menyakitkan.
"Jadi, Jenni ... apa kamu mau jujur apa tujuan kamu melamar pekerjaan di sini sementara kekayaanmu tak bisa dihitung dengan jari?"
Kini Arya menatap punggung Jenni dengan tangan terlipat di dada. Melangkah untuk menelisik raut wajah Jenni dari samping meninggalkan kursi yang mulai memanas karena perdebatan tak berujung antara keduanya. Arya dengan keangkuhan dan boss-nya dan Jenni dengan kekesalannya.
"Apa terlihat jelas?" tanya Jenni disertai tawa kecil.
Arya mengangkat satu alisnya tidak paham.
"Katanya anda tahu apa penyebab saya berdiri di ruangan ini. Apa sudah menemukannya atau belum tahu jawabannya?"
Arya mendengus. Perempuan di hadapannya ini benar-benar pandai memutar pembicaraan. Sepertinya Jenni sekolah bermain kata. Tidak ada yanng lain.
"Tinggal jawab jujur dan kamu bisa meninggalkannya raungan ini dengan baik-baik saja."
"Apa yang bisa dilakukan seorang Arya pada Jenni? Tunjukkan kekuasaan anda." Jenni memainkan ujung dasi Arya. Membuat pria itu mengerang tertahan. Sial. Perempuan di hadapannya bukan bocah ingusan.
"Mundurlah sebelum kamu menyesal."
Arya melangkahkan kakinya maju untuk mendorong Jenni mundur. Tangannya melingkari pinggang Jenni yang terasa kecil dalam rengkuhannya. Keduanya saling tatap tanpa ada yang berkedip. Seolah mereka dalam acara lomba tatap mata dan kalah jika berkedip.
Harusnya Jenni mundur, tapi wajah Arya terlalu sempurna untuk diacuhkan.
Harusnya Arya berhenti, tapi kecantikan dan aroma Jenni tak mampu memberikannya alasan untuk berhenti.
Tubuh Jenni menegang saat kakinya sudah menyentuh sofa. Sial. Ia sudah terpojok.
"Bagaimana? Kamu mau jujur?"
"Saya tidak berbohong dan sedang tidak menutupi apapun."
Arya menggeleng. Ternyata ini jauh lebih susah daripada yang ia pikirkan.
"Menurut saya, Anda yang harus meminta maaf pada saya."
Arya mengangguk. "Bekerjalah di sini sebagai sekretaris saya. Itu adalah tanda permintaan maaf dari saya."
Aku sudah berusaha untuk update. Jangan hujat please >_<
Happy reading and sorry for typo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merenggut Cinta Calon Mertua
RomantiekDitolak calon mertua tidak membuat Jenni mundur atau berkecil hati. Perempuan itu malah maju dengan keyakinan dan tekad sekuat baja untuk meluluhkan hati sang calon mertua yang kebetulan duda. Lantas, seperti apa perjuangan Jenni? Bagaimana reaksi...