"Selamat, Anda diterima. Selamat bergabung dan semangat bekerja," ujar pria yang masih berusia sekitar empat puluhan itu. Ia mengulurkan tangannya untuk disambut Jenni, tapi perempuan itu tak menanggapi.
"Saya menolak!!" Jenni menatap Hrd itu tanpa rasa takut.
"Tapi kenapa?" tanya pria itu kebingungan."
Meskipun kafe, melamar bekerja di sini sangat sulit. Selain ijazah, ada tes attitude menghadapi pembeli dan kesempatan emas bagi Hrd itu nyatanya disia-siakan Jenni.
"Apa itu perlu alasan? Saya bilang tidak tetap tidak."
"Sebagai kepala keuangan di kafe ini. Itu sesuai dengan ijazah yang Anda berikan. Apa kurang tinggi?"
"Saya tidak peduli posisi yang saya terima saat bekerja nanti. Yang saya minta adalah BAPAK ARYA PRADANA NIELSON yang melakukan interview terhadap saya. Bukan Anda," ucap Jenni menunjuk Hrd yang sekarang duduk di hadapannya. "Atau dia!" Jenni menunjuk manager yang berdiri di samping hrd tersebut. "Bukankah ucapan saya kemarin sudah jelas? Saya hanya mau di-interview oleh Pak Arya, bukan yang lain. Saya permisi."
Jenni berjalan dengan angkuh saat keluar dari ruangan Hrd dengan manager di dalamnya tadi. Perempuan itu sangat kesal mengetahui bahwa ia dipermainkan oleh Arya. Entah sudah berapa kafe yang didatangi oleh Jenni, tapi tak satupun Arya menampakkan batang hidungnya. Pria itu benar-benar membuat ubun-ubunnya mendidih.
Seluruh karyawan yang berada di kafe itu menatapnya dengan pandangan menilai. Mungkin mereka berpikiran bahwa Jenni terlalu berani dan sombong untuk seorang pengangguran yang mencari pekerjaan. Begitu mendapatkan pekerjaan malah menolaknya mentah-mentah. Bukan hanya itu, Jenni dengan sombong dan percaya diri meminta Arya yang meng-interview dirinya. Merasa spesial sekali.
Jenni menghela napas. Jika tidak ingat dirinya siapa dan urusan apa, ingin sekali Jenni berteriak dan menjelaskan pada mereka siapa dirinya.
"Halo," jawab Jenni pada ponsel yanng berdering ketika ia akan keluar kafe. Dan ini sudah terjadi sejak lima kafe sebelum ini.
"Saya tunggu anda di kafe upnor--"
"Saya tidak akan kesana kalau bukan Arya Pradana Nielson yang melakukan interview."
Jenni menutup sambungan dengan kesal. Ia kesal sudah dipermainkan oleh karyawan Arya. Seperti sebuah rencana, ponselnya akan berdering saat ia akan masuk mobil atau keluar kafe. Begitu terus sampai lima kali.
"Pengangguran aja, belagu. Sok-sokan pilih pekerjaan."
"Ngaca, dong. Segala minta ketemu Pak Arya langsung. Bukan anak presiden kali."
"Pengangguran kok merasa spesial. Ya kali, kembarannya nasi goreng."
"Belum ketemu Pak Arya aja udah songong apalagi udah? Mungkin pacar gelap.
Beberapa karyawan sedang berkumpul dan membicarakan dirinya di balik meja kasir. Mereka tertawa cekikikan dengan mata mengamati Jenni dari atas sampai bawah. Ah, ternyata mereka dari tadi mengamatinya.
Dengan langkah elegan Jenni mendekati segerombolan karyawan yang membicarakannya. Mereka menatap Jenni remeh. Padahal dalam hati mereka ketar-ketir. Outfit Jenni bukan barang murahan. Semuanya limited edition. Dari baju, sepatu, tas dan juga ponsel.
Menghembuskan nafas terlebih dahulu, Jenni menatap mereka satu persatu. Tersenyum ramah. "Seharusnya tes attitude dilakukan sekali lagi pada kalian. Aku takut para pembeli tidak nyaman dengan keberadaan kalian meski menu disini lezat. Kalian belum tahu siapa aku. Jadi, jangan ikut campur pada sesuatu yang melanggar batas."
Jenni mengutak-atik ponselnya. Menekan salah satu nomor. "Halo, Dit."
"Jenni?"
