Arya tersenyum selama perjalanannya ke rumah. Pria itu bukan lelaki munafik seperti kebanyakan kaumnya. Jenni cantik, sangat cantik. Tubuhnya seksi dan anaknya menyenangkan. Ia selalu bisa membuat suasana menjadi hidup dan mampu membuat orang disekitarnya nyaman dengan mudah.
Bayangan kejadian di ruangan itu terus berputar di otak tua miliknya. Hampir saja dia kelepasan melumat bibir seksi Jenni. Melahap dan menghabiskannya jika mampu. Namun, dia tersadar bahwa ia dan Jenni adalah bos dan karyawan lagipula umur mereka terpaut jauh.
For the good shake, Jenni selalu berada di sekitarnya. Bagaimana ia bisa tahan? Apa ia harus mengeluarkan Jenni dari ruangannya, tapi ia akan digoda oleh karyawan lain dan ia tidak suka itu.
Lagipula ia belum tahu tujuan Jenni berada di kantornya. Misteri itu belum terpecahkan. Kemungkinan hanya ada dua. Pertama, Jenni mata-mata yang dikirim orang tuanya dan yang kedua Jenni marah karena ia menolak menjadikannya menantu. Sebeelum misteri itu terpecahkan Arya tak akan memindahkan Jenni. Ia akan melakukan pendekatan.
"Bagaimana Jenni, Pak?" tanya Heri yang sedang menyopir. Ia melirik bosnya lewat cermin kecil di atasnya.
"Dia berisik," jawab Arya cepat. Ia jujur tentang hal itu. Yang tidak jujur adalah ia suka keberisikan Jenni yang kadang membuatnya tersenyum geli.
"Pasti stress sekali." Heri berkata sambil menganggukkan kepalanya. "Kenapa tidak dipindah, Pak?"
Arya mendengkus mendengar perkataan Heri. "Kita belum tahu motifnya melamar di kantor."
Bukan hanya itu, Arya juga sudah terbiasa dengan keberadaan Jenni. Terbiasa dengan sikap bar-barnya. Terbiasa dengan ocehannya yang tidak berfaedah. Terbiasa dengan sikap membangkang dan tawar menawar yang dilakukannya. Ah, satu lagi ia juga terbiasa melakukan skinship dengan perempuan itu.
Tiba-tiba sekelebat bayangan permukaan kulit Jenni yang mulus, lembut, kenyal dan putih melintas. Menimbulkan getaran dalam hatinya dan membuat tubuhnya panas dingin.
"Saya khawatir ia membuat Bapak tidak nyaman. Menganggu aktivitas Bapak dan tensi darah Bapak naik," jelas Heri mengungkapan kecemasan yang ia dapatkan.
"Saya bisa mengatasinya." Heri mengangguk dan tidak lagi membantah ucapan Arya. Pria itu juga kembali fokus mengemudi. "Bantu dia, Heri. Saya malas menjelaskan sesuatu padanya."
"Saya usahakan yang terbaik, Pak." Heri membelokkan setir ke kiri. "Dia hebat ya, Pak. Bisa melakukan presentasi dengan sangat lancar dan rasa percaya diri yang luar biasa."
"Ya, kamu benar." Arya tidak menampik soal itu. Ia kagum pada keberhasilan Jenni.
"Dia bahkan sudah berhasil membuat satu kantor menyebut namanya?"
"Kenapa begitu?" tanya Arya tidak paham dengan alis menyatu.
"Selain talenta yang dia miliki, mungkin parasnya juga termasuk hal yang patut dibicarakan." Arya mengembuskan nafas tidak suka mendengar jawaban Heri.
Arya menatap jalanan lewat jendela samping. Sebenarnya sejak kedatangan Jenni hidupnya sedikit berwarna. Jenni mampu mengubah suasana hatinya seratus delapan puluh derajat dengan kecepatan kilat. Ah, kenapa ia jadi memuji Jenni hari ini? Arya menertawakan dirinya.
"Kita langsung pulang atau Bapak ingin pergi lagi?"
"Langsung pulang saja. Saya rindu masakan rumah."
"Baik, Pak."
"Bagaimana Adit?" Terlalu sibuk dengan Jenni sebagai sekretaris barunya, ia sampai lupa dengan Adit yang bekerja di kafenya.
"Mas Adit bekerja dengan baik karena istrinya yang Anda tunjuk sebagai pengawas," ujar Heri terkekeh.
"Saya berharap banyak pada keduanya.
"Ngomong-ngomong ... Kenapa Bapak dulu menolak Jenni, Pak?"
Arya tidak menjawab melainkan mengangkat satu sudut bibirnya secara samar. Bayangan mimpi indah malam ini memenuhi otaknya.
***
"Isshhh, sana lo! Jauh-jauh dari gue!" usir Luna tidak berperasaan. Perempuan itu terus mendorong kepala Jenni yang menempel di bahunya. "Sorry, kita bukan teman lagi. Ih, minggat nggak, lo!"
Jenni membuat wajahnya berkaca-kaca supaya Luna luluh lalu memberinya maaf. Wajahnya juga dibuat sangat menyedihkan meski itu tidak cocok untuknya. "Lun, sorry."
"Nggak! Gue mau pulang."
Niat Luna datang ke rumah Jenni adalah untuk mengajaknya nongkrong karena ia sedang bosan dan dilanda galau. Bukannya mendapat hiburan atau obat galau, ia malah mendapat wajah bahagia Jenni. Luna marah begitu mendengarkan alasan Jenni bahagia. Ia kesal dan geram dengan sahabatnya yang tiba-tiba menjadi bodoh menurutnya.
Jenni menjauh dari tubuh sahabatnya, tidak bersandar lagi. Menatap Luna penuh semangat dan bahagia empat lima. "Lo nggak tahu sih, Lun. Mata duda tampan itu begitu indah. Wajahnya juga sangat ... sangat ah, pokoknya dia duda paling kece badai dan tubuhnya atletis. Pas gue nggak sengaja sentuh tuh dada bidang yang pasti seksi, uhh, keras dan berotot, Lun."
"Gue nggak peduli!" Luna berdiri. Melotot pada sahabatnya itu dengan kedua tangan di pinggang. "Gue nggak mau ketemu lo lagi sebelum lo reset ulang tuh otak juga niat!"
"Lo jahat amat sih, Lun." Wajah Jenni muram durja padahal tadi ia begitu ceria seperti mentari pagi. Ia tahu ia salah, tapi pesona Arya tidak bisa diajak kompromi.
Ah, seandainya Jenni tidak terus tersenyum pasti wajah Luna tidak seram seperti sekarang. Mau bagaimana lagi, pesona duda sekaligus bosnya itu tidak bisa ditampik. Begitu sulit melupakan Arya, begitulah batin Jenni bernyanyi.
Jenni bahkan masih ingat jelas struktur wajah Arya. Mata tajam, alis tebal, rahang kokoh tanpa bulu, hidung mancung dan bibir yang tidak tebal juga tidak tipis, sangat pas dan cocok untuk wajahnya. Ah, jangan lupakan wangi tubuhnya yang begitu maskulin dengan aroma sandalwood. Rasanya Jenni tidak bisa tidur malam nanti.
"Gue nggak jahat, Jen. Gue mau ingetin tujuan lo ke sana!" kesal Luna.
Bunyi pintu yang diketuk membuat ketegangan itu sedikit mereda. Mereka tidak mau pembicaraan itu didengar orang lain meski itu pembantu rumah Jenni. Selain hal yang dilakukan itu bersifat rahasia, mereka tidak mau membuat semakin runyam.
"Gue udah usaha, Lun. Gue juga coba buat cuek dan ketus, tapi eh tapi senyum hot duda itu bikin gue meleleh, Lun," jawab Jenni dengan bibir yang tersenyum kembali membayangkan wajah Arya.
Keduanya kembali melanjutkan pembicaraan setelah pelayan meletakkan minum dan makanan ringan.
"Ck," decak Luna kesal melihat sikap Jenni. "Perasaan lo dulu sama Adit nggak kayak gini deh, Jen."
"Bahasa kerennya buat Om Arya ini ya, tua-tua keladi. Semakin tua semakin hot daddy," jawab Luna semangat. Bibirnya terkekeh mendengar ungkapan yang baru saja ia berikan pada bosnya itu. Ia merebahkan tubuhnya. Tersenyum sendiri. Lalu teringat sesuatu dan kembali duduk. "Seharusnya lo bersyukur kita tadi nggak jadi ciuman. Cuman pelukan dan pangku-pangkuan doang."
"WHAT THE HELL, JENNIIIII!!"
Cuman pangku-pangkuan doang, Lun.
Wkwkwkkwkk lucunya.Dua hari ini otakku blank karena terlalu banyak yang mau ditulis. Jadi sorry baru bisa publish.
Happy reading and sorry for typo ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
Merenggut Cinta Calon Mertua
RomanceDitolak calon mertua tidak membuat Jenni mundur atau berkecil hati. Perempuan itu malah maju dengan keyakinan dan tekad sekuat baja untuk meluluhkan hati sang calon mertua yang kebetulan duda. Lantas, seperti apa perjuangan Jenni? Bagaimana reaksi...