"Aku nggak mau basa-basi. Kirim nomor bokap lo sekrang juga ke nomor gue. Penting."
"Tapi, buat apa, Jen?"
"Kamu nggak perlu tahu. Ayo cepetan. Aku tunggu sekarang juga!"
Jenni duduk di kursi yang sengaja ia pilih dekat dengan meja kasir. Ia ingin mereka tahu bahwa ia bukan perempuan sembarangan. Bukan perempuan seperti yang ada di pikiran mereka. Satu hal lagi, mereka tidak lantas mengomentari apa yang mereka tidak tahu.
Bunyi ponsel mengalihkan pandangan bukan hanya Jenni, seluruh karyawan juga menahan nafas dengan apa yang dilakukan perempuan itu.
Jenni tersenyum saat mendapat apa yang dia inginkan. Memencet sebuah nomor, Jenni menghubungi nomor kepercayaan Papanya. "Halo, Om Harun," sapa Jenni sumringah.
"Ada apa Jenni? Tumben meneleponku?" Untuk memperjelas sesuatu, Jenni sengaja me-loudspeaker. Melirik sinis pada karyawan di sana.
"Aku butuh bantuan, Om."
"Apa?"
"Lacak nomor ponsel ini."
"Bentar." Jenni menunggunya beberapa saat dengan senyum tersungging. "Arya Pradana Nielson?"
"Ya."
"Untuk apa, Jenni?"
"Udah deh, Om. Kasih tau aja lokasinya dimana. Aku mau kesana sekarang juga."
"Kantor pusatnya."
"Oke, makasih, Om. Salam buat Papa. Kerja yang semangat." Jenni memiringkan kepalanya dan tersenyum sinis pada karyawan yang masih disana. Melotot tidak percaya dengan apa yang mereka dengar dan lihat. Jenni bukan orang biasa. "See?!"
Jenni pergi setelah mengatakan satu kata tapi berjuta makna pada karyawan di sana. Ia mengeluarkan kunci mobil dan berjalan dengan angkuh keluar kafe. Tujuannya sekrang adalah kantor Arya. Ia tidak ingin bermain-main lagi dengan pria itu.
Kesabarannya sudah diambang batas. Arya sudah keterlaluan. Pertama, ia membandingkan Jenni dengan waiters. Kedua, ia menolak Jenni dengan mentah-mentah dan ketiga ia mempermainkan Jenni dengan panggilan telpon. Jenni tidak akan memaafkannya. Ia akan membuat perhitungan. Benar kata Luna, ia harus sadar siapa yanng diajak bermain.
Mobil melaju dengan cepat keluar dari perkiraan kafe. Karyawan disana terkejut dengan mobil yang dinaiki Jenni. Mereka menatap satu sama lain sambil bermain kode mata. Jenni bukan orang biasa. Mungkin ia ada masalah dengan boss-nya sehingga berlaku seperti itu.
Menghabiskan sandwich yang belum habis karena memang Mbok tadi membawakan empat potong, Jenni mengunyah sambil menyopir. Memikirkan kata apa yang tepat untuk sudah menyebalkan macam Arya.
Sampai di parkiran, Jenni memejamkan mata. Ia harus berani dan tegas. Ia tidak boleh terpengaruh dengan pesona duda itu. Tidak boleh.
Ketukan high heels dari sepatu yang dipakainya berhasil membuat isi lorong perusahaan menghitungnya dengan wajah penasaran. Mereka berbisik meramaikan kantor yang tadinya sunyi senyap.
Langkah Jenni pasti. Ia menekan lift dan menuju lantai paling atas. Apalagi kalau bukan ruangan Arya yang sudah di hafal oleh Jenni.
"Pak Arya ada?" tanyanya pada sekretaris Arya di depan pintu pria itu.
"Ada. Tapi apa sudah mem--"
Jenni masuk tanpa perintah dan rasa ragu. Dengan yakin mendorong kenop pintu yang tadinya tertutup rapat.
"Welcome, Jenni!"
Udah segini dulu. Adu mulutnya besok aja. Atau lusa? Tau, ah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merenggut Cinta Calon Mertua
RomanceDitolak calon mertua tidak membuat Jenni mundur atau berkecil hati. Perempuan itu malah maju dengan keyakinan dan tekad sekuat baja untuk meluluhkan hati sang calon mertua yang kebetulan duda. Lantas, seperti apa perjuangan Jenni? Bagaimana reaksi...